Senin, 31 Maret 2014

Hal-Hal yang Berubah

Saya pernah membeli buku yang terpajang di rak best seller di sebuah toko buku terkemuka. Saya sangat antusias membaca buku tersebut. Setelah selesai membaca saya tak mendapatkan apa-apa dari buku itu, kecuali satu kesimpulan bahwa nampaknya semua orang sudah kecanduan sebuah kesedihan dan sastra sudah diubah menjadi celengan untuk orang-orang yang pandai mendramatisir sebuah karangan. Betapa menyedihkannya keadaan jiwa manusia sekarang ini. Bahkan buku yang saya anggap sangat bermutu untuk dibaca letaknya terpencil di sudut rak yang sangat sulit ditemukan. Mungkin itulah sebabnya manusia sekarang sulit untuk berbahagaia, karena kita semua sudah kecanduan kesedihan. Setiap hari hampir semua orang beradu kesedihan di media sosial. Apakah media sosial menjadikan semua orang menjadi pecandu kesedihan?

Oke, lupakan apa yang baru saja saya katakan. Saya tahu kalian akan menganggap saya manusia sok benar yang dengan angkuhnya hendak melawan peradaban. Pada waktu yang sedang berjalan ini, manusia yang bersikap apa adanya dan mengikuti zaman adalah malaikat bersayap dan berwajah rupawan, sedangkan manusia seperti saya yang keras kepala, angkuh, melawan arus, dan suka berbicara mengungkap fakta akan selalu dibenci dan dianggap manusia yang tak tahu diri. Karena segala sesuatu yang tak baru di bumi ini selalu dianggap kolot dan norak! Kita semua sudah kerasukan Amerika yang terlalu materialistis. Kita sudah lupa pada adab ketimuran kita yang sewaktu kecil dibungkus dengan kain batik agar kelak mampu berjalan lurus, tapi setelah tahu nikmat dunia kebanyakan dari kita lebih senang berjalan mengangkang. Kita lupa waktu kecil diajarkan tata krama agar mampu menghargai orang lain, tapi setelah dewasa kita menghargai orang dengan uang, bukan perasaan. You're a long way from America, this is Indonesia!

Sama seperti yang Dee pernah tuliskan, sejujurnya saya juga ingin sekali menemukan orang yang selalu berkoar untuk mengikuti arus. Suatu hari saya ingin mengajak orang-orang seperti itu berenang ke tempat yang dipenuhi ikan hiu, dan saya ingin melihat bagaimana mereka mengikuti arus. Sunggu saya sangat ingin tahu apa yang akan orang-orang itu lakukan? Bisa berenang saja tak cukup untuk tetap bisa mengalir bersama arus. Kita harus mampu menyelam, bertarung, dan kedinginan selama berada disana. Itulah sebabnya saya lebih suka memperhatikan arus dan segala kemungkinannya sebelum terjun ke dalam arus.

Baiklah Tuan, saya tahu ini semua memuakan dan saya mungkin hanya seorang pelamun tengik dari negeri di bagian Timur yang sudah mulai pudar. Jika saya berbicara tontonan maka orang-orang akan berbicara tentang tuntunan, dan jika saya berbicara tuntunan maka orang-orang akan menganggap saya sok suci. Tuan boleh membuang segala ketimuran yang Tuan miliki, biar saya yang memunguti itu semua, segala yang Tuan anggap pepatah tua. Nanti jika sudah banyak biar saya pakai sendiri saja, sebagiannya biar saya simpan takut nanti di lain waktu Tuan hendak menggunakannya lagi.












Dan Timur dan Barat, pastilah konsep yang amat ganjil, sebab kita berbicara kesopanan sambil telanjang - Ayu Utami, Saman








Thanks for reading...

Selasa, 25 Maret 2014

Alasan

Saya lupa menjamah kopi beberapa hari ini. Sibuk, alasan yang sangat mudah diucapkan untuk meninggalkan suatu hal, termasuk meluangkan waktu untuk secangkir kopi. Alasan adalah sebuah input yang sulit diterima tetapi begitu sangat mudahnya dilupakan. Nampaknya semua hal di jagat raya ini membutuhkan alasan, dan semua orang lebih senang beralasan dan diberi alasan daripada membuktikan.

Sekali waktu saya pernah berpikir: pergi ya pergi saja, tak usah banyak alasan, tinggal angkat kaki dan jalan saja. Terserah mau jalan kemana, perjalanan Anda adalah urusan Anda. Lain waktu saya pernah ditertawai secangkir kopi gara-gara merenung sendirian memikirkan sebuah kepergian yang tak beralasan. Baiklah, setidaknya yang saya pikirkan adalah alasannya bukan pelakunya. Saya memang egois, dan mungkin akan selalu seperti itu sampai ada suatu hal yang mengharuskan saya melupakan keegoisan saya sendiri.

Di waktu yang lainnya kepala saya disesaki pertanyaan tentang apakah ada sebuah perkara yang bisa dilakukan tanpa sebuah alasan? Bagaimana pun alasan adalah sebuah perhitungan, dan matematis adalah suatu pekerjaan yang dilakukan tanpa rasa tulus. Misalkan saya atau Anda memberi sedekah kepada seseorang, apakah masih harus menggunakan alasan, maaf, seperti kasihan misalnya? Bukankah sedekah itu sendiri adalah pekerjaan yang semestinya harus ditunaikan seseorang yang mempunyai, misal, harta lebih kepada orang lain yang, maaf, lebih membutuhkan. Maka lazimnya sedekah itu sendiri adalah sebuah keharusan tanpa harus beralasan. Saya bukan orang yang antipati terhadap alasan, tapi jangan jadikan alasan menjadi sebuah omong kosong untuk melindungi diri sendiri atau menutupi kebohongan, bukankah yang seperti itu sama saja dengan munafik?

Jika alasan menjadi sebuah keharusan untuk menjelaskan perkara, maka kejujuran adalah wadah yang paling tepat untuk menyajikannya. Pada kenyataannya sebuah alasan yang disusun dengan fondasi kebohongan yang walaupun hanya secuil, tetap akan membuat ganjalan pada hati seseorang yang diberikan alasan. Mungkin itu sebabnya dipikiran saya pernah terlintas: pergi ya pergi saja, tak usah banyak alasan, tinggal angkat kaki dan jalan saja. Dan Jangan tanyakan kenapa kepala saya mengeluarkan banyak asumsi so benar seperti ini, karena kepala saya adalah tempat segala peliknya permasalah manusia yang lebih so benar daripada isi kepala saya.












Jika pulang adalah langkah kosong tanpa jinjingan, pada akhirnya kita hanya butuh lupa untuk benar-benar pergi







Thanks for reading... 

Sabtu, 08 Maret 2014

Teman








Sebab, apalah yang paling menyenangkan di dunia ini? Buat Saya: memiliki teman-teman yang tidak punya kepentingan selain berteman itu sendiri. Memiliki teman-teman yang lucu, tulus, dan menyenangkan. Itulah kekayaan yang paling asyik di dunia. (Ayu Utami - Si Parasit Lajang)









Kamis, 06 Maret 2014

Berani Bertaruh?

Pada akhirnya, menang atau kalah adalah untuk seseorang yang berani bertaruh atas hidupnya sendiri. Saya sadar sekarang, mungkin saya tertinggal satu langkah dibelakang kalian. Ohh tidak, nampaknya dua langkah. Lebih! tiga langkah, empat langkah, nampaknya lima langkah. Saya sadar dengan jarak yang ada saat ini, sangatlah jauh perbedaannya. Saya mungkin tak sanggup mengambil langkah besar untuk membuat kemenangan mendadak, atau menyuap sang pengadil lapangan. Lapangan yang sedang saya jalani adalah lapangan kehidupan, dengan Tuhan sebagai pengadil yang seadil-adilnya. Tak bisa disuap, disogok atau diberikan apa pun, karena untuk mengubah nasib saya sekarang adalah tugas saya sendiri. Jika saya tak sanggup membuat langkah besar sebagai terobosan untuk jadi pemenang, setidaknya saya masih sanggup melaju dengan langkah-langkah kecil untuk terus memperpendek jarak yang nampaknya begitu sangat jauh saat ini. Tak pernah ada salahnya bukan untuk belajar, bahkan di dalam agama saya dianjurkan agar menuntut ilmu sampai ke negeri Cina dan juga liang lahad. Jadi tak pernah ada kata terlambat untuk belajar, tak pernah, dalam agama saya dan juga dalam hidup saya.

Menurut pikiran dangkal saya, hidup ini adalah sebuah pertaruhan. Tidak semua orang mungkin akan setuju dengan sebuah pertaruhan, atau perhitungan secara matematis. Di mana di dalam sebuah pertaruhan akan dihasilkan pemenang dan pecundang, kemenangan dan kekalahan, itulah sebabnya manusia tak ingin dinilai dari segi hitungan. Bahkan kita bisa belajar dari kisah pewayangan, ketika Pandawa kalah bertaruh dadu atas Kurawa, di mana Drupadi, putri dari Kerajaan Pancala yang terhormat harus ikut dan rela menjadi budak atas perbuatan Yudistira yang lurus hatinya, ternyata masih kalah pintar oleh Sengkuni. Tapi dalam pertaruhan kehidupan saya, diri saya sendiri yang dipertaruhkan, bagaimana pun, saya tak ingin menyerahkan hidup saya pada kehinaan karena menjadi orang bodoh. Mungkin Yudistira lupa bahwa bukan hanya dia yang dipertaruhkan, tapi dia juga telah mengorbankan orang lain dalam perbuatannya. Baiklah, saya bukan Yudistira, kakak tertua dari keluarga Pandawa. Saya adalah diri saya sendiri, yang bertaruh untuk diri saya sendiri jika saya kalah, karena saya telah belajar dari apa yang telah terjadi pada kisah perwayangan tersebut.

Saya lahir dari keluarga yang sangat membeci rezim kebodohan. Di negeri yang penuh pekik dan basa-basi ini orang bodoh hanya akan menjadi budak, tak lebih, tak kurang. Mungkin hanya yang bernasib baik dan berurat kaya sejak lahir saja yang bisa menikmati kebodohannya. Untuk kaum yang bernasib seperti saya, yang bahkan jika pergi ke pusat perbelanjaan pun tak pernah ditanya hendak beli apa orang sales promotion girl, bodoh adalah sebuah kutukan yang harus dihilangkan sampai ke akar-akarnya. Barangkali jika kebodohan saya hilang, saya bisa lebih terampil dalam berpakaian, dan para wanita yang bekerja menawarkan barang itu bisa ikhlas menawarkan barang dagangannya. Sekurang-kurangnya, saya tidak selalu golput ketika pemilu berlangsung karena tidak takut dibodohi foto-foto yang menjual senyum pada lembar pemilihan umum. Bagaimana saya tidak menjadi seorang golput, jika melihat beberapa kasus belakangan ini para orang-orang government kerjanya bolak-balik masuk kantor KPK untuk diperiksa kasus korupsi. Belum lagi jika melihat sidang paripurna secara live di televisi, bapak-bapak yang duduk di majelis agung itu banyak sekali yang asik tidur dan acuh pada tugasnya. Saya tidak mau menanggung dosa karena memilih orang-orang seperti itu, yang pada kenyataannya hanya mengharap gaji dan tunjangan dengan nominal yang luar biasa dan tak masuk akal dari pajak yang kami bayarkan. Sidang paripurna saja dia acuhkan, bagaimana hanya suara orang rendahan dan bodoh seperti kebanyakan kaum saya sekarang ini. Sampai pita suara putus, tak akan di dengar.

Selain menjadi pintar saya juga ingin menjadi cerdas. Saya tak ingin membodohi orang lain dengan kepintaran saya seperti Sengkuni, atau mengambil keuntungan dari kekurang orang lain seperti calon-calon orang terhormat yang membeli suara sebelum pemilu berlangsung. Jika saya cerdas, saya yakin saya bisa memilah dan memilih mana yang baik untuk kepentingan saya dan orang lain. Saya ingin terus belajar, menaklukan segala kemungkinan yang masih ada di dunia ini. Jika saya tak mampu mengubah peradaban dan dunia seperti Al-Khawarizmi, Abbas Ibn Firnas, Al-Zahrawi atau Ibn Nafis, setidaknya saya bisa mengubah diri saya sendiri dan saya tidak menjadi hina karena menjadi orang bodoh. Saya mulai curiga sekarang, mungkin sebentar lagi saya akan diculik oleh orang-orang government yang merasa tersinggung, lalu dikelikitik sampai ngompol berkali-kali dan akhirnya mati .

Baiklah, saya akui kekalahan saya sekarang, dan ini adalah hal yang paling sulit untuk saya terima, karena saya ada diposisi yang kalah. Tapi pemenang sejati adalah ia yang mau bangkit dan berjuang kembali setelah mengakui dirinya kalah. Suatu saat nanti, saya akan berada pada posisi sejajar dengan kalian, atau mungkin satu langkah di depan kalian, karena menyerah adalah kata yang paling kotor yang harus diucapkan dalam sebuah perjuangan.











Mereka tahu hasil 2 + 2 = 4 tapi tak tahu mengapa 2 x 2 juga sama dengan 4 (Goenawan Muhamad - Catatan Pinggir 3)










Thanks for reading...