Tapikan beberapa waktu kebelakang aku lupa pada kopiku, mungkin itu sebabnya aku sering memakai kalungku dan duduk diambang pintu. Sekali waktu aku bisa saja gantung diri dengan kalungku dan mati. Tanpa kopi kematian jadi lebih sangat nyata berada nol derajat pada leherku. Nah mungkin itu sebabnya Joko Pinurbo menulis bait empat cangkir kopi sehari bisa menjauhkan kepala dari bunuh diri. Gimana enggak gitu, wong kalau sambil ngopi kematian seakan terlihat ada empat puluh lima derajat di depan mata. Walaupun empat puluh lima derajat itu dibangun dari titik nol, dan kematin memang tetap ada pada manusia, tapi jadi bisa lebih dinikmati saja bagaimana cara aku ingin mati. Waduh ngelantur ya ngomongin matematika sama mati.
Jangan takut aku mati, aku belum bercita-cita cepat mati kecuali mungkin Tuhan kasih surat panggilan lebih cepat dari yang aku bayangkan. Jangan takut aku tinggal mati, ini aku lagi menikmati kopi dan menatap caraku mati. Nah kan aku jadi teringat mendiang Steve Job gara-gara ngomongin mati. Aku tak pernah berpikir bahwa aku mengidolakan Steve Job. Well, cara dia menjadi seorang jenius mungkin sangat aku idam-idamkan ada pada diriku kelak jika aku menjadi seorang jenius. Selalu mengenakan jeans biru dan kaus lengan panjang ditambah sepatu sneakers, siapa sangka dia begitu jenius jika dia hanya orang biasa yang kamu temui di traffic light sambil menunggu lampu merah untuk menyebrang jalan. Tapi point pentingnya bukan pada cara dia berpakaian, point pentingnya adalah apa yang pernah dia ucapkan pada upacara wisuda di Stanford pada tahun 2005. Pada acara yang aku tak tahu kejadiannya, karena aku hanya membaca dari sebuah laman website, dia berkata (kurang lebih dalam Bahasa Indonesia), mengingat-ingat bahwa aku akan mati adalah hal yang paling penting yang pernah aku jumpai untuk membantuku membuat keputusan besar dalam hidup. Karena nyaris semuanya, semua harapan dari luar, semua kebanggaan, semua ketakutan dan rasa malu atau kegagalan, semuanya akan musnah di hadapan maut, menyisakan apa yang penting saja. Mengingat-ingat bahwa kita akan mati adalah cara terbaik yang aku tahu untuk terhindar dari perangkap bahwa kita akan kehilangan sesuatu. Kita semua telanjang. Tak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hatimu. Waktumu terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjadi orang lain. Jangan terjebak dengan dogma, yakni hidup dengan hasil pemikiran orang lain. Jangan biarkan riuhnya opini orang lain menenggelamkan suara hatimu. Wah hebat bukan kepalang kalimat itu, sampai sekarang masih selalu terngiang di dalam kepalaku yang keras ini. Nah terus aku lanjut minum kopi lagi sekarang. Kamu udah ngopi?
Tulisan ini aku buat ketika aku tak tahu lagi apa yang harus aku perbuat. Aku pikir sebentar lagi aku akan mati, karena seorang lelaki yang tak punya rencana lagi untuk hidupnya lebih baik meninggalkan hidupnya secepat mungkin. Tapi aku belum bercita-cita untuk cepat mati, maka aku membuat rencana minum kopi dan menulis cerita ini untuk menunda kematianku. Setidaknya aku masih punya rencana menikmati hidupku, walaupun pada akhirnya Tuhan-lah sebaik-baik pembuat rencana.
Mau aku tambah lagi ceritanya? Nanti kamu bosan lagi bacanya. Ya sudah aku akhiri saja ya. Selamat ngopi. Sontoloyo!
Thanks for reading...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar