Kamis, 31 Desember 2015

Lain Waktu Akan Kupotong Senja Itu!

Senja yang keemas-emasan itu tembus ke dalam gedung ini. Apa hanya aku yang memperhatikan biasnya yang terpancar lewat kaca yang menjulang tinggi dan angkuh itu? Biasnya membentuk garis lurus dan jatuh terpecah belah dilantai. Berserakan menimpa sepatu dan kaki-kaki yang lalu lalang menyibukan diri. Tak seorang pun hendak memungutinya. Orang-orang disini tak pernah peduli akan senja, tidak sama sekali, mereka semua mengabaikannya. Lain waktu akan kupotong senja seukuran kotak kado sebagai hadiah ulang tahunnmu. Biar kau tahu keindahan hakiki di dalam kefanaan dunia ini. Tak apa bukan? Tak seorang pun akan merasa kehilangan senja yang akan kupotong itu. Kan tak ada yang peduli pada senja yang hanya mengatung sementara waktu di langit yang pucat keungu-unguan itu.

Sebentar lagi gelap akan menelan senja secara perlahan-lahan. Lain waktu akan kupotong senja itu! Pintu lift terbuka dengan sangat kasar dan suara orang-orang berhamburan seketika. Langkah-langkah yang tergesa bercampur dengan gerutuan sulitnya soal ujian akhir semester yang semakin tak masuk akal beriring-iringan membuat bising yang tak merdu. Seseorang tergelapak dengan setumpuk kertas penuh coretan tinta biru di hadapanku. "Sial revisi lagi, padahal checklist tinggal seminggu lagi ya. Parah banget tuh dosen!" Seorang penggerutu kelas kakap putus asa dihadapanku. Maka yang dikerjakannya hanya menggerutu hampir setengah jam lamanya sambil berganti gaya. Kadang tergelapak ke kanan, kadang belok ke kiri menghindari orang-orang yang keluar lift. Semua orang punya hak untuk menggerutu bukan?

Aku, A, dan Y kompak menggoda M. Menguak aib yang sudah sangat lama terjadi. Aku tak akan pernah memaafkanmu M, aib itu adalah senjata andalanku untuk mempecundangimu sepanjang waktu. Kau akan mati kutu dihadapanku seumur hidupmu. Maka sore itu menjadi sebuah paradoks antara penggerutu dan penggoda yang terbahak-bahak di atas aib orang lain. Sementara senja perlahan-lahan hampir habis digerogoti gelap. Tiba-tiba tumpukan kertas yang penuh coretan tinta biru itu berhambur di hadapanku. Semua orang sibuk menerka-nerka maksud coretan tinta biru yang bernamakan revisi. Aku tak peduli, laporanku pun masih belum selesai seutuhnya dan senja hampir hilang. A sibuk menerka-nerka maksud dan mencoba memberikan solusi. Maka diambilnya laptop untuk merealisasikan bantuannya. Y mendampingi A, walaupun hanya sebatas membantu membacakan hasil terkaan A. M menambahkan sedikit komentar. M yang dungu tak harus melakukan apa-apa, komentar pun sudah lebih dari cukup baginya. Si penggerutu makin jadi penggerutu karena solusi yang dihasilkan sia-sia dan tanpa kebenaran. Terjadilah chaos karena crowded yang berkepanjangan. Betapa tidak menguji ketabahan-sementara bias senja semakin tipis dan berhamburan kemana-mana, menabrakan diri pada segala hal, sedangkan keributan dasyat terjadi di hadapanku. Senja hampir sekarat! Tak kah kalian lihat itu? Kan mungkin senja memang tak penting untuk mereka. Apa sebegitu susah menikmati keindahan senja, pada hal yang memberikan kehidupan untuk kita? Berterimakasihlah pada segala hal yang memberikan kehidupan.

A hampir habis akal dengan kertas-kertas itu, tapi akal liciknya belum habis tuntas. "Tolong dong, lo kan ahlinya nih." Kuambil kertas berserakan yang penuh tinta biru itu satu persatu. Sial, dari mana dia dapat ide untuk mendeklarasikan aku sebagai ahli dari diagram-diagram yang menyebalkan itu. Kulihat lembarnya satu persatu dan aku yakin bahwa Tuhan sedang mengajakku untuk bercanda, kan Tuhan juga Maha Guyon. Tapi guyonan ini keterlaluan, tumpukan kertas itu adalah dua bab penuh laporan yang harus direvisi. Akan kubalas perlakuanmu ini, A. Lalu sedikit demi sedikit kutambah coretan-coretan tinta biru itu sehingga lebih mirip lukisan benang kusut yang tak berujung. "Salah Semua!" Ucapku cukup tegas. Maka si penggerutu itu menekuk mukanya seperti baju yang baru selesai dilindas setrika dengan suhu enam puluh derajat celsius. Tergelepaklah lagi dia ke kanan menabrak bahu A. Semenit kemudian penggerutu berubah menjadi perayu. Kan wanita memang seperti itu, tabiatnya seperti album kompilasi tahun sembilan puluhan: kaset pita side A dan side B. Side A berisi lagu-lagu rock n roll, side B berisi lagu akustik melankolis. Aku tak tahan mendengar alunan melankolisnya, maka kubuat garis-garis berbentuk diagram baru dibagian kertas yang masih kosong. Sampai-sampai aku tak sadar senja sudah menjemput ajalnya. Biasnya habis ditelan oleh gelap. Lampu-lampu di dalam gedung mulai dinyalakan. Dijalanan lampu-lampu kendaraan mulai saling bertabrakan. Adzan maghrib dikumandangkan. "Mari kita berbuka puasa!!" M meneguk segelas teh kemasan. Dihadapanku juga terdapat segelas teh kemasan yang sama yang disediakan oleh si penggerutu yang sudah berubah menjadi perayu. Kuteguk perlahan-lahan bersama pahitnya kehilangan senja. Maka malam itu kulewatkan untuk membuat diagram dengan perut hanya terisi teh kemasan. Itu adalah buka puasa terburuk seumur hidupku: hanya dengan teh kemasan.

Sejak malam itu kau kenal namaku kan? Apalah arti sebuah nama, semenjak malam itu pun aku mengenal siapa namamu. Tapi untukku, mengenal seseorang tak melulu harus tentang nama, maka namamu tak penting-penting amat untukku. Hari ini kau masih menggerutu tentang diagram-diagram itu. Semua orang berhak menggerutu dan bebas berkata-kata sesukanya, bukan? Tapi siapakah yang membutuhkan kata-kata? Semua orang di dunia ini sibuk berkata-kata. Maka kuambil lagi kertas kosong untuk memperbaiki diagram yang hanya bisa kau kata-katai itu. Betapa tidak menguji ketabahan: aku menggerutu. Hari itu diagram-diagram selesai dituliskan di atas kertas-kertas kosong. Jam sepuluh malam kita berdua terdampar di pos satpam. A datang mengahampiri dengan penuh keringat. Dia baru selesai main futsal dengan temen-teman satu kelasnya. "Gimana?" "Ini gara-gara lo, gila aja jam segini baru selesai ngerjain tuh diagram." "Gak apa-apalah." A bermain mata, "Taik!" "Hati-hati, sabuk item. Salah-salah kena hajar." Bulan yang pucat menggantung di langit gelap. Pulanglah, masih ada hari esok. Bulan pun bisa jatuh pingsan dan harus dibawa ke rumah sakit karena kelelahan. "Besok ke rumah gw ya". "Dimana?" "Jembatan Tiga." "Jembatan Tiga kan luas." "Besok gw kasih tau lewat telpon." "Ya, sampai besok." Aku pulang membawa segala gerutuannya yang kudengar sepanjang hari, dan lelucon peringatan dari A: sabuk hitam. Jalanan sepi sekali, lampu-lampu kota berderet sepanjang jalan, menyoroti sisa-sisa keputusasaan orang-orang: puntung rokok, plastik makanan, sobekan koran, dan penjual koran. Dan hidup bukankah begitu sederhana? Ia hanya terletak antara lapar dan buang air: selebihnya baik-baik saja.

Kemarin malam kau baru saja memanen isi kepalaku. Mungkin hari ini kau akan gunduli isi kepalaku. Betapa peliknya hidup ini. Hari ini aku habiskan waktu di rumahmu, sampai benar-benar habis diperas. Jam sembilan pagi aku sudah berangkat, dan jam dua pagi baru pulang. Tak ada satu pun pekerjaan di dunia yang menghabiskan banyak waktu tanpa digaji selain memupuk cinta. Tapi terlalu dini kan menafsirkannya? Maka kutimang-timang tafsiranku itu saat meneguk segelas kopi. Dua teguk yang akan datang, akan kucecap hangat darahmu sampai kering. Dan kopiku kering sebelum tegukan kedua. Tuhan melemparku jauh dalam kelelahan. Maka kuberes-bereskan hidupku yang memang kurang beres untuk berpamitan pada bapakmu. Isi kepalaku benar-benar kau gunduli sebagai tameng dari tinta-tinta biru. Sepanjang jalan pulang yang ada hanya kosong: jalanan kosong, gerobak kosong, rumah kosong, dan isi kepala yang kosong. Lalu kau datang mengisi kekosongan-kekosongan itu. Di jalanan, di rumah rumah, gerobak, dan dalam pikiranku. Malam menganga dan kau menjadi gema, sepanjang jalan itu kekosongan terisi olehmu.

***

Siang itu aku bertamu ke rumahmu, masih dalam suasana lebaran yang menenangkan. "Kamana wae?" "Aya bu di bumi, teu kamana-kamana. Minal aidin wal faidzin nya." Ibumu benar-benar sangat baik menerimaku sebagai temanmu. Terus, kan kau datang menemuiku. "Selamat ulang tahun." Sambil kuberikan bingkisan yang sangat merepotkan untuk dibawa ini. Maaf ini bukan senja yang dulu hendak kupotong sebesar kotak kado sebagai hadiah ulang tahunmu. Hari sebelumnya aku sudah coba mencari- cari senja untuk dipotong, tapi tak ada. Senja sudah pindah ke pantai dan jadi tontonan turis lokal. Lain waktu akan kuajak kau ke pantai melihat primadona baru disana: senja. Aku sudah sering diminta datang ke pantai untuk sekedar melihatnya, tapi selalu tak sempat. Cuma sebuah lampu yang cahayanya mirip-mirip senja yang mampu kuberikan padamu. Aku tahu cahanya pun tak pantas untuk disebut duplikat senja, tapi aku harap kau dapat melihat senja dari sana, bagaimana pun caranya. Satu lagi, aku sedikit malu memberikannya: setangkai mawar putih. Aku tak pernah memberi bunga kepada siapa pun, ini adalah pertama kalinya dalam hidupku. Aku tak tahu mawar putih melambangkan apa, saat membelinya tak menimbang-nimbang makna dari warna bunga. Aku hanya lebih suka warna putih ketimbang merah, begitu saja. Maaf hanya satu tangkai saja, lain waktu mungkin akan kupersembahkan bersama dengan kebun-kebunnya, lengkap dengan pupuk, gunting, pestisida, dan alat siramnya.

Aku masih saja sempat tertidur di kursi ruang tamu saat menunggumu mandi sore itu. Aku benar-benar kekurangan tidur beberapa hari belakangan. Walau sering melek di malam hari, aku bukanlah pendoa yang ulung. Aku hanya pekerja malam yang terus-terusan lembur menggali lubuk hatimu. Entah sampai seberapa dalam lagi harus kugali, karena belum juga kudapati mata air yang dinamakan cinta itu. Maka sering kukuat-kuatkan hatiku saban pagi setelah menggali hatimu: Tuhan akan membayar segala jerih payahku dengan seadil-adilnya. Aku tersentak bangun saat mendengar suara langkahmu menghampiriku. Aku ingin pamit pulang. Aku takut mati muda karena terlalu sering menenggak harapan cinta darimu, tapi kau malah mengajakku keluar untuk mencari makan.

Ayo kita pulang, perut sudah kenyang dan hari mulai petang. Di jalanan terlihat semburat cahaya keemas-emasan yang melewati dedaunan, dan berlarian di atap mobil yang diam terjebak macet. Senja datang mengintip perjalanan pulang kita berdua. Kilaunya menyapa lewat kaca spion dan menabrak muka. Apa mungkin senja melarikan diri dari pantai? Sampai di rumahmu cahaya keemasan senja masih ada dan menempel di bagian tengah pintu rumah, sisanya tersesat di pohon magga. "Pamit ya, selamat ulang tahun." Kau lambaikan tangan saat aku beranjak pulang. Senja menyiluetkan wajahmu. Lain waktu akan kupotong senja dan wajahmu itu! Akan kusimpan dalam dompetku.



"Sumpah, kan kutemukan suaramu, menebus kata akhir untuk benar-benar pergi"





Con amore..
Thanks for reading..