Sabtu, 26 April 2014

Di Suatu Hari Tanpa Nama

Di suatu hari tanpa nama, dan jejak-jejak si pencari yang belum seutuhnya sirna. Pagi datang dengan tidak tiba-tiba, melintas malam yang penuh dengan cerita-cerita sebuah insomnia. Aku, seorang pencari yang melewati batas nalar, bertarung dengan akal sehatku sendiri untuk menemukan rahasia-rahasia yang tidak pernah aku mengerti seutuhnya.

Ayam jantan berkokok dengan sangat ramah, walau semalam tidur sendiri dan tak tahu si betina yang dikawini di hari sebelumnya membuat mimpi dimana. Dasar ayam! Mungkin jatuh cinta harus menjadi seperti ayam, seperlunya saja, dan esok pagi adalah hari baru dengan cinta yang (mungkin) baru juga. "Tapi ayam bukan mahluk yang berakal", terdengar dengungan samar seperti bunyi Gunnah yang dari entah.

Aku sajikan secangkir teh manis untuk diriku sendiri, kopi sedang tak bersahabat denganku pagi ini. Setelah subuh ditunaikan aku butuh menghangatkan tubuh dengan kesejukan lewat teh manis. Kopi tak akan memejamkan mataku yang butuh istirahat pagi ini, karena semalam mata yang tak sipit dan kurang belo ini habis meronda dan menjadi saksi sengketa antara isi kepala dan perasaan yang sering tak sejalan. Aku sudah menyabung hidupku dengan segala ambisi yang sering menekan perasaanku sendiri. Isi kepala yang selalu memberontak dan menolak pada segala bentuk yang kadang hanya diriku sendiri yang menilainya tak adil. Pada akhirnya aku hanya menabung amarah yang tak tahu harus diberikan pada siapa.

Pada hidup, pada segala perjalanan yang membawa cerita tentang kontradiksi antara teori dan ayat-ayat Illahi. Seorang manusia kotor yang sedang belajar menanam Aqidah dan Akhlaq pada akar rapuh keimanannya. Sering waktu aku harus membenci diriku sendiri, mengumpat dan menghina segala yang telah aku perbuat. Katanya hidup bisa memberikan segala pada barang siapa yang pandai menerima (Pramoedya Ananta Toer - Bumi Manusia), itu sangat persis seperti yang berkali-kali aku pikirkan, bahwa hidup adalah kebahagiaan bagi siapa saja yang mau menerima dan tak banyak meminta.

Akan tiba saatnya kita merasa lelah dan ingin berhenti dalam sebuah perjalanan panjang, seperti ingin 'pulang' saja rasanya. Ketika semua hal yang kita perjuangkan tenyata hanyalah omong kosong belaka dan setiap langkah adalah sia-sia yang menyambangi putus asa. Pada saat itu tiba semuanya akan dikembalikan pada pilihan yang teronggok di depan pintu rumah kita: kembali melangkah atau kembali masuk ke dalam rumah. Bukankah sebaik-baik hidup adalah belajar, dan pelajaran sudah tersaji sejak kaki berada satu langkah di depan pintu rumah (Zafar Arif 286). Di luar sana memang tak selalu senyaman di rumah, tapi memang itulah dunia yang sedang kita tempati sekarang ini. Selalu ada indikasi-indikasi baru terhadap sesuatu yang sebenarnya sudah tak baru, dan tugas kita hanya perlu mengimani bahwa Tuhan adalah sebaik-baik pembuat takdir. Segalanya sudah menjadi terang ketika pada suatu waktu saya membaca kalimat "Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa" (QS. Al-Baqarah ayat: 2). Karena pada akhirnya segala urusan akan dikembalikan kepada Tuhan, dan Al-Qur'an adalah sebaik-baik pedoman yang pernah diciptakan.

Burung gereja menari-nari riang dikubangan air sisa hujan semalam dan kupu-kupu meliuk-liuk diujung bunga yang baru saja mekar dan tertimpa cahaya matahari. Perjalanan bukanlah untuk pulang, tapi hidup adalah perjalanan menuju pulang dan rumah adalah tempat terakhir kita ingin pulang. Yang indah-indah selalu ada seperti fatamorgana di tengah gurun yang seperti tak berujung. Mungkin keindahan asli yang dapat dilihat hanya ada pada bunga: mekar selama tiga hari lalu mati. Mungkin begitu juga dengan cinta, yang asli hanya tumbuh tiga hari, lalu mati seperti bunga. Tapi apalah yang lebih indah daripada tersenyum pada hari kematian dan bersenang-senang pada hari kebangkitan.

Semua yang menggungat dan segala yang tergugat dalam kehidupan memberikan banyak pengertian bahwa ternyata hidup juga adalah suatu bentuk pemenuhan bagi setiap orang. Separuh dari kita memerlukan hal yang hanya bisa dipenuhi oleh orang lain, jadi jangan pikir kita bisa berdiri kokoh tanpa ada orang lain yang menopang. Tak semua yang dianggap orang realistis itu sama dengan apa yang kita pikirkan. Akhirnya aku mengerti betapa rumitnya konstruksi batin manusia: segala sesuatu yang sangat rentan untuk hancur. Tapi orang yang kuat adalah orang yang bisa bangkit lagi setelah berkali-kali terjatuh, karena hidup tak memberikan apa pun kepada yang hanya diam saja, dan inilah aku pada dini hari yang apa adanya.








...Ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia semacam mercusuar, kompas, bintang selatan... yang menunjukan jalan pulang bagi hatimu, untuk, akhirnya, menemuiku.. - Dee






Thanks for reading... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar