Jumat, 23 Desember 2016

Senja Terakhir

Satu, dua, tiga, empat, bahkan belum genap sepuluh aku menghitung, tapi rasanya sudah seperti penantian dua belas tahun Rahwana yang menawan Sinta di Argasoka, Negara Alengka yang terkenal itu. Konon Rahwana adalah seorang raja yang gagah perkasa, menculik Sinta karena begitu cintanya ia pada Sinta dan sangat ingin memperistrinya. Tapi Sinta selalu bilang "No, Rahwana, aku sudah diperistri oleh Rama". Ahh Sinta, dimana lagi ada jelmaan seperti dirinya? Tidak buta oleh tahta, begitu pula harta. Tidak luntur pula cintanya pada Rama yang sudah dua belas tahun berpisah. Seandainya saja ia menerima cinta Rahwana dan sudi diperistri olehnya, ia pasti sudah menjadi Ratu Alengka yang dipuja-puji saban hari oleh orang-orang seantero Alengka karena kecantikan dan keberuntungannya. Ahh Rahwana, betapa lapang hatinya untuk tetap berusaha membangun kemegahan cintanya kepada Sinta yang saban hari dalam dua belas tahun selalu menolaknya. Kemudian... "Itu bukan keretanya?", katamu sambil menunjuk ke arah rentetan gerbong yang sudah nampak sangat lelah menampung gelisah penumpang dari pagi sampai malam tanpa dapat jatah libur, bahkan di hari Minggu. "Iya kali, coba aja liat."

Kita berjalan menuju peron, menyusuri anak tangga otomatis yang mesinnya mati entah kenapa. Kita berjalan beriringan seperti sepasang....... Aku sering merasa aneh dengan kenyataan, betapa kita bisa begitu dekat dengan seseorang, namun bila tiba saatnya berpisah, kita bisa saja tidak berjumpa lagi dengan orang itu, barangkali sampai mati. Pertemuan, perpisahan, astaga, betapa semua ini menjadi bagian kehidupan. Kupikir aku selalu siap berpisah dengan siapapun wanita yang kutemui. Namun ketika saat perpisahan itu tiba., rasanya aku tidak pernah siap.

"Satu, dua, nah itu peron dua."

"Terus kita nunggu dimana?"

"Sini aja deh."

Hari masih pagi, tapi matahari sudah sangat terik sekali rasanya. Kulihat wajahmu begitu lusuh. Keringat mulai membasahi kulit di atas bibirmu. Sesekali kau melenguh pelan. Begitu mudah menerjemahkanmu. Tidakkah memang indah membayangkan diri hidup bersama dengan orang yang benar-benar kita cintai sepenuhnya dan tiada lain selain dia? Aku sering terpana menyadari betapa dunia ini dan segala urusannya menjadi tidak terlalu penting selama kita mendapatkan cinta.

Pemberitahuan kepada seluruh penumpang, bahwa kereta jurusan Stasiun Tanah Abang hanya berakhir sampai Stasiun Sudirman, dikarenakan ada gangguan. Sekali lagi, pemberitahuan kepada seluruh penumpang, bahwa kereta jurusan Stasiun Tanah Abang hanya berakhir sampai Stasiun Sudirman, dikarenakan ada gangguan. Terimakasih atas perhatiannya. Terdengar suara wanita dari pengeras suara. Kau melenguh lagi, agak sedikit lebih keras dari lenguhan pertamamu. Kutaksir kau mulai memasuki kategori putus asa karena menunggu. "Tenang kita kan berlawan arah." Kataku. Kereta datang dan penumpang keluar dengan kalang kabut karena (mungkin) takut terlambat masuk kerja. Betapa peliknya hidup di kota besar bukan? Setiap pagi harus berburu waktu demi memenuhi kebutuhan hidup, kredit bulanan, dan berakhir dengan dana pensiun yang tidak seberapa. Jika ada hari lain setelah masa pensiun tiba, maka orang-orang seperti mereka akan berbondong-bondong mencari tiket surga. Mungkin itu sebabnya di rumah-rumah ibadah yang nampak sebagian besar adalah wajah-wajah renta yang hampir kehabisan waktu.

Kereta sudah kosong, kita segera bergegas masuk dan menyusuri satu persatu gerbong yang terbentang hampir seratus meter ini. Atau mungkin lebih.

"Disini aja, semua tempat sama."

"Bau pesing sama bau ketek kan?"

"Iya." Timpalmu sambil cengengesan.

Perjalanan singkat ini akan menjadi perjalanan yang terasa sangat lama sekali untuk direnungkan. Melebihi lamanya lamunan Rahwana yang bertanya-tanya akan keteguhan hati Sinta. Sebegitu keraskah hati seorang perempuan? Atau mungkin sebegitu hebatkah cinta? "Tuhan, jika cintaku pada Sinta terlarang, mengapa kau bangun megah istana cinta ini dalam hatiku?" Terdengar suara parau Rahwana. Seandainya Wibisana yang tak lain adalah adik Rahwana mendengar apa yang diucapkan kakaknya, mungkin ia akan menyesal sejadi-jadinya. Wibisana adalah dalang dari semua kejadian ini. Ia adalah orang yang menaruh Sinta di atas kanaga ketika masih bayi, lalu menghanyutkannya ke sungai sampai akhirnya masuk pesawahan bumi Mathili dan ditemukan Prabu Janaka. Rahwana tidak pernah tahu sedikit pun kalau Sinta adalah anaknya yang ditukar dengan bayi laki-laki yang kelak bernama Indrajit. Betapa malang Rahwana. Yang dia tahu Sinta adalah titisan Dewi Widowati, tak lain tak bukan.

Tiba-tiba saja kereta berhenti. "Ayooo! Kita harus pindah kereta jurusan Bekasi nih." Gerutumu. Ternyata kereta sudah sampai Stasiun Manggarai. Hari mulai menjelang siang, kereta terasa agak lenggang. Paling tidak hanya baru ada bau ketiak dan pesing dimana-mana, dibandingkan sore hari dimana wajah bisa langsung bersentuhan dengan ketiak siapa saja. Peluit berbunyi, kereta berjalan tenang. Kita duduk berdampingan. Aku bukan Rahwana, dan kau pun bukan Sinta. Tapi istana cintaku tak kalah megah dengan istana cinta yang dibuat oleh Rahwana. Istana yang diam-diam kubangun tanpa harus menawanmu selama dua belas tahun.

Perjalanan pulang ini terasa semakin panjang, karena tak satu pun kata terucap dari mulut kita. Gerbong ini tahu: aku seperti batu, batu yang bisu, sejak kata-kata dari lisanku tak sanggup lagi berseru. "Tidur ahh, bangunin ya nanti". Kataku sambil meluruskan badan dan menyandarkan kepala di sampingmu. Maaf semalam aku habis lembur menggali lubuk hatimu lagi. Mencari jawaban dari tanda tanya yang masih terpampang besar di dinding kamarku.

***

Disuatu tempat antara Hawai dan Australia, ada sebuah taman kecil melingkar dibatasi bebatuan bulat yang tertata rapi, ditepian danau yang begitu jernih. Tempat yang hijau, damai, dan berbau humus. Aku melihat seekor burung yang berwarna orange begitu terang dilapisi semacam rompi kulit di bagian dadanya dengan tulisan Ayah.

"What's your name?"

"Ayah."

"Where are you from?"

"Melbourne, lots of people ask me 'asline endi mas?'"

Aku cekikikan dalam hati, bisa-bisanya mereka bertanya seperti itu. Seekor burung disebuah negeri antah-berantah ditanya dengan Bahasa Jawa? Meski aku tetap bertanya-tanya dalam hati, kenapa seekor burung disebuah negeri antah-berantah bisa bernama Ayah?

Ayah, sebuah burung yang lincah dan indah, terbang dari ranting ke ranting dengan kepak yang menawan. Berkicau riang seperti seorang anak yang baru diberikan kado ulang tahun ke empat oleh bapaknya. Sejurus kemudian Ayah hilang, terbang tinggi dan tertelan awan. Keindahan memang seperti itu bukan? Suatu hal yang bebas dan tak terbatas, membuat pandangan dan isi dada menjadi damai. Mesti hanya selintas, tapi selalu membekas. Seperti cinta, bukan begitu?

Aku berjalan mendekati tepian danau, berdiri dan menatap sebuah wajah yang haru karena merindu. Sebuah kesedihan, buah tangan dari mencintai dengan cara yang bisu. Apalah yang bisa aku lakukan di tempat ini saat merindui seseorang di belahan dunia lain, di sebuah negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi. Aku hanya sanggup tertegun, membungkuk dan duduk. Separuh kakiku masuk ke dalam air. Ikan-ikan kecil menari dan mengitari kakiku. Tuhan, jangan biarkan aku mati dengan cara jauh dari keindahanmu. Merindu bagaimana pun adalah sebuah perkara yang tak bisa dianggap menyenangkan. Lima menit bisa terasa seperti lima puluh tahun, dan waktu yang kosong bisa menjadi berabad-abad yang penuh dengan sejarah.

Dan, tiba-tiba saja langit menjadi ungu. Semburat cahaya menerobos gumpalan-gumpalan awan. Mentari perlahan-lahan turun diujung danau dan berubah menjadi kemerahan. Burung-burung terbang pulang ke sarang. Dedaunan tertunduk dan angin meredup. Senja tiba. Air membiaskan sinar-sinar keemasan. Awan menyerap warna-warna kemerahan. Percayalah, kali ini akan benar-benar kupotong senja seukuran kotak kado untuk kita nikmati berdua disana, di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, dengan secangkir kopi di sebuah meja di taman, diiringi sepenggal gelak tawa, dan seonggok cinta. Senja ini akan menjadi senja terindah yang pernah kau saksikan seumur hidupmu.

Dari kabar yang kudengar, di negeri ini senja sanggup bertahan selama dua tahun sebelum datangnya malam. Maka dengan semangat kukayuh sampan menuju senja. Akan kupotong senja itu seukuran kotak kado dan kuselipkan di buket bunga sebagai hadiah kado ulang tahunmu yang hanya tinggal seminggu lagi bukan? Kita akan menikmatinya bersama di sebuah taman dengan secangkir kopi dan sepenggal gelak tawa, juga seonggok cinta.

Setelah susah payah akhirnya kudapatkan juga sepotong senja seukuran kotak kado. Kumasukan ke dalam saku, dan cahayanya bertaburan kemana-mana seperti hendak melarikan diri. Kukayuh lagi sampanku, menuju negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi itu. Meski tak semegah Bahtera Nuh, aku yakin sampan ini sanggup membawaku berlayar dari sebuah pulau yang terletak antara Hawai dan Australia menuju ke negerimu. Saat waktu memanggil, tak ada lagi yang bisa mengelak. Bahkan lautan yang sebegitu luasnya pun akan kuarungi.

***

Aku tersentak ketika tiba-tiba saja kereta berhenti. "Dimana nih?" "Udah sampe kali." Aku seakan tidak percaya. Beberapa menit yang lalu aku sedang mengayuh sampan di atas samudera biru. Sejurus kemudian aku tengah berada di dalam gerbong yang bau pesing bersama denganmu. Tak bisa dipercaya! Tak ada senja! Bahkan senja yang sudah susah payah kupotong seukuran kotak kado pun hilang entah kemana.

Setengah percaya, setengah tidak. Saat melangkah keluar stasiun aku melirik kalender yang ada di dalam loket. Aku terperanjat, sekarang bulan Maret. Saat mengayuh sampan tadi itu bulan Agustus! Satu minggu sebelum hari ulang tahunmu. Bagaimana mungkin waktu bisa terbolak-balik begini?

Sesampainya di rumahmu aku tahu, ini mungkin akan jadi pertemuan terakhir kita. Bukankah sudah kukatakan sebelumnya, begitu mudah menerjemahkanmu. Senja, daun pintu, pohon mangga, secangkir kopi, dan lenguhanmu, entah kapan kita akan berjumpa lagi. Perpisahan, pertemuan, astaga, pada akhirnya aku dihadapkan dengan kenyataan ini. Sungguh aku menjadi ranggas, dan kata tercekat di kerongkongan. Perpisahan bagaimana pun caranya adalah sebuah perpisahan. Seandainya saat itu bisa kuhentikan waktu seperempat detik saja, aku akan merekam raut wajahmu lebih lama lagi. Seperempat detik lebih lama sudah cukup untuk membawa wajahmu dalam ingatanku. Seandainya aku tahu ini akan menjadi pertemuan kita yang terakhir, aku tak akan meninggalkanmu tertidur. Aku tak akan menjadi batu. Aku akan menjadi senja di kelopak matamu. Senja yang tak pernah tenggelam, bahkan sampai kau bosan dan muntah-muntah karena selalu menatapnya.

***

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh. Rinduku sudah hamil tua. Tujuh bulan. Tak bisa digugurkan! Dua bulan lebih lama lagi dia akan lahir dan tangisnya akan memekakan telinga melibihi terompet tahun baru di sepanjang Pantai Copacabana, Rio de Janeiro. Seperti cerita di dalam dongeng, aku mungkin tak keberatan menunggumu berapa lama pun selama aku mencintaimu. Tapi barangkali aku tak harus menjadi tua dalam tanda tanya. Empat puluh tahun yang akan datang kita berdua akan mengingat kejadian ini. Di sebuah beranda di suatu tempat kita akan bertemu lagi. Di bawah pohon yang rindang dimana burung-burung lepas bernyanyi. Angin sepoy membawa angan kita melayang kembali ke sebuah gerbong yang bau pesing. Seperti daun yang gugur melayang tenang tersungkur ke selokan, kemudian hanyut. Kita akan saling menembus pandangan, jauh, jauh, sampai airmata kita berdua berlomba menghitung waktu, membekukannya, karena kata sudah habis digasak kesombongan yang mulai merenta. Tak kuasa aku membayangkan kejadian yang akan datang itu. Rambut kita berdua mulai memutih, mata yang sayu dan pipi yang melesung berbaris-baris. Senja yang kemerah-merahan menjadi saksi sepasang manusia yang tumbuh tua dalam tanda tanya. Air mata yang sudah tak sanggup lagi terseka menghitung mundur empat puluh tahun lamanya. Senja mengoyak dedaunan dan menyiluetkan wajahmu. Wajah yang dulu hendak kupotong, tapi urung terlaksana. Kita berdua berjalan beriringan seperti dulu kita berjalan ditangga yang menuju peron dua. Senja membuat waktu membekas di pipi kita berdua.




"Dimana dulu kita bertemu? pernahkah engkau mencatatnya?"





Con amore...
Thanks for readng..