Aku tersesat disebuah negeri yang hilang pada peta dunia, lebih tepatnya tidak pernah ada. Negeri ini adalah negeri yang tidak pernah diketahui keberadaannya. Di sini waktu berputar tujuh kali lebih lama dari waktu normal pada umumnya. Ibu-ibu di sini hanya perlu waktu tiga puluh enam hari untuk melahirkan setiap anaknya. Maka tak heran begitu banyak anak kecil berkeliaran dengan sepedanya mengelilingi setiap gang sambil balapan dengan sangat liar. Yang lebih kecil lagi menarik-narik mobil-mobilan yang dibuatkan bapaknya dari kulit jeruk bali yang diikat tali pada salah satu ujungnya. Mereka tidak mengenal teknologi, tidak ada satu pun toko disini yang menjualnya. Negeri ini tidak mengenal krisis, tidak terpengaruh oleh kebijakan-kebijan ekonomi dunia, suku bunga The Fed, harga minyak mentah, logam mulya dan lain sebagainya.
Aku duduk di pelataran Surau yang langsung menghadap ke pantai sambil menikmati senja yang enggan terbenam. Nyala kemerahannya meresap sampai ke bibir pantai. Menyiluetkan anak-anak yang asik bermain sepak bola. Mereka silih berganti keluar-masuk Surau untuk mengaji, menanti adzan maghrib di negeri ini lamanya seperti perjalanan Jakarta - Yogya dengan kereta ekonomi yang sempat mogok karena businya mati dan masinisnya harus berjalan kaki melewati pematang sawah untuk memanggil montir dari kampung sebelah. Sudah kukatakan, disini waktu berjalan tujuh kali lebih lamban dari waktu di dunia normal. Disini tak seorang pun tergesa-gesa karena takut kehabisan waktu. Anak-anak yang bergantian mengaji sambil menunggu adzan maghrib bisa khatam Al-Qur'an tiga kali setiap hari. Aku yang biasa hidup di dunia yang tergesa-gesa benar-benar harus membiasakan diri dengan perputaran waktu di sini.
Aku ingin membunuh waktu sambil menunggu maghrib yang masih sangat lama. Aku langkahkan kaki menuju kedai kopi terdekat, jaraknya hanya dua menit perjalan. Kupesan secangkir Cappuccino murni, aku tidak terlalu suka pemanis untuk hal-hal yang memang sudah dikodratkan pahit. "Tuan baru di sini?" Tanya sang pelayan,"Iya," "Ada keperluan apa tuan bisa sampai kemari?" "Saya hanya tersesat, ada apa? kenapa Anda bertanya seperti itu kepada saya?" "Tidak pernah ada orang asing di negeri ini, Tuan. Kami tahu setiap nama orang di negeri ini, kami tahu wajahnya, kami tahu kopi kesukaannya, dan hanya Tuan yang memesan Cappuccino tanpa pemanis. Bagaimana Tuan bisa sampai kemari?" "Sudah saya sampaikan, saya tersesat. Pada suatu pagi saya sedang melamun di halaman rumah, di bawah pohon mangga, tiba-tiba saya berada di sini, di negeri ini. Saya benar-benar tidak tahu apa yang terjadi, semua terjadi begitu saja. Yang saya ingat hanya wangi aroma kopi dan roti panggang buatan ibu saya." "Baiklah Tuan, selamat menikmati Cappuccino Anda. Kalau Tuan butuh sesuatu, Tuan bisa panggil saya. Tak ada lagi orang di kedai ini, hanya ada saya." "Baiklah, terimakasih." Pelayan itu melangkahkan kaki menjauh dari meja. Mungkin dia adalah pelayan, kasir, sekaligus pemilik tempat ini yang melakukan semua pekerjaannya sendiri. Kucecap perlahan pahit Cappuccino dari bibir cangkir, sepahit kata dari bibirmu yang tak pernah kucecap.
"Boleh saya duduk di sini?" Tanya seseorang dihadapanku.
"Silahkan, Tuan."
Aku tak tahu apa yang orang ini lakukan, ketika aku mendengus, ia ikut mendengus. Aku menoleh, ia pun menoleh. Ia melakukan semua gerakan yang aku lakukan.
"Kopi apa yang Tuan pesan?"
"Sama seperti milik Tuan, Cappuccino murni, saya tidak terlalu suka pemanis untuk hal-hal yang sudah dikodratkan pahit."
"Pelayan bilang hanya saya yang pernah memesan Cappuccino murni di kedai ini?"
"Benar, dan saya adalah orang berikutnya." Jawabnya sambil tersenyum.
"Tuan berasal darimana?"
"Saya tersesat, seperti Tuan. Saya berasal dari jiwa yang terombang-ambing, buah dari pikiran yang melanglang buana mencari jalan terbaik untuk hidupnya tapi tak pernah sampai pada yang ditujunya."
"Kenapa begitu?" Aku penasaran dan masuk dalam perbincangan yang mungkin akan memakan waktu sangat lama. Sepengalanku, obrolan di kedai kopi setidaknya menghabiskan waktu paling sebentar dua jam.Tak mengapa bukan? Di negeri ini waktu berjalan tujuh kali lebih lama, masih banyak waktu untukku.
"Ia lupa, Tuan, bahwa ke manapun ia pergi mencari, sejauh apapun itu, pada Tuhan-lah sebaik-baiknya ia meminta. Bahwa rezeki yang ada ditangannya sekarang, bukanlah apa-apa dibanding rezeki yang ada ditangan Tuhan-nya."
"Tapi manusia harus berusaha, sebaik-baiknya, sekeras-kerasnya, bukan begitu?"
"Benar, Tuan. Tapi yang lebih baik dari itu adalah meminta."
"Berdoa?"
"Iya, Tuan. Kalau Tuan berdoa agar tak kena hujan, maka Tuan harus memakai payung, memakai jas hujan, dan yang lainnya. Hujannya tidak hilang Tuan, hanya Tuan tidak kebasahan. Maka jika Tuan berdoa, Tuan harus berusaha, selebihnya pasrah, payung pun tidak melindungi semua tubuh tuan, jas hujan bisa saja rembes. Kita ini manusia Tuan, bukan Tuhan yang bisa berlaku sekehendaknya, yang bisa meng-Kun Fayakun-kan suatu hal dalam waktu singkat."
Senja menembus jendela kedai, membias di dalam gelas Capuccino yang sudah tinggal setengah. Aku tertegun, kata-kata yang disampaikan orang yang tepat berada dihadapanku benar-benar menohok diriku.
"Siapa gerangan Tuan sebenarnya?"
"Saya berasal dari jiwa yang terombang-ambing, buah dari pikiran yang melanglang buana mencari jalan terbaik untuk hidupnya tapi tak pernah sampai pada yang ditujunya. Saya adalah dimensi lain dari diri Tuan, saya hidup bersama Tuan."
Kucecap habis Cappuccino yang hanya tinggal setengah gelas, begitu pun ia.
"Kenyataan memang pahit Tuan, lebih pahit dari Cappuccino ini. Tak ada yang harus logis dari kehidupan ini, begitupun saya. Dulu Nuh membuat bahtera di puncak bukit, ditertawakan dan dituding gila oleh anaknya, Kan'an. Jangan takut Tuan, yang terbaik akan bertahan seburuk apa pun itu keadaannya. Saya pamit, Tuan."
Hujan turun deras dipipiku, membuat sungai yang mengalir ke ujung rindu. Pada airmata mana lagi harus kumengaduh?
Pelayan kedai datang menghampiriku. "Menagislah Tuan, Bima pun pernah menangis, Yudistira yang bijaksana pun pernah berbuat ceroboh dan salah, begitupun Arjuna, tak pernah ada yang sempurna, Tuan. Jalan darma memang sulit ditebak, orang paling bijakpun kadang hanya bisa menduga-duga."
Aku pun menangis sejadi-jadinya, dan airmata jatuh tanpa terseka memenuhi gelas Cappuccino yang sempat kosong. "Minumlah, ini lebih pahit dari apapun yang pernah Tuan rasakan dan Tuan anggap pahit. Ini adalah semua kepahitan sejati, Tuan. Minumlah, agar kelak Tuan ingat, bahwa Tuan pernah merasakan hal terpahit di dunia ini."
"Apa lelaki boleh menagis?" Tanyaku.
"Boleh, Tuan. Lelaki hanya tak boleh berputus asa. Tuhan menciptakan tangis wanita agar lelaki lupa akan tangisnya, dan Tuhan menciptakan tangis lelaki agar wanita bisa menyelaminya."
Setelah kuteguk segelas kepahitan sejati aku tinggalkan beberapa rupiah di bawah gelas. Aku bergegas menuju Surau untuk menunaikan kewajibanku. Pelayan tergesa-gesa menghampiriku. "Ini uang Tuan, ambilah. Kedai ini tidak dibayar dengan uang." "Lalu dengan apa saya harus membayar?" "Senyum, kebahagiaan tertinggi ialah melihat orang lain bahagia, Tuan." Aku pun tersenyum sambil melangkahkan kaki perlahan. Kemudian kedai itu hilang, semua yang tertinggal dibelakangku menghilang perlahan-lahan. Sesampainya di gerbang Surau seorang anak berbisik kepadaku, "tua cuma usia, jangan takut, selama semangat tak pernah padam kau tak akan pernah tenggelam karena hitungan angka". Kulangkahkan kaki ke dalam Surau, kutunaikan dua raka'at sebagai bentuk penghormatan pada Surau ini. Pada salam terakhir tiba-tiba saja aku berada di sebuah halaman, di bawah pohon mangga, dan aku ingat wangi aroma ini; segelas kopi dan roti panggang buatan ibu.
Con amore...
Thanks for reading...
mantap artikelnya.
BalasHapuspijat terapi kejantanan