Minggu, 29 Desember 2013

Lagi-Lagi Wanita

Kunjungan terakhir ke Padepokan Zafar Arif 286, Bogor. Bukan berarti aku tidak akan berkunjung lagi, bukan. Seperti biasa silaturahmi disana selalu begitu menyenangkan. Bungkus-bungkus rokok mulai berserakan, tanda pengajian segera dimulai.

Aku selalu menikmati setiap helaan nafas diiringi asap rokok. Oksigen bercampur dengan karbon secara bersamaan. Entahlah jadi apa nantinya di dalam tubuhku. Semoga Tuhan selalu memberikan kesehatan kepadaku.

Point yang masih aku ingat betul adalah, bahwa wanita yang baik akan dijodohkan dengan lelaki yang baik. Lalu aku bertanya-tanya dalam hati dimana batas wanita bisa dianggap baik? Yang setiap pagi menyediakan kopi? Yang mampu mengerti pendapatan suami? Yang bisa masak makanan kesukaan suami?

Setelah itu beranjak ke point yang lebih tinggi tentang madrasatul'ula. Wanita sebagai seorang ibu bertanggung jawab penuh atas pendidikan bayi yang ada dalam kandungannya. Kelak apa pun yang wanita lakukan akan menentukan bagaimana si anak nantinya.

Bagaimana Imam Al Ghazali sanggup menghafal Al-qur'an diusia tujuh tahun, dan mampu menghafal ribuan kitab pada usia dua belas tahun? Ketika sahabat bertanya kepada beliau tentang kemampuannya: "Engkau hebat?" "Ibuku yang hebat." Jawab beliau.

Untuk takaran otak manusia sepertiku, terlalu banyak sekali hal-hal yang sulit dipahami. Setiap hari orang-orang menghasilkan anak yang kurang mendapatkan pendidikan semenjak di dalam rahim. Sekarang aku mulai mengerti wanita seperti apa yang layak dikategorikan baik.

Aku tidak pernah bermasalah dengan perkembangan teknologi, aku menikmatinya. Bagaimana gadget sanggup membantu sebagian kebutuhan manusia dalam beraktivitas. Oke, drama dimulai dari sini. Berapa banyak wanita yang sanggup membaca Al-qur'an dengan lancar beserta makhroj dan tajwid-nya? Bandingkan dengan berapa banyak wanita yang hafal dengan fasih-nya letak papan tombol qwerty pada gadget-nya?

Pernah terbayangkan akan seperti apa anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang fasih dengan tombol qwerty? Atau secerdas apa anak yang dilahirkan dari rahim seorang ibu yang gila mengkonsumsi layanan internet?

Berbicara tentang menambah ilmu pengetahuan. Jelas-jelas Al-qur'an sudah menyediakan semuanya. Mulai dari geografi, antropologi, sosiologi dan banyak lagi. Hanya sayangnya jangankan untuk mempelajari, kadang menyentuhnya pun hanya saat di bulan Ramadhan. Itu pun jika sedang tak ada kegiatan. Astagfirullah.

Aku tak pernah menyalahkan fenomena menggilanya pemakaian gadget dan internet. Aku termasuk salah satu korban fenomena tersebut. Menggumam di twitter, upload foto di instagram, berbagi moment di path, atau chatting via bbm, whatsapp, line dll. Selain makan sehari tiga kali, pemakaian internet menjadi salah satu kebututuhan pokok saat ini.

Bukankah pada awalnya peluncuran personal digital assistant adalah sebagai alat pembantu pemenuhan kebutuhan konsumen? Tapi pada kenyataannya sekarang ini terlalu banyak orang-orang yang bahkan dibuat budak oleh si assistant.

Mari salahkan diri sendiri. Jangan berpikir Yahudi terlalu pintar untuk menghancurkan aqidah akhlaq anak adam dengan tekhnologi. Kita lah yang kurang cerdas untuk membagi porsi.

Sudah mendapatkan hasil berapa perbandingan wanita yang mampu membaca Al-qur'an beserta makhroj dan tajwid dengan wanita yang hafal dan fasih letak papan tombol qwerty? Nampaknya hal itu sulit sekali untuk dijadikan perbandingan.

Aku tak pernah bermaksud menghakimi wanita. Tapi kelak, insya Allah jika panjang umur dan dikarunia oleh Allah, anak-anakku dan anak-anak kalian akan dilahirkan dari rahim seorang wanita, bukan pria. Maka untuk hal ini wanita bertanggung jawab penuh atas si anak setelah pria mencari nafkah yang hallal untuknya.

