Dulu aku masih ingat sekali, rasa kagum sekaligus terkesima ketika aku berada di Blok M Plaza dan naik lift sampai ketinggian tiga belas lantai. Tuhan, jujur saja itu adalah pengalaman pertama hambaMu yang kerdil ini naik lift sampai ketinggian melebihi sepuluh lantai. Bahkan aku masih ingat kali pertama aku naik lift adalah ketika almarhum kakekku dirawat di sebuah rumah sakit swasta di wilayah Bekasi. Aku berhasil naik lift sampai lantai tiga dengan perasaan senang sekaligus deg-degan karena takut tiba-tiba lift mati dan jatuh ke lantai dasar. Mungkin itu disebabkan karena aku terlalu banyak menonton film action atau karena instinct udik alamiahku yang sulit untuk lenyap. Tapi setelah aku kuliah, aku setiap hari terbiasa naik lift di kampus, bahkan aku pernah berlaga so cool ketika terjebak di dalam lift yang tiba-tiba saja mogok. Padahal hatiku sudah gelisah tak karuan karena takut kehabisan oksigen dan tiba-tiba mati di dalam lift yang sudah terkenal rombeng itu. Dan lantai tertinggi yang pernah aku tempuh menggunakan lift adalah lantai dua puluh di wilayah perkantoran Jl. Mega Kuningan. Well, ternyata hal yang sederhana di dunia ini bisa sangat berarti bagi seseorang.
Tuhan, betapa kadang aku merenungi takdir-takdir yang sudah aku jalani. Jika saja aku punya hak untuk memprotes takdir, mungkin aku akan jadi mahluk yang paling bawel dan paling banyak menyampaikan protes kepadaMu, Tuhan. Dan jika waktu adalah permainan ular tangga-lempar dadu, aku akan terus-terusan mencari gambar ular yang sering membuatku terperosok ke angka yang sudah aku lewati. Sederhana saja, aku hanya ingin mengulang lagi hal-hal yang sudah aku lewati dan berjalan tak benar menurut hematku sendiri. Kadang manusia menjadi seperti tak dapat menerima takdirnya jika dihadapkan pada sesuatu yang mereka anggap pernah melewatkannya di masa lampau, hal itu terjadi kepadaku, tepat pada saat ini. Jika aku dilahirkan dari keturunan yang mempercayai renkarnasi mungkin aku sudah bunuh diri berkali-kali hanya untuk kembali hidup dan mengambil apa yang aku lewatkan.
Aku mengarang narasi ini di hadapan cermin yang memamerkan wajahku. Aku ingat satu pepatah bahwa semakin rupawan wajah seseorang, maka hidupnya akan semakin tak tenang. Aku telisik setiap inch dari wajahku: biasa saja, tapi kenapa aku merasa hidupku tak tenang? Di dalam cermin itu aku dapatkan sepasang mata yang menatapku iba, dan sejenak kemudian kita menagis bersama. Entah apa yang ditangisi, tapi mata itu merekam segala yang sulit diceritakan. Hatiku banjir, jiwaku limbung diterpa segorombolan nostalgia.
Bulir-bulir gelisah yang meletup-letup kecil dalam hatiku adalah hal yang sulit untuk dipungkiri. Aku seperti mengenal senyum yang terpapar dihadapan wajahku ini, sebuah kehangatan yang hadir di malam yang diguyur hujan lebat dengan durasi hebat. Senyum yang membuatku gagap untuk memilih aksara mana yang hendak kutulis untuk mulai menceritakan keindahannya. Jika jatuh cinta pada sebuah senyuman adalah sebuah kesalahan, maka sebagian manusia di dunia ini akan menjadi orang bersalah karena mengagumi lukisan Mona Lisa yang lukis oleh Leonardo Da Vinci. Tapi betapa menyebalkan jika ternyata aku hanya sebatas sanggup mencintai sebuah senyuman yang hampir setiap hari lalu lalang di hadapan mataku.
Larut, malam semakin larut dan menyongsong dini hari. Kunang-kunang dengan cahaya temaram membawa cerita tersendiri tentang kawanannya yang gemar bermain air. Jelangkung lupa pulang dan tak ada yang sudi mengantar. Angin malam yang senyap diam-diam menyelundup kedalam sepi dan membisikkan kata: doa yang bersemayam dalam dada, putus asa yang ingin sirna, dan rindu yang tiba-tiba datang menjelma. Yang dari perasingan bergerak pulang walau dengan jinjingan kosong, dan yang dekat malah pergi ke perasingan. Ada yang saling mengasingkan, juga ada yang asing pada segala ragu yang malu-malu.
Jangan gemetar, aku baik-baik saja, walau sering tertunduk menahan keberanian yang lindap dibalik gagap. Jangan malu-malu karena aku lebih memalukan, sebagai lelaki aku tak berani memberi tegur untuk menyapa. Bahkan segala hingar yang ada terasa kurang bingar ketika kulihat sepasang langkah tepat di hadapan mataku merasukan sepi secara spontan. Aku tahu diam-diam kau mencuri pandang ke arahku, dan aku adalah perampas pandang yang ulung dari belakangmu. Dan sekali lagi, betapa menyebalkannya menjadi seorang lelaki yang pemalu sekaligus merangkap memalukan seperti diriku.
Count your age by friends,not years, count your life by smiles, not tears - Jhon Lennon
Thanks for reading...