Senin, 20 Februari 2017

dan Kau...

Kekasih, kau tahukah apa arti senja untukku? Suatu keindahan hakiki yang telah Tuhan ciptakan pada suatu waktu. Maka senja bukan hanya tentang kisah seseorang saja. Senja adalah sebuah campur tangan Tuhan yang memberikanku  sebuah kehidupan. Kau pun adalah sebuah senja untukku: senja yang kemerah-merahan, yang cahayanya bias di sepanjang pantai, memantul ke mega-mega dan membuat siluet pada hati yang rawan. Kau adalah senja yang hendak terbenam di hatiku tapi urung terlaksana, separuh senjamu masih nampak di horizon: membiaskan separuh hati. Kekasih, yang bias itu sulit terlihat, meski indah, karena hidup ini lebih nyata dari teori apa pun tentang kenyataan. Tapi kekasih, masih ada hal yang lebih indah dan lebih bias daripada senja, itulah cinta. Di dunia ini sudah miliaran kata dirangkai untuk menggambarkan cinta, tapi tak pernah cukup, karena cinta adalah suatu hal yang paling irasional yang pernah Tuhan ciptakan. Jika cinta adalah hal yang rasional Adam akan meminta kepada Tuhan perempuan lain untuknya, dan tak harus berkeliling dunia untuk mencari Hawa. Sinta pun tak harus terjun ke api yang membara untuk membuktikan kesetiaannya pada Rama.

Begitu banyak bukti bahwa cinta memang irasional, ajaib, tak masuk akal, klenik, dan lain sebagainya. Di Arga, India sana, Shah Jahan membangun Taj Mahal sebagai bukti kecintaannya pada Mumtaz Mahal, istrinya yang telah meninggal dunia. Menghabiskan empat puluh empat jenis batu permata untuk hiasan interiornya. Tak kah bisa dibayangkan kemewahan yang diberikan untuk seorang yang telah meninggal dunia? Emapt puluh empat jenis batu permata! Jika bukan karena cinta semua itu tak akan pernah terjadi. Sedangkan di negeri ini, negeri klenik dan ajaib, negeri yang paling tak masuk akal sejagat raya, diketahui pula dongeng Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso yang menghasilkan Candi Prambanan. Bangunan megah yang dibangun dalam waktu satu malam untuk bukti kecintaan pada seorang Roro Jonggrang. Atau yang lebih menyentuh hati, lebih romantis dari kisah mana pun, dan shahih hikayahnya, kisah tentang seorang anak yang Tuhan dan para malaikatNya pun bershalawat atas bapaknya; kisah Fatimah Az-zahra putri Muhammad SAW yang hanya menerima mahar baju perang huthamiyah dari Ali ra. Tak sebiji sawi pun emas diberikan kepadanya, dan tak setengah dinar pun uang diberikan atasnya; atas wanita yang kelak melahirkan anak-anak yang sayid. Cinta, kekasih, yang mana pun punya kisahnya masing-masing. Yang bisa kita lakukan hanyalah menggenggam tangan, bergandengan, Tuhan pula lah yang kelak menyandingkan.

Kekasih, sudah kujelaskan padamu kan tentang senja? Maka janganlah kau keliru untuk membenci senja, karena bagiku kau pun adalah senja. Sebuah keindahan hakiki yang telah Tuhan ciptakan diwaktu ini. Tapi aku akan sangat mafhum jika memang terbesit ragu dalam batinmu. Begitulah memang resiko yang harus diemban sebagai seorang pengarang, penulis, atau pun penyair; orang yang kerjanya bermain-main dengan kata, memang sulit dipercaya. Di dalam kepalaku memang terbesit banyak sekali untaian kata-kata, yang tak pernah kutimbang-timbang pula apakah itu baik atau buruk. Menjadi pengarang, penulis, atau pun penyair berarti mengkhayati segala hal dengan sangat total dan mendetail, agar dapat menyimpul kata menjadi kalimat. Yang suka akan tetap suka seberapa buruk pun itu, yang benci akan tetap benci seberapa indah pun itu. Karena hidup memang seperti keping mata uang, segala hal yang berlawanan hanya dipisahkan oleh segaris lingkar tipis yang saling menyatukan. Dan hanya kebekuan yang sulit memaafkan.

***

Waktu sudah menunjukan jam dua pagi, istirahatlah. Tak baik menghabiskan waktu terlalu lama hanya untuk saling berselisih. Jangan lupa hitung denting jam dinding yang berbunyi di rumahmu, barangkali dentingnya lebih. Tidurlah, menanggapiku hanya akan membuatmu darah tinggi, cepat stroke, dan bisa mati berdiri. Tinggalkanlah aku seorang diri untuk membunuh waktu dan segala keegoisan diri sampai menjelang pagi. Sambil kuingat-ingat senyummu yang menawan itu, tawamu yang memekakan telinga, juga gerutuanmu yang mau tak mau harus kudengarkan. Aku hanya seorang penganggur, waktuku banyak hanya untuk sekedar merenung, walau memang sehebat apa pun aku merenung, tak pernah sampai pemahamanku mengapa aku mencintaimu. Bergegaslah, esok hari kau akan lupa segala hal yang kita selisihkan malam ini, atau bahkan sekaligus melupakanku.

Mencintai seseorang itu, kekasih, berarti mencintai segala kebaikan dan keburukannya, karena manusia pada hakikatnya adalah tempat bersalah. Oleh sebab itulah saban hari selama mendirikan sholat kita selalu meminta ditunjukan jalan yang lurus kepada Tuhan. Maka tak pernah sekali pun kutimbang-timbang untuk apa aku jatuh cinta kepadamu? Karena manusia, kekasih, yang mana pun sama: memiliki kebaikan dan keburukan. Tugas kita yang sedang jatuh cinta hanya perlu menerima kedua hal itu secara bersamaan. Yang buruk-buruk itu ada untuk membenarkan yang baik-baik, pun sebaliknya, yang baik-baik itu ada untuk menunjukan yang buruk-buruk. Betapa sederhananya hidup ini, yang pelik hanya liku dan tafsirannya.

***

Pagi datang menyingsing, hujan tak henti-henti mengetuk jendela. Sampai-sampai aku tak tahu, yang menetes dipipi itu air hujan atau airmata. Apa mencintaimu harus menjadi hujan? Tetap deras meski selalu dihindari, dan saat kemarau tiba meresaplah ke dalam tanah yang kau nikmati tanpa sadar ada di dalam galon, semangkuk sup, soto, bak mandi, mesin cuci, atau mungkin menjadi sungai yang mengalir ke beranda rumahmu.



"Aku tidak menangis, kekasih, aku hanya tak tahu pada harapan mana lagi airmata akan kusimpan..." - Sujiwo Tejo







Con amore...
Thanks for reading...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar