Selasa, 14 Agustus 2012

Sepenggal Kisah Singkat

Aku lelaki yang baru akan menginjakan usianya di angka 20 tahun. Aku kadang bisa sangat menjadi dewasa, tapi akupun kadang tak ubahnya seperti anak remaja yang sedang puber. Labil dan tak menjadi aku dengan segala keegoisan dan pemikiran dewasanya.

Hanya satu orang yang mampu membuat aku menjadi lelaki labil. Dia; seseorang yang bolehlah jika aku menyebutnya mantan kekasihku. Sampai saat aku memvisualkan tulisan ini untuk kalian baca, dia adalah wanita terakhir yang pernah menjadi kekasihku.

Aku bisa jatuh cinta dengan wanita-wanita lainnya yang berkeliaran disana-sini. Tapi masih saja ada satu hal yang tak pernah aku mengerti. Ya, perasaanku kepadanya.

Tak ada satupun yang berubah dari perasaanku kepadanya. Aku seperti baik-baik saja dengannya. Sebelum semakin jauh aku bercerita, aku ingin menyampaikan pesan yang sangat penting untuk kalian. Aku sedang tidak menggalaukan tentang keadaan perasaanku. Aku hanya ingin mencari jawaban atas apa yang terjadi kepadaku.

Awal kisahku dengannya adalah ketika dengan kejamnya aku mengacuhkan kekasihku sebelum dia. Ia wanita dengan segala kualitas kewanitaan terbaik yang ada padanya. Hanya saja komunikasi kami sangatlah tidak efektif, sehingga terjadi kesalahan dalam penerjemahan kalimat ketika itu. Tiba-tiba dia datang, wanita yang aku ceritakan menjadi kekasih terakhirku. Dia datang membawa benih-benih segar untuk kutanam diantara taman cintaku. Tak kuasa menahan gejolak cinta yang semakin mendidih, akupun meninggalkan kekasihku saat itu. Aku sang nahkoda cinta, aku membelokan kapalku menuju pelabuhan baru yang sudah menantiku. Aku meninggalkan pelabuhan lamaku yang sudah lama pula menunggu kepulanganku. Aku menyakitinya dengan sangat kejam. Tanpa pisau kulukai ketulusannya, kutorehkan garis-garis kebencian dalam hatinya.

Hey..... Dunia ini milik kami, milik para lelaki, bisik keangkuhanku pada waktu itu.

Apakah cinta selalu kejam ?
Atau harga sebuah kebahagiaan harus selalu dibayar dengan luka ?
Itulah yang menjadi pertanyaan-pertanyaan yang saat ini menghantuiku setiap malam.

Oh ya kapalku. Kini kapalku sudah memiliki pelabuhan baru. Dia berikan aku cinta yang aku anggap utuh. Dia berikan aku segalanya; kehangatan, ciuman, pelukan, perhatian, ketakutan, bahkan amarah.

Awalnya semua baik-baik saja. Awalnya semua terasa sempurna. Tapi perlahan aku pikir semakin hari semakin terlihat ada sebuah perubahan yang signifikan pada kepribadianku. Entah bagaimana aku bisa menuliskannya disni, tapi pada kenyataannya aku menjadi seperti seseorang yang tak memiliki pendirian. Aku kehilangan segala keegoisanku, kehilangan semua sifat kedewaanku, dan masih banyak lagi yang aku tak mengerti bagaimana cara menuliskannya.

Sampai akhirnya pelabuhan baruku bosan. Kayu-kayunya mulai keropos. Tiang-tiangnya tak lagi tegap. Dia membuat aku terpaksa membawa lagi kapalku untuk berlayar. Menjauhi dermaga tempat bersandar. Perlahan aku semakin menjauh, dan sampai saat ini belum lagi menemukan pelabuhan baru.

Ketika malam datang aku seperti melihat lampu mercu suar yang berkerlip. Kupikir itu adalah kode morse yang memintaku untuk kembali. Aku mendekat, tapi ternyata disana sudah ada kapal lain yang bersandar. Di deramaga tempat dahulu aku bersandar.

Aku melihatnya dari kejauhan. Pelabuhan yang pernah memaksaku berlayar kini semakin dewasa, semakin cantik, semakin menjadi indah. Namun sayang kapal lain telah bersandar disana.

Hey lihatlah !
Karma tak pernah menunggu orang mati.

Dulu aku sering berlabuh disana-sini, tapi kini pelabuhan yang aku anggap indah dermaganya telah disandari kapal lain.

Akupun memutuskan untuk berlayar lagi, namun naas tak ada satupun pelabuhan yang sanggup membuatku menepi dan bersandar di dermaganya. Pelabuhan indah itu bukan alasanku untuk tidak bersandar di tempat lain. Tapi ada sesuatu, sesuatu yang ganjil, sesuatu yang aneh, sesuatu yang aku tak tahu apa itu. Mengganjal hati dan pikiran, menyangkal logika dan perasaan.

Aku buyar. Aku larut. Aku limbung. Aku tenggelam kedasar lautan. Seperti adunan oralit yang semakin menyatu dengan H2O. Aku hampir transparan tanpa sebuah warna, bahkan tak mampu bermimikri ketika berada di taman bunga.

Ada hasrat untuk kembali bercinta. Tapi seketika sirna ketika kubayangkan bagaimana jika nanti aku menyakiti wanita yang menjadi kekasihku lagi ?
Bagaimana jika akhirnya aku harus menerima karmaku lagi ?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja mendengung di gendang telingaku, seketika dihantarkan oleh nervus vestibulokoklearis ke sistem limbik pada bagian tengah otakku.

Lalu aku menjadi seperti seorang yang traumatik. Apakah mungkin aku phobia terhadap cinta ?
Phobia terhadap cinta ? Itu hanya nama penyakit yang aku karang saja dalam pikiranku. Aku yakin tak ada phobia macam itu.

Suatu hari nanti aku akan jatuh cinta lagi. Suatu hari nanti akan ada seseorang wanita lagi yang mengaku kekasihku. Ahh suatu hari nanti.......... Aku sudah tak sabar menanti suatu hari nanti.


Thanks for reading........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar