Kamis, 31 Desember 2015

Lain Waktu Akan Kupotong Senja Itu!

Senja yang keemas-emasan itu tembus ke dalam gedung ini. Apa hanya aku yang memperhatikan biasnya yang terpancar lewat kaca yang menjulang tinggi dan angkuh itu? Biasnya membentuk garis lurus dan jatuh terpecah belah dilantai. Berserakan menimpa sepatu dan kaki-kaki yang lalu lalang menyibukan diri. Tak seorang pun hendak memungutinya. Orang-orang disini tak pernah peduli akan senja, tidak sama sekali, mereka semua mengabaikannya. Lain waktu akan kupotong senja seukuran kotak kado sebagai hadiah ulang tahunnmu. Biar kau tahu keindahan hakiki di dalam kefanaan dunia ini. Tak apa bukan? Tak seorang pun akan merasa kehilangan senja yang akan kupotong itu. Kan tak ada yang peduli pada senja yang hanya mengatung sementara waktu di langit yang pucat keungu-unguan itu.

Sebentar lagi gelap akan menelan senja secara perlahan-lahan. Lain waktu akan kupotong senja itu! Pintu lift terbuka dengan sangat kasar dan suara orang-orang berhamburan seketika. Langkah-langkah yang tergesa bercampur dengan gerutuan sulitnya soal ujian akhir semester yang semakin tak masuk akal beriring-iringan membuat bising yang tak merdu. Seseorang tergelapak dengan setumpuk kertas penuh coretan tinta biru di hadapanku. "Sial revisi lagi, padahal checklist tinggal seminggu lagi ya. Parah banget tuh dosen!" Seorang penggerutu kelas kakap putus asa dihadapanku. Maka yang dikerjakannya hanya menggerutu hampir setengah jam lamanya sambil berganti gaya. Kadang tergelapak ke kanan, kadang belok ke kiri menghindari orang-orang yang keluar lift. Semua orang punya hak untuk menggerutu bukan?

Aku, A, dan Y kompak menggoda M. Menguak aib yang sudah sangat lama terjadi. Aku tak akan pernah memaafkanmu M, aib itu adalah senjata andalanku untuk mempecundangimu sepanjang waktu. Kau akan mati kutu dihadapanku seumur hidupmu. Maka sore itu menjadi sebuah paradoks antara penggerutu dan penggoda yang terbahak-bahak di atas aib orang lain. Sementara senja perlahan-lahan hampir habis digerogoti gelap. Tiba-tiba tumpukan kertas yang penuh coretan tinta biru itu berhambur di hadapanku. Semua orang sibuk menerka-nerka maksud coretan tinta biru yang bernamakan revisi. Aku tak peduli, laporanku pun masih belum selesai seutuhnya dan senja hampir hilang. A sibuk menerka-nerka maksud dan mencoba memberikan solusi. Maka diambilnya laptop untuk merealisasikan bantuannya. Y mendampingi A, walaupun hanya sebatas membantu membacakan hasil terkaan A. M menambahkan sedikit komentar. M yang dungu tak harus melakukan apa-apa, komentar pun sudah lebih dari cukup baginya. Si penggerutu makin jadi penggerutu karena solusi yang dihasilkan sia-sia dan tanpa kebenaran. Terjadilah chaos karena crowded yang berkepanjangan. Betapa tidak menguji ketabahan-sementara bias senja semakin tipis dan berhamburan kemana-mana, menabrakan diri pada segala hal, sedangkan keributan dasyat terjadi di hadapanku. Senja hampir sekarat! Tak kah kalian lihat itu? Kan mungkin senja memang tak penting untuk mereka. Apa sebegitu susah menikmati keindahan senja, pada hal yang memberikan kehidupan untuk kita? Berterimakasihlah pada segala hal yang memberikan kehidupan.

A hampir habis akal dengan kertas-kertas itu, tapi akal liciknya belum habis tuntas. "Tolong dong, lo kan ahlinya nih." Kuambil kertas berserakan yang penuh tinta biru itu satu persatu. Sial, dari mana dia dapat ide untuk mendeklarasikan aku sebagai ahli dari diagram-diagram yang menyebalkan itu. Kulihat lembarnya satu persatu dan aku yakin bahwa Tuhan sedang mengajakku untuk bercanda, kan Tuhan juga Maha Guyon. Tapi guyonan ini keterlaluan, tumpukan kertas itu adalah dua bab penuh laporan yang harus direvisi. Akan kubalas perlakuanmu ini, A. Lalu sedikit demi sedikit kutambah coretan-coretan tinta biru itu sehingga lebih mirip lukisan benang kusut yang tak berujung. "Salah Semua!" Ucapku cukup tegas. Maka si penggerutu itu menekuk mukanya seperti baju yang baru selesai dilindas setrika dengan suhu enam puluh derajat celsius. Tergelepaklah lagi dia ke kanan menabrak bahu A. Semenit kemudian penggerutu berubah menjadi perayu. Kan wanita memang seperti itu, tabiatnya seperti album kompilasi tahun sembilan puluhan: kaset pita side A dan side B. Side A berisi lagu-lagu rock n roll, side B berisi lagu akustik melankolis. Aku tak tahan mendengar alunan melankolisnya, maka kubuat garis-garis berbentuk diagram baru dibagian kertas yang masih kosong. Sampai-sampai aku tak sadar senja sudah menjemput ajalnya. Biasnya habis ditelan oleh gelap. Lampu-lampu di dalam gedung mulai dinyalakan. Dijalanan lampu-lampu kendaraan mulai saling bertabrakan. Adzan maghrib dikumandangkan. "Mari kita berbuka puasa!!" M meneguk segelas teh kemasan. Dihadapanku juga terdapat segelas teh kemasan yang sama yang disediakan oleh si penggerutu yang sudah berubah menjadi perayu. Kuteguk perlahan-lahan bersama pahitnya kehilangan senja. Maka malam itu kulewatkan untuk membuat diagram dengan perut hanya terisi teh kemasan. Itu adalah buka puasa terburuk seumur hidupku: hanya dengan teh kemasan.

Sejak malam itu kau kenal namaku kan? Apalah arti sebuah nama, semenjak malam itu pun aku mengenal siapa namamu. Tapi untukku, mengenal seseorang tak melulu harus tentang nama, maka namamu tak penting-penting amat untukku. Hari ini kau masih menggerutu tentang diagram-diagram itu. Semua orang berhak menggerutu dan bebas berkata-kata sesukanya, bukan? Tapi siapakah yang membutuhkan kata-kata? Semua orang di dunia ini sibuk berkata-kata. Maka kuambil lagi kertas kosong untuk memperbaiki diagram yang hanya bisa kau kata-katai itu. Betapa tidak menguji ketabahan: aku menggerutu. Hari itu diagram-diagram selesai dituliskan di atas kertas-kertas kosong. Jam sepuluh malam kita berdua terdampar di pos satpam. A datang mengahampiri dengan penuh keringat. Dia baru selesai main futsal dengan temen-teman satu kelasnya. "Gimana?" "Ini gara-gara lo, gila aja jam segini baru selesai ngerjain tuh diagram." "Gak apa-apalah." A bermain mata, "Taik!" "Hati-hati, sabuk item. Salah-salah kena hajar." Bulan yang pucat menggantung di langit gelap. Pulanglah, masih ada hari esok. Bulan pun bisa jatuh pingsan dan harus dibawa ke rumah sakit karena kelelahan. "Besok ke rumah gw ya". "Dimana?" "Jembatan Tiga." "Jembatan Tiga kan luas." "Besok gw kasih tau lewat telpon." "Ya, sampai besok." Aku pulang membawa segala gerutuannya yang kudengar sepanjang hari, dan lelucon peringatan dari A: sabuk hitam. Jalanan sepi sekali, lampu-lampu kota berderet sepanjang jalan, menyoroti sisa-sisa keputusasaan orang-orang: puntung rokok, plastik makanan, sobekan koran, dan penjual koran. Dan hidup bukankah begitu sederhana? Ia hanya terletak antara lapar dan buang air: selebihnya baik-baik saja.

Kemarin malam kau baru saja memanen isi kepalaku. Mungkin hari ini kau akan gunduli isi kepalaku. Betapa peliknya hidup ini. Hari ini aku habiskan waktu di rumahmu, sampai benar-benar habis diperas. Jam sembilan pagi aku sudah berangkat, dan jam dua pagi baru pulang. Tak ada satu pun pekerjaan di dunia yang menghabiskan banyak waktu tanpa digaji selain memupuk cinta. Tapi terlalu dini kan menafsirkannya? Maka kutimang-timang tafsiranku itu saat meneguk segelas kopi. Dua teguk yang akan datang, akan kucecap hangat darahmu sampai kering. Dan kopiku kering sebelum tegukan kedua. Tuhan melemparku jauh dalam kelelahan. Maka kuberes-bereskan hidupku yang memang kurang beres untuk berpamitan pada bapakmu. Isi kepalaku benar-benar kau gunduli sebagai tameng dari tinta-tinta biru. Sepanjang jalan pulang yang ada hanya kosong: jalanan kosong, gerobak kosong, rumah kosong, dan isi kepala yang kosong. Lalu kau datang mengisi kekosongan-kekosongan itu. Di jalanan, di rumah rumah, gerobak, dan dalam pikiranku. Malam menganga dan kau menjadi gema, sepanjang jalan itu kekosongan terisi olehmu.

***

Siang itu aku bertamu ke rumahmu, masih dalam suasana lebaran yang menenangkan. "Kamana wae?" "Aya bu di bumi, teu kamana-kamana. Minal aidin wal faidzin nya." Ibumu benar-benar sangat baik menerimaku sebagai temanmu. Terus, kan kau datang menemuiku. "Selamat ulang tahun." Sambil kuberikan bingkisan yang sangat merepotkan untuk dibawa ini. Maaf ini bukan senja yang dulu hendak kupotong sebesar kotak kado sebagai hadiah ulang tahunmu. Hari sebelumnya aku sudah coba mencari- cari senja untuk dipotong, tapi tak ada. Senja sudah pindah ke pantai dan jadi tontonan turis lokal. Lain waktu akan kuajak kau ke pantai melihat primadona baru disana: senja. Aku sudah sering diminta datang ke pantai untuk sekedar melihatnya, tapi selalu tak sempat. Cuma sebuah lampu yang cahayanya mirip-mirip senja yang mampu kuberikan padamu. Aku tahu cahanya pun tak pantas untuk disebut duplikat senja, tapi aku harap kau dapat melihat senja dari sana, bagaimana pun caranya. Satu lagi, aku sedikit malu memberikannya: setangkai mawar putih. Aku tak pernah memberi bunga kepada siapa pun, ini adalah pertama kalinya dalam hidupku. Aku tak tahu mawar putih melambangkan apa, saat membelinya tak menimbang-nimbang makna dari warna bunga. Aku hanya lebih suka warna putih ketimbang merah, begitu saja. Maaf hanya satu tangkai saja, lain waktu mungkin akan kupersembahkan bersama dengan kebun-kebunnya, lengkap dengan pupuk, gunting, pestisida, dan alat siramnya.

Aku masih saja sempat tertidur di kursi ruang tamu saat menunggumu mandi sore itu. Aku benar-benar kekurangan tidur beberapa hari belakangan. Walau sering melek di malam hari, aku bukanlah pendoa yang ulung. Aku hanya pekerja malam yang terus-terusan lembur menggali lubuk hatimu. Entah sampai seberapa dalam lagi harus kugali, karena belum juga kudapati mata air yang dinamakan cinta itu. Maka sering kukuat-kuatkan hatiku saban pagi setelah menggali hatimu: Tuhan akan membayar segala jerih payahku dengan seadil-adilnya. Aku tersentak bangun saat mendengar suara langkahmu menghampiriku. Aku ingin pamit pulang. Aku takut mati muda karena terlalu sering menenggak harapan cinta darimu, tapi kau malah mengajakku keluar untuk mencari makan.

Ayo kita pulang, perut sudah kenyang dan hari mulai petang. Di jalanan terlihat semburat cahaya keemas-emasan yang melewati dedaunan, dan berlarian di atap mobil yang diam terjebak macet. Senja datang mengintip perjalanan pulang kita berdua. Kilaunya menyapa lewat kaca spion dan menabrak muka. Apa mungkin senja melarikan diri dari pantai? Sampai di rumahmu cahaya keemasan senja masih ada dan menempel di bagian tengah pintu rumah, sisanya tersesat di pohon magga. "Pamit ya, selamat ulang tahun." Kau lambaikan tangan saat aku beranjak pulang. Senja menyiluetkan wajahmu. Lain waktu akan kupotong senja dan wajahmu itu! Akan kusimpan dalam dompetku.



"Sumpah, kan kutemukan suaramu, menebus kata akhir untuk benar-benar pergi"





Con amore..
Thanks for reading..

Selasa, 27 Oktober 2015

Penggerutu

Jangan menyerah dulu, karena jalan bahkan belum kau pijak. Kaki baru kau angkat, tapi air mata sudah gugur. Ahh, dasar wanita. Semudah itu kah menyerah? Hanya karena nama tak tertera pada lembaran kertas di majalah dinding yang mungkin baru kautengok sepanjang waktumu berkuliah disana, bukan berarti semuanya berakhir.

Lalu kau menangis sampai mata babak belur seperti adu jotos dengan preman. Kau kan tahu sesuatu yang lebih baik daripada menangis: mengais-ngais petunjuk dari Tuhan adalah bukti miskin jiwa yang tak punya daya dan upaya. Apa kau buta? nasibku juga tak jauh beda denganmu: riskan dan menggelikan. Kita sama-sama ada dalam posisi yang tak adil, walau kau (memang) lebih compang-camping. Itu adalah hasil kesepakatan antara usaha yang kita lakukan dan Tuhan - biasa kau dan aku menamakannya takdir, bukan? Menggugat Tuhan pun tak mungkin dilakukan, karena tak ada satu pun pengadilan di negeri ini yang bersedia menerima gugatan dengan Tuhan sebagai terdakwa. Kualat, kan kau tahu apa arti kata kualat: suatu pekerjaan yang tak boleh dilakukan seumur hidupmu, termasuk mengubur harapanku!

Well, mataku sudah lelah. Bukan karena menangis, bukan. Airmataku punya kualifikasi tertentu untuk menetes. Airmataku termasuk kelas borjuis: congkak dan angkuh, tapi karismatik. Tidak menetes untuk hal-hal sepele yang sekejap mata dapat berubah keadaannya. Mataku lelah karena dipaksa maraton untuk tidak terpejam hampir 36 jam lamanya. Coba kau hitung itu, 36 jam lamanya. Apa kaupikir itu pekerjaan mudah? Apa kausangka itu pekerjaan yang ringan-ringan saja? Dan aku masih gagal menggapai garis finish, karena masih terjaga sampai detik ini. Sungguh, sungguh menderita menanggung akibatnya.

Aku menjadi tambah sengsara karena gagal gila setelah 36 jam lamanya. Seharusnya mungkin aku sedang bernyanyi riang di atas ranjang rumah sakit jiwa yang empuk. Ditemani beberapa orang gila yang tak habis pikir mengapa dirinya divonis gila tanpa musyawarah terlebih dahulu. Termenung sambil menggugat-gugat tuduhan gila yang diputuskan sebelah pihak saja. Meracau-racau menyebut namamu, seperti pemabuk terminal yang tersasar di dalam bus kota: tak tahu pintu keluar. Bernyanyi-nyanyi riang bak sinden kalap saweran, dan sejurus kemudian tertegun karena dibentak suster cantik yang sebentar lagi ikut ketularan gila. Susternya tak ada, aku lebih buruk dari orang gila karena dengan waras berkhayal gila.

Sebentar lagi mungkin, sepertinya aku akan jatuh tersungkur di atas kasur. Aku sudah limbung. Otakku perlahan-lahan terasa menciut sampai sebesar biji semangka yang terlindas truk bermuatan lima ekor gajah dewasa yang sedang bunting kembar tiga. Isi kepalaku sedikit demi sedikit menjadi kosong, bebal, dan dungu. Sementara takdirmu semakin membaik sedangkan aku malah terbalik. Aku malah lebih compang-camping seperti maling jemuran yang tertangkap basah sedang bersembunyi di selokan sambil membaca koran sisa bungkus nasi uduk kemarin pagi. Beritanya tentang mahasiswa yang gagal jatuh cinta.

****

Aku tidak tahu sekarang sudah jam berapa. Aku mungkin baru terbangun dari hibernasi yang sangat panjang. Kumis dan janggutku mulai tumbuh tak karuan, seperti serat biji kedondong: sekehendaknya saja tumbuh. Tak bisa dinasihati baik-baik, maka pisau cukur menumpaskan keegoisannya dalam sekejap saja. Kepalaku pun sudah terasa terisi kembali oleh sel-sel otak yang membuatku terlihat tidak lebih dungu dari kerbau yang dicokok hidungnya. Kejamnya, sel-sel itu mengantarkan seonggok ingatan tentang seseorang yang pernah diciptakan oleh Tuhan dengan tempurung kepala paling keras di dunia ini. "Apa kabar, ....?" Kalimat itu bergaung dalam lubang telinga yang dianggapnya gua.

Engkau sungguh pernah seperti lagu tanpa judul yang kutunggu-tunggu setiap waktu di sebuah saluran radio. Setiap malam kuhabiskan hanya untuk menunggu. Mengaitkan antena dari kawat ke berbagai perabot rumah tangga kerjaku saban sore. Ke sendok, kompor minyak, lampu templok, sampai tutup panci dari logam harus bertengger di pohon jambu seperti parabola kehilangan pegangan. Barangkali suatu waktu sang penyiar memutarkannya untukku, kesempatan itu tak mungkin dilewatkan dengan iringan suara gemerosok dan desingan gangguan frekuensi. Sampai suatu ketika di tengah kekosongan malam terdengar nada indah mengalun-ngalun merayu hulu hati. Ohh aku tahu siapa itu, wanita dengan tempurung kepala yang lebih keras daripada batu, bukan? Kulafal-lafal wajahmu dalam kepala agar jangan sampai kulupa. Sampai-sampai ingatanku rusak pencernaan. Setiap kali yang kuingat hanya wajahmu, apa pun yang kujejalkan ke dalam ingatan berubah menjadi wajahmu. Ingatanku diserang diare kritis tingkat akhir gara-gara wajahmu.

"Apa kabar, ....?" Ingin sekali aku ucapkan sebelum rindu ini habis dan rontok, sebelum radio mati karena kehabisan batre yang lupa kujemur tadi sore. Tapi merinduimu sungguh memilukan. Merinduimu tak ubahnya seperti hendak bertamu ke rumah kembang desa dengan tantangan jawara kampung yang cintanya sudah kau tolak tujuh kali, dan sepotong papan di depan halaman dengan maklumat "awas anjing gila sudah setahun belum sembuh juga!". Bahkan merinduimu hal yang sulit untuk dilakukan. Tapi orang tak bisa selamanya berkhianat dalam segala hal, bukan? Apa lagi mengkhianati perasaannya sendiri.

Sementara waktu mungkin aku masih sanggup menjadi seorang pengkhianat. Biar kutimang-timang dulu rinduku sekarang, sampai jawara dan anjing gila diangkut polisi pamong praja. Kuajari dia duduk dan merangkak, barangkali mampu dia gapai pintumu. Jika pun tak sampai, biar kuajarkan dia jalan dan berlari, mungkin itu akan lebih cepat untuk menempuh jarak. Tak lupa kuajarkan juga dia bicara. Supaya tak tersasar ke halaman tujuan. Biar lekas dia besar, dan kau tahu betapa sungguh memupuk rindu itu seperti apa rasanya. Karena menjadi pengkhianat pun tak bisa kulakukan lama-lama, takut aku masuk neraka, walau hanya mengkhianati perasaan sendiri.

*23 Agustus 2015*

Pagi-pagi, aku, R, dan K, sibuk bersolek di depan pagar rumahmu: takut terlihat tak rapih. Hendak memberi kejutan, tapi malah kami bertiga yang senam jantung karena takut kau tak ada di rumah. Sudah berkali-kali kami sahut menyahut memanggil namamu, seperti paduan suara sekolah dasar di hari Senin: tak merdu, tapi ramai. Tuhan, jangan sampai keadaan ini berlangsung lebih dari lima menit, karena aku takut warga lain merasa terganggu dan kami diseret ke balai RT dengan dakwaan meresahkan masyrakat karena suara kami bertiga merusak ketentraman hidup orang banyak, doaku dalam hati. Aku buka gerbang rumahmu, masuk ke teras dan memanggilmu lagi. Bukan bermaksud kriminil, kan ini lebih baik daripada menjadi tontonan warga gara-gara teriakan kami. Putus Asa, kata itu tepat menggambarkan nasib kami saat ini. Jalan terakhir diambil, karena lima menit telah berlalu, akhirnya kami sepakat menelepon poselmu. Terimakasih Martin Cooper atas temuan telpon genggamnya. Kau pun membuka pintu dengan wajah sedikit agak terkejut, dan kemudian menuding kami jahat karena tak mengucapkan selamat ulang tahun pada tengah malam. Dasar tak tahu adat, menuding didahulukan, sedangkan berterimakasih untuk kejutan yang gagal ini malah belakangan.

Selamat ulang tahun, ini aku bawakan kue hasil patungan dengan teman-temanmu. Kan sesuai dengan pribahasa: berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Bahkan untuk beli kue dengan harga yang tak masuk akal, lebih ringan jika dilakukan dengan cara gotong royong. Hanya seutas senyum ranggas yang kusunggingkan yang tak dikumpulkan dengan patungan: senyum yang bisa patah kapan saja. Senyum sisa perasan keputusasaan yang tandas aku teguk saban malam. Sudah susah payah kukumpulkan kepingnya setiap hari. Sampai mati-matian berjihad melawan diriku sendiri hanya untuk tersenyum dihadapanmu. Tenanglah, aku tak mengharap apa-apa dari orang yang cintanya susah.

Selamat ulang tahun, semoga hidupmu lebih manis daripada jidat manismu, dan imanmu lebih keras daripada tempurung kepalamu. Tak ada lagi hadiah dan bunga untukmu di tahun ini, hanya sebatas doa-doa yang semoga saja Tuhan memurahkannya. Cukuplah Dollar yang saat ini mahalnya menulari alat-alat perabot rumah tangga, lauk pauk, elektronik, bahan bakar, ongkos angkutan, rumah sakit, pil KB, dan yang tak mungkin lagi disebutkan satu persatu, karena tak elok mengungkapkan kritik disini. Semoga doa tak ikut ketularan mahal gara-gara Dollar yang katanya semakin perkasa. Sampai gonjang-ganjing krismon turun ke warung kaki lima, dinikmati penganggur yang keranjingan kopi dan tembakau kemasan penyelamat devisa. Kan transaksi manusia zaman dahulu tak terpengaruh Dollar: mau tanah sepuluh hektar tinggal tukar satu kandang kerbau yang tak pernah ikut program keluarga berencana seumur hidupnya. Sungguh manusia zaman sekarang tertipu dengan angka-angka, termasuk aku.

*16 September 2015*

Mataku masih sangat lengket saat memasuki lift dan menekan angka empat: angka favoritku, angka yang dibenci bangsa tiongkok sedari taucang masih jadi tradisi seluruh umatnya. Teman-temanmu sudah berkumpul disana, menyapaku satu persatu. Aku balas sapa mereka dengan senyum: senyum ranggas. Sementara aku masih mengantuk sambil diliputi rasa kecewa karena merasa tertipu oleh iklan stasiun televisi yang mengabarkan hendak menayangkan pertandingan antara Manchester City VS Juventus. Ehh, pada saat jam yang ditunggu tiba malah Manchester United VS PSV Eindhoven yang ditayangkan. Kan hasil aku bergadang jadi sia-sia saja. Sudah kepalaku masih terasa sakit akibat berkali-kali melakukan simulasi sidang skripsi denganmu, ditambah kena gocek stasiun televisi. Bayangkan coba, sudah begadang sampai pagi buta, kan aku jadi lebih cocok sebagai pelantun tembang Kecewa daripada Bunga Citra Lestari karena nasib yang sudah menimpaku ini. Untuk sekedar pemberitahuan, aku penggemar Juventus, bukan klub Manchester. Dan Jerman, si Deutschland, Land der Ideen itu sia-sia saja menemukan aspirin pada akhir abad 19, karena ternyata tak dijual 24 jam di beberapa wilayah di Indonesia. Akibatnya aku harus menahan sakit kepala sampai subuh tiba. Selesai menghadap yang Maha Kuasa, aku tidur sejenak dan terbangun lagi jam tujuh pagi. Coba rasakan tidur seperti itu. Setelah mandi aku pergi ke Kampus untuk menyaksikan sidang skripsimu: sidang yang akan kau lalui dengan hikmat karena kita sudah melakukan simulasi berkali-kali dengan segala kemungkinan pertanyaan yang akan ditujukan kepadamu, bahkan lebih berat. Hanya kerasukan setan bisu yang akan menggagalkan kelulusanmu, tak lebih, tak kurang.

Dua puluh menit menunggu akhirnya sidangmu selesai juga. Wajahmu pucat mendekati mayat yang baru selesai berdandan ketika keluar dari ruangan yang terlihat lebih angker dari biasanya. Satu menit kemudian namamu dipanggil ulang untuk masuk ke dalam ruangan angker itu. Kau berdiri dengan menegak-negakkan badan di hadapan dosen-dosen penguji, sedangkan kakimu bergetar tak karuan seperti pohon kelapa yang hedak melarikan diri karena takut diterjang tsunami. Ketua penguji langsung berkicau menyampaikan hasil kesimpulan dari sidangmu, tak lebih dari satu menit, dan kau tersenyum-senyum bahagia. Perkiraanku tak akan meleset, kau pasti lulus, tapi untuk berdiri disana lima belas detik lebih lama, aku yakin kau pasti akan mengompol menahan perasaan yang tak karuan jadinya. Kau pun keluar ruangan yang lebih mirip tempat pengadilan itu dengan paras merekah-rekah, semua menyambut kebahagiaanmu. Teman-temanmu memberikan ucapan selamat tak henti-henti, dan aku, menjadi manusia terakhir yang memberikan selamat hanya agar tidak mengganggu momen antara kau dan teman-temanmu. Wajahmu semakin merekah-rekah tak karuan seperti jambu bol siap panen ketika kuberikan satu buket bunga. Satu buket bunga yang kehadirannya sebenarnya sangat misterius. Sudahlah. bagian kemisteriusan ini tak perlu diceritakan, karena aku sendiri hilang akal bagaimana cara menceritakannya.

