Menulis sendiri sudah seperti kegiatan melacur, jika si pembaca senang dia akan kembali membaca lagi, jika tak senang maka hasilnya dapat ditebak dengan mudah, dia (mungkin) tak akan kembali membaca dan sudah tentu meninggalkan kesan yang tak mengenakan ketika saya bertemu orang itu lagi.
Sementara proses menulis sendiri memerlukan totalitas yang luar biasa, hanya dengan menulislah saya bisa menggunakan hampir seluruh otak saya dan menggabungkannya dengan perasaan saya. Tapi siapa yang peduli pada proses, pelacur mana pun mungkin tak peduli bagaimana cara dia bekerja, yang penting uang didapat untuk menyambung hidup, hidup yang tak pernah mereka tahu ujungnya.
Yang saya tahu hanya pada sepak bola proses selalu diperhatikan, itu pun hanya oleh seorang pengamat, sedangkan puluhan ribu supporter hanya peduli jika tim yang mereka dukung harus menang, entah dengan cara apa pun, kalau perlu bunuh saja keeper dari tim lawan. Tapi saya tidak ingin membicarakan sepak bola, dan saya tak tahu apa yang akan saya tuliskan, bahkan selalu begitu setiap kali saya menulis.
Semuanya seperti tiba-tiba saja hadir dalam kepala saya, lalu jari-jari saya dengan tergagap-gagap mencari huruf pada keyboard komputer. Tak semua hal terjadi tanpa alasan tentunya, sometimes things happen for a reason dan menulis adalah salah satu alasan saya untuk berbagi kebahagiaan, kemarahan, kemalasan, kegundahan, kegilaan, dan berbagai macam hal lainnya.
Semuanya seperti tiba-tiba saja hadir dalam kepala saya, lalu jari-jari saya dengan tergagap-gagap mencari huruf pada keyboard komputer. Tak semua hal terjadi tanpa alasan tentunya, sometimes things happen for a reason dan menulis adalah salah satu alasan saya untuk berbagi kebahagiaan, kemarahan, kemalasan, kegundahan, kegilaan, dan berbagai macam hal lainnya.
Ketika batang terkahir dari bungkus rokok saya terbakar, saya tahu bahwa saya tak perlu terlalu banyak bercerita hal yang tak penting tentang kenapa saya menulis dan semua embel-embelnya. Saya putar lagu lama I don't wanna miss a thing milik Aerosmith yang dijadikan lagu khusus jatuh cinta di Inggris, tetapi dengan versi yang berbeda dari aslinya dan dinyanyikan ulang oleh Jake Coco dan Savannah Outen. Jangan cerita pada siapa-siapa, nanti orang-orang menyangka bahwa saya sedang jatuh cinta. Ingat jangan cerita siapa-siapa, karena hanya saya, lelaki yang kurus, bukan artist dan tampang tidak tampan, tetapi sering jadi bahan pembicaraan orang lain. Saya sering pura-pura tidak tahu dan selalu seperti itu ketika mendapati orang lain sedang membicarakan tentang saya. Saya membiarkan mereka berbicara apa saja, bahkan jika nanti sampai mulut mereka berbusa-busa saya akan tetap membiarkannya.
Modernisasi, Teknologi, dan segala bentuk peradaban masa kini membuat setiap gerak-gerik orang selalu menjadi bahan kecurigaan. Lama-lama orang seperti saya malas menegur orang lain karena takut dianggap cari perhatian, cuek disangka sombong, dan ketika saya mencoba untuk diam malah diduga sedang galau. Jangan juga sampaikan ini pada teman-teman saya, karena mereka bisa tersinggung dan berkhotbah sampai mulut mereka kering dan tak mau menyapa saya lagi.
Kalau boleh jujur, saya sering membayangkan menjadi seseorang yang disukai oleh banyak orang tanpa efek samping tertentu jika saya melakukan sesuatu. Setidaknya tidak ada kontroversi apa pun terhadap apa yang saya perbuat dan saya ucapkan, seperti orang biasa saja, orang normal pada umunya. Tetapi jika saya meminta hal itu menjadi kenyataan mereka tidak akan punya hiburan lagi untuk mulutnya, sama saja seperti mengharap turun salju di Madagaskar, hanya Tuhan dan kekuasaannya yang sanggup melakukan itu semua. Ahh, mungkin memang sudah kodratnya bahwa hal yang dibayangkan selalu tak berjodoh dengan hal yang dirasakan.
Kalau boleh jujur, saya sering membayangkan menjadi seseorang yang disukai oleh banyak orang tanpa efek samping tertentu jika saya melakukan sesuatu. Setidaknya tidak ada kontroversi apa pun terhadap apa yang saya perbuat dan saya ucapkan, seperti orang biasa saja, orang normal pada umunya. Tetapi jika saya meminta hal itu menjadi kenyataan mereka tidak akan punya hiburan lagi untuk mulutnya, sama saja seperti mengharap turun salju di Madagaskar, hanya Tuhan dan kekuasaannya yang sanggup melakukan itu semua. Ahh, mungkin memang sudah kodratnya bahwa hal yang dibayangkan selalu tak berjodoh dengan hal yang dirasakan.
Tak perlu teori psiko-analisis Sigmund Freud untuk membuktikan apa yang saya ucapkan, dan saya tak akan melakukan pembelaan jika orang-orang memberikan tuduhan setelah semua ini. Karena pengacara paling korup di Indonesia pun tak akan sudi melakukan pembelaan untuk saya. Bagaimana pun dunia ini butuh pembeda, butuh siang untuk mengimplementasikan mimpi dan malam untuk merenungi hidup.
Saya kehilangan kopi saya malam ini, entah bersembunyi dimana, saya tak dapat mencium aromanya. Kopi yang banyak bicara, banyak berlelucon, sering terlambat tidur tapi selalu terbangun sebelum subuh. Apa saya masih belum sadar jika saya sudah melewatkan beberapa kopi karena kepala saya terlalu sesak memikirkan banyak narasi dan segala macam formula untuk mewujudkan segala bentuk keinginan saya yang seperti seorang idealis?
Suatu sore saya duduk berempat bersama teman saya, ibunya, dan pacarnya di meja makan untuk makan bersama. Tentu saja bukan acara makan siang, karena jam makan siang sudah terlewat sekitar empat jam-tiga puluh menit, untuk dikatakan makan malam pun seperti sebuah lelucon dangkal, karena matahari masih terbungkuk-bungkuk menuju senja. Kami semua berdoa masing-masing, mungkin ada yang tidak berdoa, tetapi saya selalu belajar untuk berdoa ketika hendak makan. Kejadian itu seperti paradoks di dalam paradoks, karena sudah pasti di hadapan meja itu hanya saya yang mengucapkan bismillah, dan yang lainnya entah mengawali dengan kalimat apa. Si tuan rumah (teman saya) bukalah seorang muslim, ketika dia mengajak saya makan, saya diambang kebimbangan, sejujurnya ini bukan kali pertama saya makan bersama keluarga yang beragama bukan Islam. Jika saja ibu saya mengetahuinya mungkin ia akan menggerutu hal yang sama seperti ketika saya masih kecil: jangan makan di rumah orang yang bukan beragama Islam, karena wajannya bekas masak daging anjing atau babi. Begitulah keluarga saya, karena kami lahir dari keluarga yang belajar untuk taat beragama, tapi kadang dogma menjebak kami dalam suatu premis yang belum tentu benar nyatanya. Boleh saya sedikit penasaran? Karena saya tak pernah mendengar orang yang tidak beragama Islam berkata "jangan biarkan orang Islam sholat di rumah kita, karena mereka menyembah Tuhan yang berbeda". Tunggu jangan berburuk sangka dulu, boleh jadi memang hanya saya yang pernah menumpang sholat di rumah yang dihuni oleh keluarga yang semuanya bukan seorang muslim. Paragraf ini adalah pengecualian.
Malam sebelumnya saya masih di rumah yang sama untuk membantu teman saya menyelesaikan pesanan lem dari ditributor di Purwokerto, anggap saja saya sebagai pekerja paruh waktu di perusahaan yang sedang dirintis oleh teman saya itu. Setelah menunaikan ibadah sholat Ashar di rumah, saya datang dengan membawa sarung. Saya pikir lebih efisien jika saya menunaikan sholat Maghrib di rumah teman saya, jadi tidak menghambat waktu kerja atau menimbulkan dugaan bahwa saya sengaja mencuri waktu untuk bermalas-malasan dengan beralasan sholat. Ketika Maghrib tiba saya meminta izin untuk menunaikan ibadah sholat maghrib di kamarnya, dia mempersilahkannya, bahkan sampai hendak menggelar tikar sebagai alas, tetapi saya menolaknya. Setelah salam terakhir dari sholat, saya merenung, terdiam sejenak dan meminta petunjuk dari Tuhan. Mungkin inilah penjelasan nyata dari Surat Al-Kafirun, dan kemudian saya menanamkan A pertama ke dalam diri saya ketika teringat ayat terakhir dari surat tesebut. A pertama itu adalah Allah, segala sesuatu tentang urusan di dunia dan hari akhir berada ditanganNya, saya hanya menjalankan kewajiban saya sebagai seorang muslim, dan jika teman saya menyembah sesuatu Hal lain yang dia anggap Tuhan maka itu adalah urusan dia.
Saya dapati secangkir kopi pekat, hitam, dan hampasnya yang tak beraturan di bibir gelas di sebelah laptop saya. Saya baru saja menyeduhnya, karena akal sehat saya perlu dipertahankan untuk beberapa jam yang akan datang. Menilik tentang kehidupan saya yang sudah berlalu, ini lebih mirip dengan napaktilas pengalam psikologis di masa lalu untuk saya --- terinspirasi Falsafah Janteloven yang saya baca pada artikel halaman sepak bola pada sebuah website. Dulu saya adalah seorang anak kecil yang menuruti segala norma yang dibuat dari pepatah orang tua terdahulu. Memang pada kenyataannya segala petuah-petuah yang kemudian dijadikan norma itu hampir seluruhnya bernilai baik, saya mengakuinya. Lalu sekarang peadaban berubah dengan cepat, bermula dari karya Bill Gates dan Steve Jobs, dan yang terbaru adalah rezim Android dengan segala fitur gilanya yang sulit diterima nalar. Lalu saya tanamkan A kedua ke dalam diri saya: Aku. Aku yang bukan bermaksud untuk mejadikan diri saya menjadi Keakuan. Menurut saya Aku yang saya tanamkan dalam diri saya adalah jati diri, bentuk prinsip yang tak ingin digerus oleh peradaban. Lalu orang-orang menanggap saya kolot dan pada akhirnya saya divonis dewasa sebelum waktunya oleh teman-teman saya sendiri. Apakah sebuah kesalahan untuk menjadi tidak sama dengan orang lain? Pada akhirnya Si Kolot yang dianggap dewasa sebelum waktunya menjadi orang yang dipenuhi segala keluhan dari Si Trendy, dan juga dijadikan database jawaban untuk segala tanda tanya yang bertumpuk di kepala orang-orang yang menganggap dirinya modern. Tetapi yang dianggap kolot tetaplah seperti orang tua jompo, selalu ditinggal, tak pernah diajak, dan kadang seperti diasingkan. Baiklah, besok, lusa, minggu depan, atau dalam waktu yang tak terduga mungkin akan ada yang bertanya-tanya dalam hatinya bahwa siapa yang saya anggap Si Trendy?
