Jumat, 21 Desember 2012

Purnama Tak Terlukis

Kaulukiskah purnama itu ?
Aku mungkin salah membuat pertanyaan. Tak ada purnama malam ini, tak ada sedikit pun cahaya di langit malam. Ah, hujan pun rintik-rintik gerimis malam ini. Aku tak ingin berpuisi. Tak ingin berdialog dengan hujan. Biarlah turun hujan malam ini hingga terlelap ku dibuatnya. Bersama merdu nyanyian serangga malam yang saling bersahutan. Diiringi semeliwir angin yang pelan-pelan menghampiri lewat lubang-lubang di atas jendela.

Malam terus berangsur naik. Semakin hari, semakin bertambah pula kebodohanku untuk tak mengerti. Aku memang terlalu bodoh, atau mungkin dibuat bodoh oleh perasaanku sendiri. Bukankah seharusnya hormon dopamine berkurang secara konstan setiap mengulang terhadap orang yang sama ? Tapi kenapa kau menjadi seperti candu untukku. Semakin hari, semakin menagih, you're my drug ! Inikah tanda-tanda sakit jiwa karena cinta tak pernah bertanya ? Atau ini sisa halusinogen yang masih melekat dalam syaraf sejak tahunan lalu. Sepertinya tetra-hydro-cannabinol dapat menjelaskan semuanya dengan penuh canda. Tapi, lupakanlah. Kau lebih dari segalanya untukku dibanding zat adiktif yang dapat merusak sistem kerja syaraf . Kau memiliki semua zat-zat dalam napza. kau lebih baik dari heroin, cannabis sativa syn, morfin, kokain, opium, ataupun ICE. Kau sanggup memberikan khayalan, ketenangan, kebahagiaan, kekuatan, dan ketagihan dalam waktu yang bersamaan.

Sejatinya, dalam setiap ruang waktu yang tebuang diantara kata-kata kita. Aku ingin sekali melontarkan tanya. Tapi terlalu beku. Kaku, tak memberikan sedikit pun elastisitas pada lidahku yang sebenarnya tak bertulang. Daun jenuh menunggu kata dariku. Kamboja menggugurkan daunnya sebagai tanda protes terhadapku. Burung hantu tak mau lagi menyerukan suaranya yang kadang membuat bulu kuduk berdiri karena merinding, Ia menolehkan kepalanya seratus delapan puluh derajat karena enggan mengintipku dari celah jendela kamar. Aih, seburuk itukan nasibku malam ini ?

Gemericik hujan menjadi soundtrack malam ini untukku yang sedang duduk dan mencoba berkawan dengan secangkir kopi yang masih saja tak banyak tingkah. Masih saja tenang, hangat, walaupun kadang berbeda pendapat denganku. Kawan, masih ingatkah tentang pedebatanku dengan secangkir kopi ? Percayalah, kali ini tak akan terjadi lagi. Aku berjanji pada kalian, pada ibuku, ayahku, teman-teman sekolahku, dan seluruh benda yang ada dimuka bumi. Demi terciptanya kedamaian malam ini: sungguh, aku berjanji tak akan memperdebatkan keadaanku dengan kopi ini. Biarkan dia berikan kehangatannya untukku, biarkan. Tak ada lagi yang sudi menemaniku selain secangkir kopi ini. Dalam ruang 3 x 4 yang terasa cukup luas untuk kamar seorang bujang, aku hanya duduk dan saling berdiam diri bersama secangkir kopi hangat. Inilah moment of silence.

Sekarang waktu sudah menunjukan jam 21.24. Bersama iringan lagu Back to December milik Taylor Swift dengan versi yang berbeda, aku menikmati ketenangan dan kebodohan ini dihadapan secangkir kopi. Masih banyak kata yang ingin aku sampaikan lewat tulisan ini. Walau aku tahu, tak sekali pun kamu berminat untuk membaca tulisan-tulisanku. "Malas", itulah alasan yang kausampaikan ketika aku memintamu untuk membaca tulisan-tulisanku. Tak mengapa, aku tak peduli. Biarlah tulisan ini bergema dalam keabadian, dalam rentang waktu tanpa batas. Walau tak tersampaikan maksud hati kepadamu. Walau tak tersentuh hati karena puisiku. Inilah hidup yang harus selalu diperjuangkan. Bukankah Tuhan tak pernah salah dalam mengatur skenarionya ?

Lagu Back to December sudah berhenti berputar, bersama dengan buih-buih hujan yang semakin berkurang suaranya mengetuk jendela kamarku. Burung hantu sudah terbang entah kemana, pergi dari pohon jambuku. Malam semakin meninggi, menyisakan gerimis dan secangkir kopi yang mulai kehilangan hangatnya. Pupus sudah akan harapan purnama yang terlukis malam ini. Potretmu semakin jelas melekat dalam pikiranku. Lelaki sepertiku yang tak mampu mengungkapkan cinta sudah sangatlah langka. Jika ada nominasi awards untuk lelaki macam aku ini, mungkin aku yang akan menjadi juara bertahan selama lima tahun berturut-turut. Aih, tak apa bukan ? Nominasi macam itu tak lebih buruk daripada wajah maling jemuran yang cemas karena dikepung warga desa.