Selamat. Sekali lagi selamat karena telah kau selesaikan kewajibanmu untuk meraih gelar strata satu. Aku adalah manusia yang paling bahagia atas keberhasilanmu setelah ibumu, ayahmu, kakak perempuanmu, kakak laki-lakimu, kakak iparmu, adikmu, nenekmu, kakekmu, tantemu, pamanmu, uwakmu, sepupumu, keponakanmu: tidak mungkin nampaknya, dia bahkan belum genap berusia dua tahun. Kebahagiaanku sungguh tak terkira, karena sudah tak ada lagi manusia yang akan menggangguku tidur hanya untuk diajari query SQL dan script PHP. Mulai hari ini, esok, dan selanjutnya, sudah dapat dipastikan bahwa aku akan mendapatkan kembali jatah tidurku yang sempat kau rampas.


*23 September 2015*

Malam sebelumnya kau beri kabar tak dapat menghadiri sidang skripsiku hari ini, kau bilang hendak ke bandara mengantar kakakmu. Aku tak bisa memilih banyak kata, selain sedikit memaksa agar kau bisa hadir jika memang sempat. Ini adalah hari dimana aku akan berada dalam ruangan angker yang pernah kau masuki seminggu sebelumnya. Pagi hari aku berangkat ke Kampus dengan merapal doa dalam hati: semoga kau sempat hadir. Biar kau saksikan dengan mata kepalamu sendiri bagaimana caraku melawan keangkeran yang diciptakan manusia.

Masih pagi hari, aku sedang ongkang-ongkang kaki menunggu giliran, ponselku berbunyi. Nomor baru, tak tahu dari siapa, aku angkat saja. Suaramu ada di ujung sana, menanyakan nasibku. Aku ceritakan takdirku, bahwa aku berada diurutan terakhir, dan mungkin kau masih bisa sempat menghadiri sidangku: masih memaksa. Ya, kalau sempat, katamu. Terus aku lanjutkan ongkang-ongkang kakiku, kau tutup telponmu. Lalu kau kirimi aku pesan agar jangan lupa beri kabar perkembangan sidangku. Kaupikir aku hendak melahirkan, bisa kutahu sekarang sudah pembukaan berapa? Jawabaku.

Siang hari tiba, mataku mengantuk karena semalam susah tidur. Dalam hati bersungut-sungut, kenapa harus dapat jatah terakhir sampai mengantuk begini menunggunya. Lalu pikiran melayang pada hal yang bukan-bukan, seperti dosen penguji akan habis-habisan mencecarku, mempermalukanku, dan yang terburuk tidak meluluskanku dihadapan banyak teman-temanku yang datang menghadiri sidangku. Ahh dasar manusia, kan memang begitu, paling pintar menduga-duga dan berburuk sangka.

Kepalaku mulai terasa menciut karena terhisap oleh perutku yang mengerucut menahan lapar. Badanku butuh banyak asupan energi untuk berpikir, sedangkan aku sedang belajar menunaikan ibadah puasa Arafah. Sebuah kontradiksi dengan ilmu biologi memang, tapi kan tak ada satu pun perkara yang dianjurkan dalam agama kecuali untuk kebaikan. Yak aku tahan-tahan saja laparku sampai cacing diperutku terasa hendak kabur karena beberapa temannya sudah mejemput ajal disebabkan krisis pangan. Sementara waktu aku masih bisa berdamai dengan laparku, sampai salah seorang temanku didapati kelebihan dua porsi pesanan Burger. Ya Allah, berilah hamba petunjuk: apakah ini sebuah rizki atau cobaan. Dengan awalan Bismillah, aku ambil satu dan kumakan dengan lahapnya tanpa banyak cincong. Semoga Allah mengampuni dosaku, dalam hati berdoa.

Rambut kelimis dipaksa tertidur rapi ke sisi kiri oleh pomade, celana hitam, sepatu hitam, batik merah hati dengan corak warna emas dan putih: milik ayahmu. Ahh, ini dia: waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Namaku dipanggil masuk juga. Kubawa semua kertas catatan, skripsi, laptop dan perkakas-perkakas lainnya. Aku berdiri tegak di hadapan penguji yang, sebenarnya terlihat lucu saat itu. Aku menoleh ke sisi luar memastikan kehadiranmu, tetap tak ada. Orang-orang berdiri melihatku, entah apa yang ada dipikiran mereka. Dugaanku mereka sedang bertaruh bahwa aku tidak akan lulus. Aku jadi gugup sendiri gara-gara ulahku yang seenak jidat menduga-duga orang itu. Lima belas menit saja, sudah cukup untuk membuat aku keluar dari ruangan itu dan mendapatkan kembali nafas yang tadi sempat berubah jadi sesak. Lalu seperti kau waktu itu, namaku dipanggil lagi, dan mendengar ketua penguji berkicau, dan hasilnya aku lulus. Terimakasih Ya Allah.

Sidang selesai dan ditutup, waktu Ashar tiba. Menghadap Tuhan dan bersyukur atas nikmat hari ini tak boleh dilewatkan. Setelah selesai, di depan Mushola ponselku berbunyi, telpon darimu. Cie, selamat ya sudah lulus, kata pertama darimu. Kau bilang, kau masih dijalan dan tak bisa datang karena terjebak macet sedari bandara mula, dan K memberitahumu bahwa aku sudah lulus. Saat itu K memang tiba-tiba saja ada, entah dari bumi bagian mana kehadirannya, tiba-tiba saja dia ada, tapi kau tetap tak ada.

*4 Oktober 2015*

Selamat ulang tahun, tulismu pada sebuah pesan singkat di ponselku. Kita ada janji pergi ke toko buku sore ini, bukan? Baiklah, biar aku mandi dulu, biar kutuang isi hatiku yang terlalu penuh. Kan yang kosong bisa lebih mudah untuk diisi, kan? Aku pun datang ke rumahmu selepas Maghrib, pakai baju kotak-kotak yang lupa kuhitung ada berapa banyak kotaknya. Aku takut kau tak sabar menungguku menghitung, nanti terlalu malam kan alasanmu. Kau bertanya, mau pakai motor mana? Ahh, pertanyaan yang baru kudengar sepanjang mengenalmu. Biasanya kau selalu jijik naik sepeda motorku kan? Katamu sepeda motorku lebih mirip sepeda motor mainan. Kupilih sepeda motormu, karena aku tak membawa surat-surat sepeda motorku yang masih mangkrak di biro jasa sehabis bayar pajak, belum kuambil.

Kita berangkat dengan hikmat, dengan caraku mengendarai sepeda motor yang lebih mirip pencuri ugal-ugalan. Traffic light berwana merah, sebagai pengendara yang tertib aku berhenti. Polisi pengatur lalu lintas uring-uringan memberhentikan satu persatu pengendara, padahal tak ada papan pemberitahuan operasi: menyalahgunakan wewenang. Belum dua puluh detik berhenti, polisi datang menghampiri dan meminta kita menepi. Ada apa pak? Tanyaku. Plat nomornya mati. Di tepi jalan kau jelaskan bahwa sebenarnya pajaknya sudah kaubayar, hanya samsat setempat belum mengeluarkan plat baru untukmu. Polisi itu minta kelengkapan surat-surat sebagai bukti ucapanmu, dan tak lupa memintaku menunjukan SIM. Sial, Polisi itu tahu kelemahanku. Aku kalah dalam perkara ini karena aku tak punya SIM, akhirnya lima puluh ribu melayang hanya agar tidak ditilang. Aku dan Polisi sekongkol suap-menyuap, sedang kamu menggerutu tak karuan seperti ibu-ibu takut tak dapat uang belanja. Aku tertawa-tawa saja.

Kita sampai di toko buku. Kau masih menggerutu mengutuki Polisi tadi. Aku terdiam sejenak menikmati bau buku di ruangan ini yang seperti bau surga, dan melihatmu di depanku dengan baju ungu itu seperti melihat bidadari di dalam surga: surga buku. Aku pernah membayangkan suatu saat nanti ingin memiliki sebuah rumah yang di dalamnya terdapat sebuah perpustakaan dengan berbagai macam buku yang mengeluarkan baunya yang khas, bau cendikiawan. Apa ada yang lebih menyenangkan daripada memunguti buah pikiran dari seorang penulis? Buah dari pengkhayatan kehidupan yang total dan mendetail.

Aku menatapmu lagi, bertanya-tanya dalam gelisah: untuk siapa kau bersolek? Untuk aku kah? Atau untuk surga ini? Atau untuk dirimu sendiri? Pertanyan itu berulang-ulang berputar di kepalaku seperti logika perulangan dan percabangan yang digabungkan dalam pengkodingan. Rindu itu sudah sampai pada halaman yang ditujunya, tak tersasar dan tak salah alamat. Rindu itu bersemi dan merekah di dalam surga buku yang membungkus kata-kata untuk terdiam. Menyelinap di antara rak-rak buku, dan liar beterbangan kesana kemari seperti kapuk di musim kemarau. Kubelikan kau Bulan, sebagai kado ulang tahunmu yang tertunda cukup lama. Kau bilang kan aku yang ulang tahun, kenapa aku yang memberimu kado? Aku hanya tersenyum, biar Bulan yang berkata-kata.

****



"Betapa tidak menguji ketabahan, jika sesuatu yang seolah-olah sudah seperti cinta masih juga tidak memberi jaminan kebahagiaan?" - Seno Gumira Ajidarma: Linguae





Con Amore...
Thanks for reading...