Pada akhirnya, menang atau kalah adalah untuk seseorang yang berani bertaruh atas hidupnya sendiri. Saya sadar sekarang, mungkin saya tertinggal satu langkah dibelakang kalian. Ohh tidak, nampaknya dua langkah. Lebih! tiga langkah, empat langkah, nampaknya lima langkah. Saya sadar dengan jarak yang ada saat ini, sangatlah jauh perbedaannya. Saya mungkin tak sanggup mengambil langkah besar untuk membuat kemenangan mendadak, atau menyuap sang pengadil lapangan. Lapangan yang sedang saya jalani adalah lapangan kehidupan, dengan Tuhan sebagai pengadil yang seadil-adilnya. Tak bisa disuap, disogok atau diberikan apa pun, karena untuk mengubah nasib saya sekarang adalah tugas saya sendiri. Jika saya tak sanggup membuat langkah besar sebagai terobosan untuk jadi pemenang, setidaknya saya masih sanggup melaju dengan langkah-langkah kecil untuk terus memperpendek jarak yang nampaknya begitu sangat jauh saat ini. Tak pernah ada salahnya bukan untuk belajar, bahkan di dalam agama saya dianjurkan agar menuntut ilmu sampai ke negeri Cina dan juga liang lahad. Jadi tak pernah ada kata terlambat untuk belajar, tak pernah, dalam agama saya dan juga dalam hidup saya.
Menurut pikiran dangkal saya, hidup ini adalah sebuah pertaruhan. Tidak semua orang mungkin akan setuju dengan sebuah pertaruhan, atau perhitungan secara matematis. Di mana di dalam sebuah pertaruhan akan dihasilkan pemenang dan pecundang, kemenangan dan kekalahan, itulah sebabnya manusia tak ingin dinilai dari segi hitungan. Bahkan kita bisa belajar dari kisah pewayangan, ketika Pandawa kalah bertaruh dadu atas Kurawa, di mana Drupadi, putri dari Kerajaan Pancala yang terhormat harus ikut dan rela menjadi budak atas perbuatan Yudistira yang lurus hatinya, ternyata masih kalah pintar oleh Sengkuni. Tapi dalam pertaruhan kehidupan saya, diri saya sendiri yang dipertaruhkan, bagaimana pun, saya tak ingin menyerahkan hidup saya pada kehinaan karena menjadi orang bodoh. Mungkin Yudistira lupa bahwa bukan hanya dia yang dipertaruhkan, tapi dia juga telah mengorbankan orang lain dalam perbuatannya. Baiklah, saya bukan Yudistira, kakak tertua dari keluarga Pandawa. Saya adalah diri saya sendiri, yang bertaruh untuk diri saya sendiri jika saya kalah, karena saya telah belajar dari apa yang telah terjadi pada kisah perwayangan tersebut.
Saya lahir dari keluarga yang sangat membeci rezim kebodohan. Di negeri yang penuh pekik dan basa-basi ini orang bodoh hanya akan menjadi budak, tak lebih, tak kurang. Mungkin hanya yang bernasib baik dan berurat kaya sejak lahir saja yang bisa menikmati kebodohannya. Untuk kaum yang bernasib seperti saya, yang bahkan jika pergi ke pusat perbelanjaan pun tak pernah ditanya hendak beli apa orang sales promotion girl, bodoh adalah sebuah kutukan yang harus dihilangkan sampai ke akar-akarnya. Barangkali jika kebodohan saya hilang, saya bisa lebih terampil dalam berpakaian, dan para wanita yang bekerja menawarkan barang itu bisa ikhlas menawarkan barang dagangannya. Sekurang-kurangnya, saya tidak selalu golput ketika pemilu berlangsung karena tidak takut dibodohi foto-foto yang menjual senyum pada lembar pemilihan umum. Bagaimana saya tidak menjadi seorang golput, jika melihat beberapa kasus belakangan ini para orang-orang government kerjanya bolak-balik masuk kantor KPK untuk diperiksa kasus korupsi. Belum lagi jika melihat sidang paripurna secara live di televisi, bapak-bapak yang duduk di majelis agung itu banyak sekali yang asik tidur dan acuh pada tugasnya. Saya tidak mau menanggung dosa karena memilih orang-orang seperti itu, yang pada kenyataannya hanya mengharap gaji dan tunjangan dengan nominal yang luar biasa dan tak masuk akal dari pajak yang kami bayarkan. Sidang paripurna saja dia acuhkan, bagaimana hanya suara orang rendahan dan bodoh seperti kebanyakan kaum saya sekarang ini. Sampai pita suara putus, tak akan di dengar.
Selain menjadi pintar saya juga ingin menjadi cerdas. Saya tak ingin membodohi orang lain dengan kepintaran saya seperti Sengkuni, atau mengambil keuntungan dari kekurang orang lain seperti calon-calon orang terhormat yang membeli suara sebelum pemilu berlangsung. Jika saya cerdas, saya yakin saya bisa memilah dan memilih mana yang baik untuk kepentingan saya dan orang lain. Saya ingin terus belajar, menaklukan segala kemungkinan yang masih ada di dunia ini. Jika saya tak mampu mengubah peradaban dan dunia seperti Al-Khawarizmi, Abbas Ibn Firnas, Al-Zahrawi atau Ibn Nafis, setidaknya saya bisa mengubah diri saya sendiri dan saya tidak menjadi hina karena menjadi orang bodoh. Saya mulai curiga sekarang, mungkin sebentar lagi saya akan diculik oleh orang-orang government yang merasa tersinggung, lalu dikelikitik sampai ngompol berkali-kali dan akhirnya mati .
Baiklah, saya akui kekalahan saya sekarang, dan ini adalah hal yang paling sulit untuk saya terima, karena saya ada diposisi yang kalah. Tapi pemenang sejati adalah ia yang mau bangkit dan berjuang kembali setelah mengakui dirinya kalah. Suatu saat nanti, saya akan berada pada posisi sejajar dengan kalian, atau mungkin satu langkah di depan kalian, karena menyerah adalah kata yang paling kotor yang harus diucapkan dalam sebuah perjuangan.
Mereka tahu hasil 2 + 2 = 4 tapi tak tahu mengapa 2 x 2 juga sama dengan 4 (Goenawan Muhamad - Catatan Pinggir 3)
Thanks for reading...