Jakarta.....Ohh Jakarta..........
Pagi hari dia keluar, Budi usia 7 tahun tak mau kalah dengan mereka atau kita yang juga bangun pagi untuk berangkat bekerja. Sementara kita masih sempat menyantap sarapan, tapi mungkin Budi masih mencari atau menunggu sisa dari apa yang kita santap.
Baju dan celana yang kemarin, karung kecil, dekil, melekat dipundak.
Kenapa kau terus berjalan nak ?
Dimana ibumu ?
Dimana ayahmu ?
Dimana saudara-saudaramu ?
Apa kau hidup sendiri ?
Oke kita peduli, tapi kau lihat karung kecil yang tampak dekil itu, karung itu lebih peduli padanya. Ya karung itu jadi benteng dari lapar yang memanggil setiap saat. Bahkan pohon kota rela menunggu kawannya itu yang setia untuk bersandar selepas bekerja.
Sore itu sebelum magrib, dia pulang ke gubuk liar yang ada dipinggir kali. Mata para penjaga yang ada didalam ruang kerjanya menjadi saksi nyata aktivitas yang sudah terbiasa, namun mereka hanya mampu menggelengkan kepala dan mengusap dadanya.
Budi masih tersenyum bersama Gali, teman sesama anak jalanan usia 6 tahun. Mereka membagi nasibnya, mereka gadaikan hidupnya di ibukota, mereka mungkin tak tahu jika mereka sedang menempu jalan gelap yang penuh lubang dan berduri.
Mereka masih terlalu polos, mereka harusnya ada disana, di sekolah dasar bersama teman-teman sebayanya, mereka seharusnya ada disana mengejar layangan dengan anak tetangga, mereka seharusnya ada disana bersepeda dengan gadis cilik yang disukainya.
Tapi kita pura-pura buta dengan apa yang terjadi padanya, kita pura-pura tuli terhadap tangisnya disetiap malamnya. Kita menghakimi mereka sebagai kutu jalanan ibukota, tanpa sadar bahwa mereka mempunyai hak yang sama untuk hidup, mereka mempunyai tangis yang sama dalam setiap doanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar