Sabtu, 26 April 2014

Di Suatu Hari Tanpa Nama

Di suatu hari tanpa nama, dan jejak-jejak si pencari yang belum seutuhnya sirna. Pagi datang dengan tidak tiba-tiba, melintas malam yang penuh dengan cerita-cerita sebuah insomnia. Aku, seorang pencari yang melewati batas nalar, bertarung dengan akal sehatku sendiri untuk menemukan rahasia-rahasia yang tidak pernah aku mengerti seutuhnya.

Ayam jantan berkokok dengan sangat ramah, walau semalam tidur sendiri dan tak tahu si betina yang dikawini di hari sebelumnya membuat mimpi dimana. Dasar ayam! Mungkin jatuh cinta harus menjadi seperti ayam, seperlunya saja, dan esok pagi adalah hari baru dengan cinta yang (mungkin) baru juga. "Tapi ayam bukan mahluk yang berakal", terdengar dengungan samar seperti bunyi Gunnah yang dari entah.

Aku sajikan secangkir teh manis untuk diriku sendiri, kopi sedang tak bersahabat denganku pagi ini. Setelah subuh ditunaikan aku butuh menghangatkan tubuh dengan kesejukan lewat teh manis. Kopi tak akan memejamkan mataku yang butuh istirahat pagi ini, karena semalam mata yang tak sipit dan kurang belo ini habis meronda dan menjadi saksi sengketa antara isi kepala dan perasaan yang sering tak sejalan. Aku sudah menyabung hidupku dengan segala ambisi yang sering menekan perasaanku sendiri. Isi kepala yang selalu memberontak dan menolak pada segala bentuk yang kadang hanya diriku sendiri yang menilainya tak adil. Pada akhirnya aku hanya menabung amarah yang tak tahu harus diberikan pada siapa.

Pada hidup, pada segala perjalanan yang membawa cerita tentang kontradiksi antara teori dan ayat-ayat Illahi. Seorang manusia kotor yang sedang belajar menanam Aqidah dan Akhlaq pada akar rapuh keimanannya. Sering waktu aku harus membenci diriku sendiri, mengumpat dan menghina segala yang telah aku perbuat. Katanya hidup bisa memberikan segala pada barang siapa yang pandai menerima (Pramoedya Ananta Toer - Bumi Manusia), itu sangat persis seperti yang berkali-kali aku pikirkan, bahwa hidup adalah kebahagiaan bagi siapa saja yang mau menerima dan tak banyak meminta.

Akan tiba saatnya kita merasa lelah dan ingin berhenti dalam sebuah perjalanan panjang, seperti ingin 'pulang' saja rasanya. Ketika semua hal yang kita perjuangkan tenyata hanyalah omong kosong belaka dan setiap langkah adalah sia-sia yang menyambangi putus asa. Pada saat itu tiba semuanya akan dikembalikan pada pilihan yang teronggok di depan pintu rumah kita: kembali melangkah atau kembali masuk ke dalam rumah. Bukankah sebaik-baik hidup adalah belajar, dan pelajaran sudah tersaji sejak kaki berada satu langkah di depan pintu rumah (Zafar Arif 286). Di luar sana memang tak selalu senyaman di rumah, tapi memang itulah dunia yang sedang kita tempati sekarang ini. Selalu ada indikasi-indikasi baru terhadap sesuatu yang sebenarnya sudah tak baru, dan tugas kita hanya perlu mengimani bahwa Tuhan adalah sebaik-baik pembuat takdir. Segalanya sudah menjadi terang ketika pada suatu waktu saya membaca kalimat "Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa" (QS. Al-Baqarah ayat: 2). Karena pada akhirnya segala urusan akan dikembalikan kepada Tuhan, dan Al-Qur'an adalah sebaik-baik pedoman yang pernah diciptakan.

Burung gereja menari-nari riang dikubangan air sisa hujan semalam dan kupu-kupu meliuk-liuk diujung bunga yang baru saja mekar dan tertimpa cahaya matahari. Perjalanan bukanlah untuk pulang, tapi hidup adalah perjalanan menuju pulang dan rumah adalah tempat terakhir kita ingin pulang. Yang indah-indah selalu ada seperti fatamorgana di tengah gurun yang seperti tak berujung. Mungkin keindahan asli yang dapat dilihat hanya ada pada bunga: mekar selama tiga hari lalu mati. Mungkin begitu juga dengan cinta, yang asli hanya tumbuh tiga hari, lalu mati seperti bunga. Tapi apalah yang lebih indah daripada tersenyum pada hari kematian dan bersenang-senang pada hari kebangkitan.

Semua yang menggungat dan segala yang tergugat dalam kehidupan memberikan banyak pengertian bahwa ternyata hidup juga adalah suatu bentuk pemenuhan bagi setiap orang. Separuh dari kita memerlukan hal yang hanya bisa dipenuhi oleh orang lain, jadi jangan pikir kita bisa berdiri kokoh tanpa ada orang lain yang menopang. Tak semua yang dianggap orang realistis itu sama dengan apa yang kita pikirkan. Akhirnya aku mengerti betapa rumitnya konstruksi batin manusia: segala sesuatu yang sangat rentan untuk hancur. Tapi orang yang kuat adalah orang yang bisa bangkit lagi setelah berkali-kali terjatuh, karena hidup tak memberikan apa pun kepada yang hanya diam saja, dan inilah aku pada dini hari yang apa adanya.








...Ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia semacam mercusuar, kompas, bintang selatan... yang menunjukan jalan pulang bagi hatimu, untuk, akhirnya, menemuiku.. - Dee






Thanks for reading... 

Senin, 21 April 2014

Menanam A-A-A Dalam Ahmad Abdul Aziz

Saya baru sadar, dari pertama kali menulis sampai sekarang sudah banyak perubahan yang terjadi pada cara saya menulis. Membaca tulisan saya sendiri adalah salah satu bentuk kekonyolan yang sering saya lakukan, mungkin karena saya ingin tahu kenapa banyak orang yang enggan membaca tulisan saya.

Menulis sendiri sudah seperti kegiatan melacur, jika si pembaca senang dia akan kembali membaca lagi, jika tak senang maka hasilnya dapat ditebak dengan mudah, dia (mungkin) tak akan kembali membaca dan sudah tentu meninggalkan kesan yang tak mengenakan ketika saya bertemu orang itu lagi.

Sementara proses menulis sendiri memerlukan totalitas yang luar biasa, hanya dengan menulislah saya bisa menggunakan hampir seluruh otak saya dan menggabungkannya dengan perasaan saya. Tapi siapa yang peduli pada proses, pelacur mana pun mungkin tak peduli bagaimana cara dia bekerja, yang penting uang didapat untuk menyambung hidup, hidup yang tak pernah mereka tahu ujungnya.

Yang saya tahu hanya pada sepak bola proses selalu diperhatikan, itu pun hanya oleh seorang pengamat, sedangkan puluhan ribu supporter hanya peduli jika tim yang mereka dukung harus menang, entah dengan cara apa pun, kalau perlu bunuh saja keeper dari tim lawan. Tapi saya tidak ingin membicarakan sepak bola, dan saya tak tahu apa yang akan saya tuliskan, bahkan selalu begitu setiap kali saya menulis.

Semuanya seperti tiba-tiba saja hadir dalam kepala saya, lalu jari-jari saya dengan tergagap-gagap mencari huruf pada keyboard komputer. Tak semua hal terjadi tanpa alasan tentunya, sometimes things happen for a reason dan menulis adalah salah satu alasan saya untuk berbagi kebahagiaan, kemarahan, kemalasan, kegundahan, kegilaan, dan berbagai macam hal lainnya.

Ketika batang terkahir dari bungkus rokok saya terbakar, saya tahu bahwa saya tak perlu terlalu banyak bercerita hal yang tak penting tentang kenapa saya menulis dan semua embel-embelnya. Saya putar lagu lama I don't wanna miss a thing milik Aerosmith yang dijadikan lagu khusus jatuh cinta di Inggris, tetapi dengan versi yang berbeda dari aslinya dan dinyanyikan ulang oleh Jake Coco dan Savannah Outen. Jangan cerita pada siapa-siapa, nanti orang-orang menyangka bahwa saya sedang jatuh cinta. Ingat jangan cerita siapa-siapa, karena hanya saya, lelaki yang kurus, bukan artist dan tampang tidak tampan, tetapi sering jadi bahan pembicaraan orang lain. Saya sering pura-pura tidak tahu dan selalu seperti itu ketika mendapati orang lain sedang membicarakan tentang saya. Saya membiarkan mereka berbicara apa saja, bahkan jika nanti sampai mulut mereka berbusa-busa saya akan tetap membiarkannya.

Modernisasi, Teknologi, dan segala bentuk peradaban masa kini membuat setiap gerak-gerik orang selalu menjadi bahan kecurigaan. Lama-lama orang seperti saya malas menegur orang lain karena takut dianggap cari perhatian, cuek disangka sombong, dan ketika saya mencoba untuk diam malah diduga sedang galau. Jangan juga sampaikan ini pada teman-teman saya, karena mereka bisa tersinggung dan berkhotbah sampai mulut mereka kering dan tak mau menyapa saya lagi.

Kalau boleh jujur, saya sering membayangkan menjadi seseorang yang disukai oleh banyak orang tanpa efek samping tertentu jika saya melakukan sesuatu. Setidaknya tidak ada kontroversi apa pun terhadap apa yang saya perbuat dan saya ucapkan, seperti orang biasa saja, orang normal pada umunya. Tetapi jika saya meminta hal itu menjadi kenyataan mereka tidak akan punya hiburan lagi untuk mulutnya, sama saja seperti mengharap turun salju di Madagaskar, hanya Tuhan dan kekuasaannya yang sanggup melakukan itu semua. Ahh, mungkin memang sudah kodratnya bahwa hal yang dibayangkan selalu tak berjodoh dengan hal yang dirasakan.

Tak perlu teori psiko-analisis Sigmund Freud untuk membuktikan apa yang saya ucapkan, dan saya tak akan melakukan pembelaan jika orang-orang memberikan tuduhan setelah semua ini. Karena pengacara paling korup di Indonesia pun tak akan sudi melakukan pembelaan untuk saya. Bagaimana pun dunia ini butuh pembeda, butuh siang untuk mengimplementasikan mimpi dan malam untuk merenungi hidup.

Saya kehilangan kopi saya malam ini, entah bersembunyi dimana, saya tak dapat mencium aromanya. Kopi yang banyak bicara, banyak berlelucon, sering terlambat tidur tapi selalu terbangun sebelum subuh. Apa saya masih belum sadar jika saya sudah melewatkan beberapa kopi karena kepala saya terlalu sesak memikirkan banyak narasi dan segala macam formula untuk mewujudkan segala bentuk keinginan saya yang seperti seorang idealis?

Suatu sore saya duduk berempat bersama teman saya, ibunya, dan pacarnya di meja makan untuk makan bersama. Tentu saja bukan acara makan siang, karena jam makan siang sudah terlewat sekitar empat jam-tiga puluh menit, untuk dikatakan makan malam pun seperti sebuah lelucon dangkal, karena matahari masih terbungkuk-bungkuk menuju senja. Kami semua berdoa masing-masing, mungkin ada yang tidak berdoa, tetapi saya selalu belajar untuk berdoa ketika hendak makan. Kejadian itu seperti paradoks di dalam paradoks, karena sudah pasti di hadapan meja itu hanya saya yang mengucapkan bismillah, dan yang lainnya entah mengawali dengan kalimat apa. Si tuan rumah (teman saya) bukalah seorang muslim, ketika dia mengajak saya makan, saya diambang kebimbangan, sejujurnya ini bukan kali pertama saya makan bersama keluarga yang beragama bukan Islam. Jika saja ibu saya mengetahuinya mungkin ia akan menggerutu hal yang sama seperti ketika saya masih kecil: jangan makan di rumah orang yang bukan beragama Islam, karena wajannya bekas masak daging anjing atau babi. Begitulah keluarga saya, karena kami lahir dari keluarga yang belajar untuk taat beragama, tapi kadang dogma menjebak kami dalam suatu premis yang belum tentu benar nyatanya. Boleh saya sedikit penasaran? Karena saya tak pernah mendengar orang yang tidak beragama Islam berkata "jangan biarkan orang Islam sholat di rumah kita, karena mereka menyembah Tuhan yang berbeda". Tunggu jangan berburuk sangka dulu, boleh jadi memang hanya saya yang pernah menumpang sholat di rumah yang dihuni oleh keluarga yang semuanya bukan seorang muslim. Paragraf ini adalah pengecualian.

Malam sebelumnya saya masih di rumah yang sama untuk membantu teman saya menyelesaikan pesanan lem dari ditributor di Purwokerto, anggap saja saya sebagai pekerja paruh waktu di perusahaan yang sedang dirintis oleh teman saya itu. Setelah menunaikan ibadah sholat Ashar di rumah, saya datang dengan membawa sarung. Saya pikir lebih efisien jika saya menunaikan sholat Maghrib di rumah teman saya, jadi tidak menghambat waktu kerja atau menimbulkan dugaan bahwa saya sengaja mencuri waktu untuk bermalas-malasan dengan beralasan sholat. Ketika Maghrib tiba saya meminta izin untuk menunaikan ibadah sholat maghrib di kamarnya, dia mempersilahkannya, bahkan sampai hendak menggelar tikar sebagai alas, tetapi saya menolaknya. Setelah salam terakhir dari sholat, saya merenung, terdiam sejenak dan meminta petunjuk dari Tuhan. Mungkin inilah penjelasan nyata dari Surat Al-Kafirun, dan kemudian saya menanamkan A pertama ke dalam diri saya ketika teringat ayat terakhir dari surat tesebut. A pertama itu adalah Allah, segala sesuatu tentang urusan di dunia dan hari akhir berada ditanganNya, saya hanya menjalankan kewajiban saya sebagai seorang muslim, dan jika teman saya menyembah sesuatu Hal lain yang dia anggap Tuhan maka itu adalah urusan dia.

Saya dapati secangkir kopi pekat, hitam, dan hampasnya yang tak beraturan di bibir gelas di sebelah laptop saya. Saya baru saja menyeduhnya, karena akal sehat saya perlu dipertahankan untuk beberapa jam yang akan datang. Menilik tentang kehidupan saya yang sudah berlalu, ini lebih mirip dengan napaktilas pengalam psikologis di masa lalu untuk saya --- terinspirasi Falsafah Janteloven yang saya baca pada artikel halaman sepak bola pada sebuah website. Dulu saya adalah seorang anak kecil yang menuruti segala norma yang dibuat dari pepatah orang tua terdahulu. Memang pada kenyataannya segala petuah-petuah yang kemudian dijadikan norma itu hampir seluruhnya bernilai baik, saya mengakuinya. Lalu sekarang peadaban berubah dengan cepat, bermula dari karya Bill Gates dan Steve Jobs, dan yang terbaru adalah rezim Android dengan segala fitur gilanya yang sulit diterima nalar. Lalu saya tanamkan A kedua ke dalam diri saya: Aku. Aku yang bukan bermaksud untuk mejadikan diri saya menjadi Keakuan. Menurut saya Aku yang saya tanamkan dalam diri saya adalah jati diri, bentuk prinsip yang tak ingin digerus oleh peradaban. Lalu orang-orang menanggap saya kolot dan pada akhirnya saya divonis dewasa sebelum waktunya oleh teman-teman saya sendiri. Apakah sebuah kesalahan untuk menjadi tidak sama dengan orang lain? Pada akhirnya Si Kolot yang dianggap dewasa sebelum waktunya menjadi orang yang dipenuhi segala keluhan dari Si Trendy, dan juga dijadikan database jawaban untuk segala tanda tanya yang bertumpuk di kepala orang-orang yang menganggap dirinya modern. Tetapi yang dianggap kolot tetaplah seperti orang tua jompo, selalu ditinggal, tak pernah diajak, dan kadang seperti diasingkan. Baiklah, besok, lusa, minggu depan, atau dalam waktu yang tak terduga mungkin akan ada yang bertanya-tanya dalam hatinya bahwa siapa yang saya anggap Si Trendy?

A kedua sudah tertanam dalam diri saya, walaupun mungkin dalam kemasan berbeda karena improvisation selalu dibutuhkan untuk menyesuaikan keadaan. Karena pada titik akhir, saat seorang lelaki sudah tak memiliki apa pun, yang masih akan dipertanyakan adalah jati dirinya, saya yakin itu.

Jadi siapa yang bertanya-tanya tentang A yang terakhir? Karena A yang terakhir adalah Anda. Anda yang pernah hadir dalam hidup saya dan Anda yang belum hadir dalam hidup saya. Siapa pun Anda, karena setiap orang adalah pecahan dari bentuk lukisan nilai kehidupan saya (psyche). Dari Anda saya banyak belajar bahwa baik-buruk sudah mengalir dalam darah manusia, sama halnya dalam diri saya --- mengutip tweet Sudjiwo Tedjo. Lalu saya, Anda, dan segala macam toleransi yang harus dibangun ulang, mari kita bersulang untuk secawan tawa yang pernah bergeming.

















...I'm trying to do that but it's difficult to control my emotions - Steven Gerard on Premier Leagues's title













Thanks for reading...

Kamis, 17 April 2014

Berpacu dengan Waktu

Semua akan baik-baik saja, hanya kalimat itu yang selalu bergeming di dalam kepala saya beberapa minggu ini. Semenjak mengundurkan diri dari tempat magang waktu jadi terasa semakin cepat saja rasanya memburu hari-hari saya. Beberapa hari lagi ujian tengah semester dimulai, dan beberapa minggu lagi ujian semester akan segera datang dengan ancaman indeks prestasi yang siap merenggut beberapa syaraf kejut saya seperti yang terjadi pada opening film Vertical Limit. Saya benar-benar terasa sedang diburu oleh waktu, dimana hampir sebagian teman-teman saya yang mengambil mata kuliah Kerja Praktek sudah menulis beberapa bab laporan kerjanya, sedangkan saya masih sibuk mencari tempat magang. If I think God is not fair, then my head is more rotten than Al Pacino who stole a bike and asked forgiveness from God. Saya hanya harus berusaha mendapatkan tempat magang baru tentunya, dan saya sudah melakukan itu walaupun dengan sedikit hal yang berbau nepotisme karena meminta bantuan pada orang tua teman saya yang memang memiliki jabatan sebagai sekertaris perusahaan, semoga saja berhasil.

Madam sudah pulang kampung ke Madura untuk persiapan melahirkan. Believe it or not, padahal saya merasa pernikahan Madam baru berlangsung tiga sampai empat bulan yang lalu, ternyata sudah lebih dari delapan bulan. Saya harus akui bahwa saya memiliki ingatan yang sangat lemah, dan saya adalah pelupa tengik kelas kakap. Bahkan sejak di sekolah dasar saya sudah beberapa kali melihat dan membaca Kartu Tanda Penduduk orang tua saya, dan sampai sekarang saya tak pernah ingat kapan orang tua saya berulang tahun. Ini kenyataan!

Oh ya Madam, dia adalah seorang ibu yang berjualan dengan gerobak dorong di dekat kampus, saya biasa duduk dan ngobrol bersamanya di tempat dia berjualan di bawah pohon. Selalu menyenangkan bisa bertukar kata dengannya, sikapnya yang selalu terbuka terhadap siapa pun membuat saya begitu nyaman. Dan yang paling penting dia adalah orang berikutnya setelah orang tua saya yang selalu berkata semoga berhasil dan sukses dalam menempuh kuliah, bahkan dia mengatakan itu hampir setiap saya mendatanginya, lebih sering daripada yang orang tua saya, really.

Waktu. Rasanya belum lama kaki saya kembali menginjak tanah kelahiran saya, setelah kepulangan saya dari Solo pada awal tahun dua ribu sebelas lalu. Saya meninggalkan banyak tawa, kenangan, dan yang sangat sulit diterima adalah prestasi yang harus saya sia-siakan di Solo. Bukan prestasi yang mungkin Anda bayangkan, tetapi prestasi bahwa ternyata saya dapat menikmati pendidikan saya disana. Dapat menikmati pendidikan yang saya tempuh adalah prestasi tersendiri untuk saya. Sejak mengawali pendidikan dari sekolah dasar, terhitung hanya ketika saya kelas lima sampai lulus sekolah dasar, kelas sembilan, kelas sepuluh semester satu dan semester satu-tingkat satu ketika saya kuliah di Solo saja saya dapat menikmati pendidikan saya dengan menyenangkan. Sisanya mungkin bisa dibilang periode stress selama saya mengenyam pendidikan, bahkan ketika saya sudah menempuh semester enam selama kuliah di Jakarta. Padahal semester depan saya hanya menyisakan lima belas sks termasuk tugas akhir, tetapi saya belum dapat menikmati pendidikan saya disini.

Saya hampir kehabisan waktu sepertinya. Magang, laporan kerja, skripsi, dan semua kekonyolan institut pendidikan. Tolong katakan pada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang tak pernah saya tahu namanya sejak Kabinet Indonesia Bersatu jilid pertama didirikan, cepat ubah kurikulum dan sistem pengajaran di Indonesia sebelum moral anak bangsa semakin bobrok karena cara penyaluran ilmu yang disampaikan pihak pengajar sudah sangat tidak efisien, dan adakan test kompetensi untuk para pengajar sebagai kualifikasi siapa yang berhak menjadi pengajar dan dibidang mana ketentuan dia boleh memberikan pelajaran. Perhatikan institut-intitut pendidikan yang berkategori swasta, dan kaji ulang cara penilaian akreditasi. Sejujurnya ide-ide gila dan umpatan seperti itu kadang timbul ketika saya merasa tersudutkan karena beberapa mata kuliah yang saya ambil ternyata sangatlah memuakan untuk ditempuh.

Oalah, sekarang sudah masuk tahun ketiga semenjak pertama kali saya kuliah di Jakarta, baru sekarang ini saya menyadarinya. Perjalanan panjang dengan segala bentuk konstruksi sudah membangun siapa saya sekarang ini, walaupun memang belum semua konstruksi pribadi saya selesai dibangun. Setiap hari, bahkan setiap waktu saya mencoba lagi membangun ulang diri saya. Suatu hari saya pernah bermimpi bahwa setiap tulisan saya akan diterbitkan dalam bentuk buku dan dibaca banyak orang, dan setiap saya melangkah kemana pun itu, orang-orang akan mengelu-elu kan saya, seakan-akan saya adalah pahlawan yang menyadarkan diri mereka bahwa para pemilik account anonymous di twitter itu hanyalah pembual yang merusak otak mereka dengan segala teori omong kosong yang menghancurkan pola pikir rasional followers-nya. Karena menurut hemat saya, sastra adalah alat untuk membangun segala bentuk yang positif dan mengajak setiap pembaca untuk berpikir. Kan Tuhan juga ciptakan manusia dengan fasilitas akal dan pikiran supaya manusia sendiri jadi mahluk yang berpikir.

Tapi semua hal itu terjadi hanya di dalam mimpi saya, sampai saya sudah menulis beberapa tulisan yang memang kebanyakan adalah luapan dari emosi saya sendiri, atau pun cerita tanpa mutu tentang diri saya yang bahkan kadang saya harus memaksa teman-teman saya membacanya di blog ini. Sebagian lagi malah enggan membacanya, sebagiannya malah menganggap seperti remeh. Pembaca-pembaca blog saya sendiri adalah teman-teman saya yang mungkin juga terpaksa membacanya, atau orang-orang yang tersesat karena keywords konyol yang mereka ketik di mesin pencarian.

Saya dan secangkir teh manis yang sudah tak hangat lagi berbagi waktu untuk menikmati pagi. Menanti surat pengantar dari kampus untuk saya ajukan ke perusahaan tempat orang tua dari teman saya bekerja, berharap semoga Tuhan meridhoi perjuangan saya sekarang dan saya bisa magang di perusahaan tersebut. Bagaimana pun saya harus menyelesaikan study saya semester depan. Walaupun kadang hidup tak seperti yang kita impi-impikan, kadang perjalanan tak seindah yang kita sangka, kadang kenyataan tak seperti yang kita harapkan, tapi inilah hidup dengan segala likunya. Tuhan tak pernah membiarkan perjuangan hambanya menjadi sia-sia walaupun kita terjebak dalam situasi yang dianggap gagal, bukankah manusia adalah sebaik-baiknya pengambil hikmah? Berusaha dan berusaha, walau terkadang banyak yang meragukan kita, meninggalkan kita, menggunjing, sampai pada satu titik kita merasa seperti sendiri, semua orang pergi tanpa permisi dari hati kita, semua ekspetasi seperti sia-sia. Jika itu semua terjadi pada diri saya, ketahuilah teh dan kopi tak akan pernah kehilangan tempat di dalam hati saya.







Keep your friends close, but your enemies closer - Al Pacino







Thanks for reading...

Rabu, 09 April 2014

Tiga Ribu Lima Ratus

Melupakan suatu perjalanan memang tidaklah mudah, meski di dalam perjalanan itu kita terlempar, terhempas, kadang terjatuh. Kadang kita sendiri juga tidak tahu apa yang membuat kita mengingat semua itu, padahal perjalanan yang kita ingat adalah perjalanan yang gagal. Sekarang kegagalan memiliki fungsi ganda: selain untuk belajar, bisa juga untuk dikenang. Karena kenangan selalu saja menghatui sudut pikiran, dan melupakan adalah pekerjaan sepele yang sulit dilakukan.

Jauh-jauh kepala mengembara mencari kata dan makna, siapa sangka kepala saya malah tersesat di dalam tiga ribu lima ratus. Tiga ribu lima ratus yang dulu hendak saya berikan dengan ikhlas, tetapi Anda memilih untuk berkata akan menggantinya esok nanti. Dulu naik angkutan umum yang pengap dan dikendarai oleh supir yang lebih mirip pembalap Formula 1 itu memang hanya cukup membayar tiga ribu lima ratus saja. Dengan tiga ribu lima ratus saya banyak mendapatkan fasilitas uji adrenaline dari pak supir. Dengan tiga ribu lima ratus saya jadi lebih dekat dengan Tuhan, karena takut tiba-tiba mobil yang saya naiki terbalik, atau terperosok ke sungai yang membentang sepanjang tepian jalan. Dengan tiga ribu lima ratus saya bisa menghabiskan waktu kurang-lebih satu jam bersama Anda di dalam angkutan umum itu. Sekarang saya mengingat tiga ribu lima ratus yang pernah saya berikan, dan juga apa yang pernah Anda katakan.

Saya selalu memiliki special moment bersama siapa pun tanpa terkecuali. Menurut saya, kejadian-kejadian tertentu akan membuat setiap orang berbahagia dan nyaman setiap mengulang aktivitas dengan orang yang sama. Tiga ribu lima ratus bukanlah special moment saya bersama Anda, tetapi menghabiskan waktu sepanjang perjalanan di dalam angkutan umum bersama Anda adalah hal yang (mungkin) tak bisa diulang lagi. Saya adalah jiwa yang sedang berjihad melawan trauma dan waktu, mengenang Anda adalah hal yang paling mengejutkan ketika kepala saya tiba-tiba saja mengoleksi banyak kata.

Hal-hal yang amatlah begitu sederhana baru terasa bermakna setelah kita hampir kehilangan semuanya, dan bukankah memang selalu begitu? Rasa utuh itu tumbuh seperti sel, semakin lama semakin dewasa dan pecah menjadi seribu. Kita pegang pecahan-pecahan tersebut, tapi yang pecah sulit menjadi satu lagi. Andai pun saya mempertanyakan lagi tiga ribu lima ratus yang lupa Anda kembalikan, semua rentetan yang saya anggap special moment tak bisa terulang lagi. As you know, karena tarif angkutan umumnya sekarang sudah menjadi empat ribu lima ratus.









Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirnya - Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca






Thanks for reading...