A kedua sudah tertanam dalam diri saya, walaupun mungkin dalam kemasan berbeda karena improvisation selalu dibutuhkan untuk menyesuaikan keadaan. Karena pada titik akhir, saat seorang lelaki sudah tak memiliki apa pun, yang masih akan dipertanyakan adalah jati dirinya, saya yakin itu.
Jadi siapa yang bertanya-tanya tentang A yang terakhir? Karena A yang terakhir adalah Anda. Anda yang pernah hadir dalam hidup saya dan Anda yang belum hadir dalam hidup saya. Siapa pun Anda, karena setiap orang adalah pecahan dari bentuk lukisan nilai kehidupan saya (psyche). Dari Anda saya banyak belajar bahwa baik-buruk sudah mengalir dalam darah manusia, sama halnya dalam diri saya --- mengutip tweet Sudjiwo Tedjo. Lalu saya, Anda, dan segala macam toleransi yang harus dibangun ulang, mari kita bersulang untuk secawan tawa yang pernah bergeming.
Suatu sore saya duduk berempat bersama teman saya, ibunya, dan pacarnya di meja makan untuk makan bersama. Tentu saja bukan acara makan siang, karena jam makan siang sudah terlewat sekitar empat jam-tiga puluh menit, untuk dikatakan makan malam pun seperti sebuah lelucon dangkal, karena matahari masih terbungkuk-bungkuk menuju senja. Kami semua berdoa masing-masing, mungkin ada yang tidak berdoa, tetapi saya selalu belajar untuk berdoa ketika hendak makan. Kejadian itu seperti paradoks di dalam paradoks, karena sudah pasti di hadapan meja itu hanya saya yang mengucapkan bismillah, dan yang lainnya entah mengawali dengan kalimat apa. Si tuan rumah (teman saya) bukalah seorang muslim, ketika dia mengajak saya makan, saya diambang kebimbangan, sejujurnya ini bukan kali pertama saya makan bersama keluarga yang beragama bukan Islam. Jika saja ibu saya mengetahuinya mungkin ia akan menggerutu hal yang sama seperti ketika saya masih kecil: jangan makan di rumah orang yang bukan beragama Islam, karena wajannya bekas masak daging anjing atau babi. Begitulah keluarga saya, karena kami lahir dari keluarga yang belajar untuk taat beragama, tapi kadang dogma menjebak kami dalam suatu premis yang belum tentu benar nyatanya. Boleh saya sedikit penasaran? Karena saya tak pernah mendengar orang yang tidak beragama Islam berkata "jangan biarkan orang Islam sholat di rumah kita, karena mereka menyembah Tuhan yang berbeda". Tunggu jangan berburuk sangka dulu, boleh jadi memang hanya saya yang pernah menumpang sholat di rumah yang dihuni oleh keluarga yang semuanya bukan seorang muslim. Paragraf ini adalah pengecualian.
Malam sebelumnya saya masih di rumah yang sama untuk membantu teman saya menyelesaikan pesanan lem dari ditributor di Purwokerto, anggap saja saya sebagai pekerja paruh waktu di perusahaan yang sedang dirintis oleh teman saya itu. Setelah menunaikan ibadah sholat Ashar di rumah, saya datang dengan membawa sarung. Saya pikir lebih efisien jika saya menunaikan sholat Maghrib di rumah teman saya, jadi tidak menghambat waktu kerja atau menimbulkan dugaan bahwa saya sengaja mencuri waktu untuk bermalas-malasan dengan beralasan sholat. Ketika Maghrib tiba saya meminta izin untuk menunaikan ibadah sholat maghrib di kamarnya, dia mempersilahkannya, bahkan sampai hendak menggelar tikar sebagai alas, tetapi saya menolaknya. Setelah salam terakhir dari sholat, saya merenung, terdiam sejenak dan meminta petunjuk dari Tuhan. Mungkin inilah penjelasan nyata dari Surat Al-Kafirun, dan kemudian saya menanamkan A pertama ke dalam diri saya ketika teringat ayat terakhir dari surat tesebut. A pertama itu adalah Allah, segala sesuatu tentang urusan di dunia dan hari akhir berada ditanganNya, saya hanya menjalankan kewajiban saya sebagai seorang muslim, dan jika teman saya menyembah sesuatu Hal lain yang dia anggap Tuhan maka itu adalah urusan dia.
Saya dapati secangkir kopi pekat, hitam, dan hampasnya yang tak beraturan di bibir gelas di sebelah laptop saya. Saya baru saja menyeduhnya, karena akal sehat saya perlu dipertahankan untuk beberapa jam yang akan datang. Menilik tentang kehidupan saya yang sudah berlalu, ini lebih mirip dengan napaktilas pengalam psikologis di masa lalu untuk saya --- terinspirasi Falsafah Janteloven yang saya baca pada artikel halaman sepak bola pada sebuah website. Dulu saya adalah seorang anak kecil yang menuruti segala norma yang dibuat dari pepatah orang tua terdahulu. Memang pada kenyataannya segala petuah-petuah yang kemudian dijadikan norma itu hampir seluruhnya bernilai baik, saya mengakuinya. Lalu sekarang peadaban berubah dengan cepat, bermula dari karya Bill Gates dan Steve Jobs, dan yang terbaru adalah rezim Android dengan segala fitur gilanya yang sulit diterima nalar. Lalu saya tanamkan A kedua ke dalam diri saya: Aku. Aku yang bukan bermaksud untuk mejadikan diri saya menjadi Keakuan. Menurut saya Aku yang saya tanamkan dalam diri saya adalah jati diri, bentuk prinsip yang tak ingin digerus oleh peradaban. Lalu orang-orang menanggap saya kolot dan pada akhirnya saya divonis dewasa sebelum waktunya oleh teman-teman saya sendiri. Apakah sebuah kesalahan untuk menjadi tidak sama dengan orang lain? Pada akhirnya Si Kolot yang dianggap dewasa sebelum waktunya menjadi orang yang dipenuhi segala keluhan dari Si Trendy, dan juga dijadikan database jawaban untuk segala tanda tanya yang bertumpuk di kepala orang-orang yang menganggap dirinya modern. Tetapi yang dianggap kolot tetaplah seperti orang tua jompo, selalu ditinggal, tak pernah diajak, dan kadang seperti diasingkan. Baiklah, besok, lusa, minggu depan, atau dalam waktu yang tak terduga mungkin akan ada yang bertanya-tanya dalam hatinya bahwa siapa yang saya anggap Si Trendy?
A kedua sudah tertanam dalam diri saya, walaupun mungkin dalam kemasan berbeda karena improvisation selalu dibutuhkan untuk menyesuaikan keadaan. Karena pada titik akhir, saat seorang lelaki sudah tak memiliki apa pun, yang masih akan dipertanyakan adalah jati dirinya, saya yakin itu.
Jadi siapa yang bertanya-tanya tentang A yang terakhir? Karena A yang terakhir adalah Anda. Anda yang pernah hadir dalam hidup saya dan Anda yang belum hadir dalam hidup saya. Siapa pun Anda, karena setiap orang adalah pecahan dari bentuk lukisan nilai kehidupan saya (psyche). Dari Anda saya banyak belajar bahwa baik-buruk sudah mengalir dalam darah manusia, sama halnya dalam diri saya --- mengutip tweet Sudjiwo Tedjo. Lalu saya, Anda, dan segala macam toleransi yang harus dibangun ulang, mari kita bersulang untuk secawan tawa yang pernah bergeming.
...I'm trying to do that but it's difficult to control my emotions - Steven Gerard on Premier Leagues's title
Thanks for reading...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar