Kamis, 15 November 2012

Amor

Aku berjalan diantara malam, diantara heningnya kegelapan. Aku meraba kenyataan, mencoba cumbui desir-desir kesepian. Inilah aku bersama malam. Melangkah dengan pelan bersama lamunan, ditembangi suara merdu jangkrik dan serangga malam. Adakah sesosok kuntilanak yang rela menemaniku ? Meliukkan tawanya untuk memecah sepi.

Gadis
Sadarkah kau ? Mungkin tak sadar, karena ini malam buta. Dan kupastikan kau sedang lelap dalam tidurmu. Memeluk gulingmu dan hangatkan tubuhmu dengan selimut tebal bulu angsa. Secara puitis aku rela menjadi pengganti guling untuk kaupeluk. Ohh ya, itu bukan puitis, mungkin gombalis. "Gombalis" itu hanya karanganku, tak ada juga dalam kamus besar bahasa indonesia. Ha ha ha

Jika saja kau tersadar dan ada disampingku. Kau mesti tahu, letupan-letupan dalam dadaku semakin bergejolak dan ingin memuntahkan segala isinya. Isinya hanyalah rangkaian cinta sederhana yang terbentuk saat pertama kali kita berbagi cerita. Tapi berikatan kuat seperti kutub magnet yang melekat dengan kutub lainnya yang berlawanan.

Ini bukan perkara medan magnet yang dipelajari di sekolah. Ini perkara perasaan yang tak pernah dibahas institusi mana pun. Bahkan dalam ilmu psikologi pun tak pernah kudengar mengupas kuliah tentang kerumitan jatuh cinta.

Jatuh ? Aku benci jatuh . Siapakah penemu kata jatuh ? Harusnya kerasukan cinta, bukan jatuh cinta. Siapa yang rela jatuh ? Berdarah-darah, sakit, terluka. Cinta tak seperti itu. Cinta itu tertawa, bahagia dan melayang tak sadar. Katakanlah kerasukan cinta (mulai saat ini). Maka kau akan tertawa, kau tak akan pernah sadar apa pun yang kaulakukan hanyalah demi cinta. Walaupun menurut orang lain itu sedikit gila.

Malam yang aku temui kini semakin tinggi. Tinggi, tinggi, dan tak mampu aku menjangkaunya. Aku semakin tunduh dalam sepi. Mungkin malam pun sudah enggan menemani lelaki kuntet yang selalu bergelut dengan sepi. Padahal jika saja dia-malam tahu aku sedang kerasukan cinta, aku yakin dia akan memohon untuk mendengar ceritaku. Lalu aku pura-pura tak peduli. Sampai dia merengek, mengemis, dan bersujud di depanku, barulah akan kuceritakan kisah kerasukan cintaku. Tapi sayang dia sudah pergi. Kini aku sendiri beratap langit gelap. Sesekali memang terlihat bintang yang mengedipkan matanya, tapi sudahlah. Bintang terlalu jauh untuk kuraih, it's so impossible-meraih bintang.

Kulihat lagi ke atas, kutemui lagi bintang yang terus saja menggodaku. Tapi untuk kesekian kalinya aku tetap tak peduli, tidak sama sekali. Disamping bintang genit itu awan berarak ke utara, berkejar-kejaran seperti segerombol bangau yang berpacu dengan senja. Segumpul demi segumpul hilang. Ahh cepat sekali mereka pergi. Tapi.... Iya ada tapinya. Setelah kepergian gumpalan awan yang membentuk ekosistem itu, aku melihat sekumpulan bintang yang saling bersahutan mengerlingkan cahayanya. Bintang yang tadi genit menggodaku sudah tak kuketahui dimana adanya. Bentuk mereka semua sama. Di selatan kutemukan rasi bintang layang-layang. Sepertinya rasi bintang penunjuk arah selatan itu tak akan pernah berpindah tempat walau tertiup angin badai sekali pun. Dia adalah bukti setia pada keteguhannya. Aku pernah membayangkan jika sebenarnya rasi bintang layang-layang pernah digoda untuk berpindah ke arah barat laut. Dijanjikan kepadanya wanita-wanita cantik yang melamun di atas atap rumah. Tapi dengan tegas dia menolaknya. Sungguh sejati, karena sampai saat ini ia masih di selatan.

Itu rasi bintang layang-layang dengan kisahnya. Lain dengan kisah kerasukan cinta milikku. Lain sekali. Tak perlu panggil Wak Haji untuk merukiahku. Kerasukan cinta sudah menjadi bagian setiap hidup manusia. Biar kujelaskan, tapi tak perlulah. Sudah kujelaskan kenapa aku katakan kerasukan cinta.

Gadis
Kauingatkah lagi ? Ketika mata kita terkunci diantara ketidakpastian. Kita berbincang, berbagi potongan-potongan mozaik tentang kehidupan. Disanalah, di bawah pohon pada suatu pagi. Aku merasakan ada letupan-letupan kecil yang saling bertabrakan, bergerak bebas, dan menjadi sebuah rangkaian sederhana ikatan perasaan.

Aku pikir kamu unik dengan segala kisahmu, seperti narasai fiksi yang aku coba rangkai setiap hari. Tapi di hari selanjutnya yang kita lalui, mata kita tak lagi saling mengunci. Tatapan kita terlepas karena objek-objek lain yang ada disekeliling kita. Letupan-letupan kecil itu terpencar dari rangkaiannya, mengusik setiap lamunan di hadapan secangkir kopi. Bergerak teratur mengacau ketenangan dopamine, menggunung dan meledak, menghancurkan setiap kerja otak yang mengusung logika.

Aku ditertawai oleh secangkir kopi. Dia-kopi mengolok-ngolok keadaanku. Dia tak lagi manis diujung lidahku. Sementara kamu terlelap disana. Merangkai mimpi dengan segenggam cokelat ditangan mungilmu.

Embun-embun pun mulai berguguran, menari dan terjatuh diujung daun talas. Mengikuti perannya dalam skenario semesta yang sudah Tuhan tuliskan di Lauhul Mahfudz sebelum dunia dan isinya tercipta. Ayam yang berkokok mengantar jaelangkung pulang. Bintang tetap genit dengan kerlingnya. 

Menjelang Adzan Subuh kopi pekat pengiring sepiku bersabda. "Itulah cinta. Dia akan menghampiri pagimu yang tenang, menebar gelisah dan membuatmu membenci sains". Kalimat itu menggelinding bersama buih embun terakhir yang jatuh ke tanah. "Inikah cinta ? Satu hal yang tak pernah mampu dicerna logika". Jawabku.

Maka aku akhiri sepiku menjelang pagi. Aku tandai dengan perdebatan bersama secangkir kopi. Tentang kenapa wanita bisa membuat lelaki terserang penyakit gila stadium akhir. Tentang kenapa wanita selalu menyela. Tentang kenapa wanita suka pura-pura tak peka, padahal penglihatannya sudah dibantu kacamata minus tiga. Mendengar semua itu cangkirku pecah dalam hitungan enam ratus dua puluh empat detik. Kopiku tak mampu menjawab pertanyaan yang semakin banyak keluar dari mulutku yang nyatanya sangatlah bawel.

Mungkin hanya itu penggalan kisah yang sanggup aku ceritakan bersama sepi dan secangkir kopi. Di dalamnya aku leburkan tawa dan tangisku yang sejadi-jadinya. Menggagalkan kesangaran. Menumbuhkan harapan. Ketika pagi menyambut hari, aku ucapkan selamat pagi dengan sejuta pangkat cinta.

Saat ketika aku semakin tak mengerti cinta, maka kausunggingkan tawa yang membuatku bahagia..

con amore....
Thanks for reading......



Kamis, 01 November 2012

Gadis Hiragana


Hey Gadis Hiragana. Sebentar, bisakah kau jelaskan arti tulisan itu. Aku lihat pensilmu sangat lincah menulis aksara jepang yang sangat aku benci ketika sekolah.

Aku tercengang, ketika satu persatu kau isi teka-teki itu. Aku mungkin tak cukup lama mengenalmu, aku tak pernah tahu adakah satu dari sekian kemampuanmu untuk menulis aksara itu. Karena yang aku tahu kita bisa bersua setiap waktu, kita berbagi tawa setiap jumpa.

Tapi malam tadi ada hal yang tak pernah aku rencanakan sebelumnya. Kamu hadir di mimpiku. Sepanjang mimpi kita tertawa, kita bergandengan tangan. Ah... Ada apa dengan kita ?

Disaat terjaga aku bertanya-tanya. Tuhan, gerangan apa yang kau coba lagi aplikasikan dalam struktur kesintinganku ?

Di akhir mimpi kamu-Gadis Hiragana, menyelesaikan teka-teki itu. Aksara yang sedikit pun tak mampu aku mengerti. Mungkin tak mau mengerti, karena masih memendam dendam nasionalis akibat dulu negara kita terjajah oleh bangsanya.

Hey kamu... Iya kamu gadis pemecah teka-teki hiragana. Kamu mencuri waktu tidurku, padahal hampir setiap hari kita diskusi. Ada pesan apa yang hendak kau sampaikan ? Harusnya kamu tahu jika aku buta akan aksara aneh itu.

Sejak tadi pagi diam-diam aku memikirkan mimpi itu, juga kamu. Lalu aku curiga kepada Tuhan, jangan-jangan Ia ingin aku segera berpacaran. Tuhan, pacaran itu tak bisa dipaksakan. Kita harus diskusi ulang tentang ini. Tuhan aku tahu, diam-diam kamu-Tuhan mengintip isi hatiku: rasa sepiku yang semakin hari semakin disudutkan oleh waktu.

Hey Gadis Hiragana, jika kamu hanya mimpiku tetaplah menjadi mimpi. Kamu harus tahu, kalau aku sangat senang bermimpi, bahkan untuk hal yang paling gila di dunia ini. Tapi, jika seandainya Tuhan ingin membuat sekenario baru dalam hidup kita, kamu harus tahu, bahwa aku hanyalah seorang lelaki sinting.