Selasa, 27 Agustus 2013

Sepotong Cokelat Waktu Itu

Kalau bukan karena sepotong cokelat dari hotel itu semua mungkin tak akan pernah terjadi. Matahari, tertawa, hujan, macet, banjir, mikrolet, kelinci dan keanehan lainnya. Jauh dari timur pulau jawa sana semuanya bermula. Ahh, sepotong cokelat di atas selimut itu memang manis. Seperti senyum yang pernah kamu sunggingkan di pelataran rumah.
Kerja otakku berbanding terbalik dengan waktu yang terus beputar ke kanan. Sepi ini menggugat lelucon kala itu. Si pecundang kini memungut mozaik-mozaik yang berserakan disela-sela takdir Tuhan. Kopi pagi yang bercampur cokelat seperti mesin waktu yang menawarkan rasa manis bercampur pahit.
Jika cinta adalah perut yang terkocok karena canda, aku sudah khatam jutaan kali. Mikrolet biru itu adalah sanggar dari semua tawa yang terbahak-bahak malu karena picingan mata penumpang lainnya.
Jika cinta adalah intensitas waktu dalam berkomunikasi, aku sudah finish berkali-kali dalam marathon ini. Koridor kampus selalu bergemang karena jarak kata yang aku ucapkan  kadang kurang dari setengan spasi. Betapa bawelnya aku.
Tapi ternyata ketika waktu kembali pada saat ini dan detik jam kembali berputar ke arah kanan, itu semua bukan cinta. Jika semua yang terjadi adalah scene dari naskah semesta yang Tuhan tuliskan, aku hanya ber-acting.
Bukankah cinta akan memilih jalannya sendiri ? Dan waktu akan terus berputar mengitari orbit bumi. Jika sepi menggigit sekeping cokelat, itu bukan salah siapa-siapa. Aku hanyalah manusia yang diberi sejumput waktu. Yang akan mati karena kehabisan waktu.
Waktu yang sudah berlalu hanyalah kepingan-kepingan mozaik yang aku punguti untuk disimpan. Bukan untuk siapa-siapa. Bukan untuk aku, bukan untuk kamu, juga bukan untuk sepotong cokelat itu. Tapi untuk seseorang yang ingin menggugat waktu.











Con amore
Thanks for reading......




Tidak ada komentar:

Posting Komentar