Aku akhiri malam ini dengan mengingat wajahmu dipelataran rumah untuk mengantar kepulanganku. Aku matikan lampu kamarku. Lagu pengantar tidurku segera berputar, Prettiest Friend milik Jason Mraz. Semoga terlelap kau disana, semoga indah mimpiku disini.




I wrote this for my prettiest friend who while trying not to prove that i care, trying not to make all my moves in one motion and scare her away. Well, she can't see she's making me crazy now. I don't believe she know she's amazing how, she has me holding my breathe. So i'd never guess that i'm a none such unsuitable, suitable for her (Prettiest Friend by Jason Mraz)



Con amore.....
Thanks for reading.....




Sabtu, 08 Desember 2012

Hipotesa

Sampai pada suatu hari aku tak pernah percaya, jika aku cinta padamu. Tak pernah. Aku bergelut dengan waktu, melebur dengan malam, dan membangun setiap hipotesa yang mungkin saja terjadi dalam konotasi ideologi imajinasi. Sumber seni yang selalu Albert Einstein kiblatkan dalam setiap pemikirannya, imajinasi. Bagaimana mungkin energi adalah hasil dari massa kali kecepatan cahaya. Sampai saat ini aku masih tak mengerti apa yang Bapak Jenius itu pikirkan dari E=mc kuadrat. Sama seperti aku tak mengerti kebeneran apakah aku cinta padanya ?

Banyak sudah hipotesa yang aku rumuskan dalam setiap imajinasiku. Sangat banyak, dan selalu bernilai salah. Setiap aku dapatkan formula dari pemikiranku, maka keesokan harinya aku dapatkan lagi rumusan yang menyalahkan formula sebelumnya. Maka duagaan-dugaan yang selalu aku buat setiap hari tak pernah benar dalam pola graf garis simetris pada titik koordinat cinta.

Untukmu
Aku tak pernah berhenti berpikir untuk menemukan kebenaran dari hipotesa-hipotesa gilaku. Saat ini aku sudah merumuskan tujuh ratus dua belas hipotesa yang selalu bernilai salah. Bahkan ketika kau jatuhkan jasadmu dalam pelukku, dan ketika kurangkulakan gelisahku dalam jiwamu. Masih saja bernilai salah ketika kurangkaikan kata-kata ini menjadi sebuah cerita sampah. Tak mengapa, aku tak peduli. Aku selalu meyakini bahwa akan ada nilai benar sebelum hipotesa yang ke tiga ribu seratus dua belas.

Terik matahari
Siang itu, setelah sujud dan salam yang kupanjatkan di sebuah mesjid. Matahari baru saja bergeser dari ubun-ubunku. Pintu yang terbuka membelah semua ruangan menuju pintu terakhir halaman belakang. Kuucapkan salam tapi tak ada jawaban. Hening dan sepi sekali karena mimpi sedang mengajakmu berjalan menembus dimensi waktu refleksi kehidupan alam sadar. Paras yang damai membuatku takut untuk melakukan gerakan yang bisa membangunkanmu. Aku duduk saja disampingmu sambil memandangi potret masa kecilmu yang tertata cukup rapi disudut barat laut. Kusamakan dengan wajah indahmu yang menutup mata. Aih, aku dibawa dalam halusinasi kisah masa kecilmu. Dihadapan segelas air putih yang tak banyak tingkah itu, aku tersenyum-senyum kecil menggambarkan masa kecilmu. Tingkah yang sedikit gila memang, tapi cukup normal untuk seseorang yang sedang belajar memahami perasaanya sendiri.

Siang itu. Hanya dihari itu aku membuat sebuah formula terumit dari hipotesa dalam hidupku. Kebenaran yang saat ini aku singgungkan dengan kesalahan. Beberapa pertanyaan mulai menghampiriku. Apa ? Kenapa ? Bagaimana ? Kapan ? Aku benci pertanyaan ! Aku mencaci diriku sendiri. Aku keluarkan semua kata-kata yang kasar untukku sendiri. Sampai akhirnya kamu terbangun dan aku berhenti melakukannya lagi.

Perasaanku. Aku tak mau menjadikannya sebagai sebuah hakitat. Perasaan tak pernah mengerti nilai false, semuanya selalu bernilai true. Bahkan semua yang disangkal oleh sains akan tetap bernilai true jika perasaan yang melakukan penilaian. Biarkan aku berpikir tanpa henti. Aku tak mau membenarkan semuanya dengan perasaanku. Aku butuh kebenaran dari hipotesa yang bernilai salah, dari mata yang terpejam untuk menunggu kata cinta dikeesokan harinya.


    Kurangkul kau kurangkul

         Kaujatuhkan jasadmu dalam pelukku

              Kurangkul kau kurangkul

                   Biarlah sampai terlelap kau menutup matamu





Con amore....
Thanks for reading..