Minggu, 27 Oktober 2013

Aku dan Tuhan Versus Dosen

Aku masih ingat kejadian mengantarkan tugas demi nilai delapan puluh yang tertulis jelek di buku tugasku. Aku masih ingat betul perjuangan melewati banjir dan berjalan kaki sampai-sampai kakiku lecet. Aku masih sangat ingat bagaimana semua pakaianku lepek seperti pakaian yang baru diangkat dari mesin cuci. Lalu keadaanku lebih buruk dari kucing jompo yang baru selamat dari maut karena kecebur got dipinggir jalan. Itu semua demi memenuhi perintah dosen yang jika tertawa membuat kuping sakit, karena amplitudo suaranya lebih buruk dari monyet kurap yang ekornya terjepit pintu super market. Jika melihat wajahnya membuat hati dongkol, seperti melihat maling jemuran yang tertangkap karena waktu lari tak sengaja kakinya tersangkut tali bra janda tua kampung sebelah. Tak sabar ingin membubuhkan pukulan matahari tepat di hidungnya yang memang tak mancung. Itu semua demi nilai mata kuliah matematika diskrit yang bahkan jika aku mati pun malaikat tak sudi menanyakannya. Gerangan siapa pula yang menemukan mata kuliah itu? Pasti otaknya dipenuhi niat jahat untuk menghancurkan keharmonisan kerja otak mahasiswa sepertiku.

Dewasa ini dosen sudah mulai gila dengan wewenangnya. Seenak udelnya memberikan pertintah dan tugas tanpa peduli mahasiswanya bisa atau tidak melaksanakannya. Mengganti jadwal kuliah sesuka hatinya, tanpa mengerti bahwa jam yang dia minta adalah waktu yang semestinya aku berada di atas kasurku. Waktu terbaik untuk berbincang dengan dinding kamar dan bercumbu dengan guling. Tapi mereka tak peduli, mereka egois dan menyita waktu terbaik yang aku miliki. Padahal jika aku menuruti pun, aku tak pernah dapat jaminan bahwa aku akan lulus mata kuliahnya. Kekejaman seperti itu melebihi kekejaman Adolf Hitler.

Bodoh. Terlanjur sudah aku ini dibuat seperti kerbau yang dicocok hidungnya oleh sebuah institut yang katanya didirikan untuk mencetak orang-orang pandai bertitel. Padahal aku hanya dibuat budak untuk mentaati aturan-aturannya, tanpa jaminan aku akan menjadi orang sukses dengan titelku. Uangku diperas setiap semester untuk menggaji dosen-dosen yang kadang tak tahu adat. Jika diantara kalian ada yang bernasib sepertiku, ingatlah, kita adalah orang yang diperbudak oleh sekelompok golongan orang-orang yang menjanjikan kebahagiaan palsu di atas sebuah flyer yang berisi visi dan misi.

Sesekali aku membandingkan diriku terhadap apa yang diperintahkan Tuhan sebagai kewajiban dan apa yang dijadikan dosen sebagai suatu perintah. Bukankah Tuhan menjanjikan surga jika beribadah dan menghamba kepadaNya. Dan sebaik-baik Tukang Perintah adalah Tuhan. Telah sangat jelas Allah mengeluarkan ultimatum untuk mendirikan sholat lima waktu dalam sehari. Hanya lima waktu dan Allah menjanjikan surga. Allah tak pernah meminta seorang hamba pakai sepatu atau baju bagus untuk melakukan sholat, cukup bersih dari najis dan menutup aurat tapi aku malah sering alfa. Padahal adzan terdengar dari sana-sini, hampir dari setiap arah terdengar adzan, dan jangan munafik, bahwa suara terbaik dimiliki oleh seorang Billal bukan Adele. Allah memberikan apa pun yang diminta melalui doa, tak ada penghalang bagi hambanya yang taat, tak seperti dosen yang tak meluluskanmu walau sudah setengah mati berjuang mengikuti kuliah dan jadwal pengganti yang dibuat sesuka hatinya. Aku tak mau jadi orang bodoh yang lebih senang menuruti perintah dosen daripada perintah Tuhan.









Thanks for reading..

Jumat, 25 Oktober 2013

Pagi Selalu Baru

Ini tentang aku; yang tak pernah mengatakan selamat pagi untukmu. Pagi itu selalu rumit untukku. Berpacu dengan waktu di kamar mandi sebelum matahari tiba-tiba datang dan melihat isi dunia. Seperti komandan upacara yang memperhatikan semua pasukannya. Aku harus sudah rapi sebelum matahari menampakan dirinya. Belum lagi kopi pagi yang merayu-rayu mengajak bercumbu. Hangatnya, bisa kau bayangkan hangatnya? Dari genggaman tangan pindah ke bibir. Pelan-pelan mengisi semua mulutku, lalu berangsur ke leher melalui kerongkongan. Hangat, dan masih terasa hangat sampai turun ke dada sebelum seluruh tubuh merasakan nikmat hangatnya. Tuhan, terimakasih atas kenikmatan yang Engkau tanamkan dalam secangkir kopi pagi. Kini aku sudah siap bertemu matahari. Tapi aku lupa ucapkan selamat pagi untukmu. Karena pagi milik semua orang, bukan hanya milik kita. Aku lupa, tapi jatuh cinta membuat pagiku selalu baru.





Rabu, 16 Oktober 2013

Sudah Sampaikah?

Sudahkah aku sampai? Dengan sebuah sampan reyot dan seonggok harapan kecil, aku mendayung-dayung menuju pelupuk matamu. Berpacu dengan waktu. Bergumul dengan kamus dan kata-kata baru untuk sekedar mampir mencuri perhatianmu.
Yang berbisik ditelingamu bukan suaraku. Tapi keragu-raguan untuk sebuah keyakinan. Ahh, lelaki kuntet sepertiku terlalu buruk untuk dipertimbangkan. Kau lihatlah aku, bahkan bajuku terlalu banyak yang kebesaran. Dipertimbangakan oleh wanita tak pernah terbayangkan sebelumnya olehku. Lelaki macam aku ini tak cuma badannya yg kuntet, dompet pun hampir setiap minggu hanya berisi selembar Kartu Tanda Penduduk. Bisakah kau bayangkan kawan? Ada wanita yang mempertimbangkanku? Tuhan memang penuh kejutan.
Ingin aku hilangkan keraguanmu. Seperti aku yang yakin mengayuh sampan reyot menuju pelupuk matamu. Lalu kita menari-menari dibawah purnama. Tarian yang cuma kita yang tahu.
Ahh aku lupa, aku cuma lelaki kuntet. Barangkali tak masuk dalam hitunganmu. Barangkali hanya ada dalam pertimbanganmu. Dipertimbangkan saja aku sudah cukup senang.
Tapi sampan sudah hampir tenggelam. Pelupuk matamu gusar ke kanan-kiri karena keraguan. Aku diambang kematian. Sudikah kau coba berikan aku keyakinan untuk sampai disana: pelupuk matamu.







Yang disatukan oleh keyakinan, takkan dipisahkan oleh sebilah pedang -- bahkan yang lebih tajam dari itu: keraguan










Con Amore
Thanks for reading....