Lihatlah dengan mata kepala sendiri. Lihatlah senyum orang tua melihat kita bangun dari atas sajadah, bandingkan dengan seramnya picingan mata mereka setelah kita berlama-lama di depan komputer.

Terimakasih ibu. Terimakasih untuk seluruh ibu yang telah mendidik anak-anaknya dengan penuh ketaqwaan. Terimakasih untuk ibu yang rela menghabiskan hampir seluruh suaranya demi membangunkan anaknya sholat subuh. Terimakasih untuk seluruh ibu atas jasa-jasanya membangun fondasi yang baik untuk keimanan anak-anaknya.

Jika berbicara tentang jodoh mungkin kita tak akan sanggup untuk mengutak-ngatik kekuasaan Allah. Bercerminlah, kurang lebih seperti itu lah kelak seseorang yang akan menjadi jodoh kita, dan seperti itu lah kelak anak yang akan dihasilkan olehnya.
























Thanks for reading....

Sabtu, 21 Desember 2013

Teori Jatuh Cinta

Aku sering bertanya-tanya pada diriku sendiri tentang putaran waktu, imajinasi, logika geometri, psikologi, puisi, Hukum Newton dan hal-hal yang banyak berjejalan di dalam kepalaku. Ingin sekali rasanya menuangkan semua itu ke dalam sebuah cawan agar isi kepalaku kosong dan dapat berdamai dengan diriku sendiri. Kata-kata yang berderet ini tak pernah cukup dan bebas untuk berucap. Ada sesuatu yang bernama etika untuk dijaga, sesuatu yang selalu menjadi batas dan membatasi untuk dapat mengeksploitasi isi kepala.

Kehidupan ini adalah sanggar terbesar yang Tuhan ciptakan. Aku masih tak habis pikir tentang skenario semesta yang Tuhan tuliskan. Untuk sebuah niatan yang belum dipersiapkan dan keteguhan yang belum menemui titik pangkal. Aku seperti terombang-ambing di atas keinginanku sendiri. Sewaktu-waktu bisa limbung karena angin yang hilir mudik menerpa layar yang sudah berkibar. Tapi seperti yang Alan Watts katakan, Orang yang tulus adalah orang yang tahu dia memainkan adegan besar dan memainkannya dengan sungguh-sungguh.

Dihadapan secangkir kopi yang rela menemani pagi. Aku memutar-memutar lagi imajinasiku dan membongkar lipatan-lipatan waktu. Ajaibnya waktu, sesuatu yang biasa saja bisa diubahnya menjadi istimewa. Seperti ketuk sepatu yang setiap pagi aku tunggu-tunggu, atau riuhnya hujan yang selalu meninggalkan puisi-puisi yang mulai terasa hambar.

Aku tertegun disini, disuatu pagi yang meninggalkan jejak embun semalam di atas daun talas. Setetes embun yang gugup dan malu-malu. Tak tahu harus kemana. Tak pernah menolak mengikuti gerak. Ikhlas, sampai burung gereja datang meneguknya tak tersisa.

Aku meratapi diriku sendiri. Ingin rasanya sangat mengerti apa yang sedang terjadi, sampai-sampai aku kembali mempelajari hukum newton tentang mekanika klasik. Bagaimana gaya aksi-reaksi mempunyai besaran yang sama pada arah terbalik dan segaris.

Dimana benda A yang memberikan gaya sebesar F kepada benda B yang juga akan memberikan gaya sebesar -F kepada benda A. Hukum Newton Tiga itu terdengar sangat romantis. Apa yang kita berikan kepada orang lain akan dikembalikan lagi kepada kita, karena F dan -F mempunyai nilai yang sama, hanya saja arahnya yang berbeda. Jika saja memang benar seperti itu kenyataannya.

Hidup bukan hanya tentang aksi-reaksi, tapi hidup adalah lingkaran karma dan kodrat. Bagaimana Tuhan menentukan dan menggabungkan titik-titik tak terhingga agar saling terhimpit sampai menjadi sebuah garis. Lalu menghubungkan titik-titik tersebut dengan sebuah garis hingga menjadi sebidang lingkaran kehidupan.

Kepalaku semakin sesak dengan teori logika geometri dan Hukum Newton Tiga yang mulai semakin gila menjajah otakku. Semua kerumitan tentang teori itu tak lebih hanya untuk merumuskan apa yang orang-orang sebut perasaan. Tapi tak pernah cukup, tak pernah merasa puas dengan segala hukum-hukum dan logika yang ada.

Cinta, cinta, cinta, berapa juta kata yang sudah orang-orang rumuskan untuk hal itu? Untuk seseorang yang baru aku kenal. Untuk seutas senyum di bawah tangga. Untuk langkah sepatu yang aku tunggu-tunggu. Aku memvonis diriku sudah jatuh cinta pada wanita yang selalu sudi menyisihkan waktunya untuk ayat-ayat Al-qur'an. Pada wanita yang menjaga dirinya dengan berhijab.

Semuanya selalu indah untuk sekedar melihat. Selalu lebih mudah untuk tersenyum daripada berkata-kata. Rasa malu-malu yang tiba-tiba saja selalu ada dan entah dari mana asalnya. Kupandangi dia dengan pandangan kagum yang tak pernah lindap dalam hatiku sejak pertama kali bertemu. Ternyata tinggi badanku sedikit lebih tinggi darinya.

Pada saat ini aku tersadar. Semua teori-terori yang aku pelajari. Semua kata-kata rumit yang membuat aku berpikir keras dari pagi sampai malam hari adalah untuk ini. Untuk memvonis diriku sendiri telah jatuh cinta.



















Thanks for reading...

Kamis, 19 Desember 2013

Memintal Kata

Selalu sangat sulit untuk hanya diam dan tidak berucap. Padahal suaraku sendiri tak lebih baik dari kucing tua yang hampir mati kelaparan ditepi jalan. Selalu menjadi rumit untuk sekedar mendengarkan. Padahal jelas-jelas agama tidak mengajarkan perdebatan. Dan selalu sulit untuk menjaga kata. Padahal telah nyata mulut dapat mencengkram tuannya.

Ingin sekali rasanya memintal kata dikerongkongan. Takut-takut salah mengucap dan melukai perasaan. Tapi bahayanya lidah adalah walaupun sudah dipagari oleh gigi dan bibir tetap saja liar dan selalu berontak. Mengeluarkan banyak asumsi tanpa batas padahal hanya memiliki ilmu yang terbatas. Lalu berkelit membela diri karena tak sanggup menelan liur yang bergumul dipangkal lidah.

Talk less do more, aku yakin semua orang tahu kalimat dari iklan rokok di televisi itu. Aku bangga jadi perokok atas hal ini, karena tak ada iklan rokok yang mengajarkan merokok. Coba tengok televisi, semua iklan rokok berisi pesan moral. Tapi kenapa banyak wanita lebih suka bau deodoran daripada bau asap rokok? Tak lihatkah di televisi kalau iklan deodoran hanya memberimu ketiak? Tak lebih! Itu sebabnya aku tak pernah mau pakai deodoran. Tak bermartabat memperlakukan ketiak seperti itu, karena ketiak punya hak untuk bersembunyi dan menyembunyikan.

Ingin rasanya menyumbat kepala yang penuh tanda tanya. Untuk sejenak berhenti dan sekejap diam. Menggagalkan semua lupa untuk tidak terlalu banyak bertanya. Membekukan kata untuk menghentakan jari-jari agar bekerja.

Aku sangat ingin tahu seberapa banyak syaraf yang menyokong seperangkat mulut. Sejuta? Seratus juta? Satu miliar? Sejuta triliun? Aku tak bisa bayangkan seberapa banyak syaraf yang mengendalikan mulut. Sampai-sampai sepuluh jari bisa terkalahkan oleh satu mulut yang bahkan tak bisa berdamai dengan krupuk. Kenapa berbicara selalu lebih menyenangkan daripada bekerja? Padahal tak ada hal yang lebih banyak berbicara yang Tuhan ciptakan selain Al-qur'an. Al-qur'an mengabarkan semua kebenaran. Mengabarkan kebaikan untuk pembacanya, dan mengingatkan keburukan yang tak boleh dilakukan. Itu lah Al-qur'an yang selalu berbicara kebenaran tentang umat terdahulu agar kita belajar dari mereka.

Aku menjenguk waktu yang telah berlalu. Semenjak aku lahir sampai bisa menulis kata-kata ini. Berapa banyak sudah aku khatam Al-qur'an? Sekali? Dua kali? Sepuluh kali? Lima belas kali? Mungkin belum sekali pun. Padahal sewaktu-waktu umur bisa tiba-tiba kahatam. Padahal kematian diam-diam sedang mengintai. Padahal ajal siap menjemput walau berlindung dibalik benteng yang paling tinggi dan kokoh sekali pun. Tapi bacalah, walaupun sedikit demi sedikit. Karena amalan yang dilakukan secara rutin walaupun tak banyak, insha Allah, akan diperhitungkan di yaumul nizam kelak sebagai timbangan kebaikan.

Dari sekulah wudhu yang membersihkan diri. Untuk sajadah kusam yang selalu ikhlas menapang diri, dan rentetan tasbih yang menggeliat-geliat manja di antara jemari. Aku temukan diriku sedang berusaha menjahit bibir dengan zikir. Untuk menjaga agar kata yang terucap dapat terjaga. Aku akan berusaha, menugaskan jari-jariku agar mau bekerja dan membantu sesama. Maka jika diantara kalian ada yang merasa dirugikan olehku katakanlah. Aku takut keuntunganku dapat merugikan diriku sendiri suatu saat nanti.













Tak pernah ada yang lebih dekat kecuali kematian, dan tak ada yang lebih diam-diam memeluk selain kematian.





















Thanks for reading... 

Minggu, 15 Desember 2013

Permata Malam

Di dalam ruangan 2x2 yang gelap dan mulai terasa pengap. Aku duduk disana seorang diri dan mulai terkantuk-kantuk. Mematung tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Membisu karena tak boleh ada kata yang diucapkan. Mataku mulai berair menahan dua daun jendela yang minta beristirahat. Tapi tak boleh tidur disana. Aku bertahan sampai harus menguap berkali-kali menahan kantuk yang sialnya makin menjajah mataku.

Aku harus bertahan pikirku. Ketika masuk aku tekadkan hati untuk keluar dengan kelulusan, bukan kegagalan. Aku sudah berusaha berminggu-minggu melawan ketakutanku. Aku tak sudi keluar dengan cap gagal. Di dalam ruangan sempit, lembab dan gelap itu aku mencoba meneguhkan diri, bahwa tak ada yang harus ditakuti kecuali ketakutan itu sendiri.

Ketakutan-ketakutan yang aku bayangkan berulang kali tertunduk malu menghampiriku. Aku sudah dipagari benteng keberanian dengan mengikhlaskan diri pada Tuhan. Ketakutan itu sudah bisa kuatasi dengan baik. Hanya satu yang masih sangat sulit untuk aku atasi, rasa kantuk yang semakin memasung diriku di dalam kegelapan. Ternyata benar teoriku tentang membatasi diri sendiri selalu lebih sulit daripada melawan orang lain. Aku sudah sangat tak bisa diam dengan melakukan gerakan-gerakan kecil untuk menahan kantukku. Mencubiti diri sendiri, memelek-melekan mata, bergeser tempat dan gaya duduk. Bahkan rasanya ingin sekali memukul-mukul bak mandi agar aku lupa caranya mengantuk. Aku masih belum bisa bayangkan bagaimana jika aku tertidur di dalam sana. Mungkin aku akan menjadi satu-satunya orang waras yang bertindak sinting dengan cara tidur di kamar mandi.

Beruntung lampu dinyalakan sebelum aku terkapar di dalam sana. Tingkat kantukku sudah diambang garis akhir, tapi herannya kenapa rasa kantuk itu malah hilang setelah aku keluar dari sana.

Tak usah membuang-buang waktu untuk coba mengerti apa yang baru aku ceritakan. Tak ada gunanya, sampai otak kalian mengerahkan semua kepintarannya aku yakin kalian masih tak sanggup mengerti. Itu rahasia antara aku dan kongsi-kongsiku. Jangan harap bisa mengerti jika tidak termasuk dalam kongsiku.

Ini semua sebenarnya bukan tentang aku. Bukan tentang ruangan 2x2 yang gelap. Bukan tentang mata yang terkantuk-kantuk. Ini tentang permata di malam hari. Permata yang baru aku temukan. Permata yang memancarkan cahaya kekaguman.

Derap langkah yang terburu-buru di dalam koridor selalu terdengar merdu ditelinga. Ini adalah kehebatan telinga mengkonversi suara, atau jangan-jangan bagian tak warasku yang mengindahkan setiap kelakuannya.

Taqwakan lah dirimu, agar Tuhan mentaqwakan jondohmu. Jangankan jodoh, masih dalam proses mentaqwakan diri saja aku sudah dipertemukan dengan seseorang yang sangat bertaqwa. Aku girang bukan kepalang, tapi tak sampai hati untuk salto dan bilang wow atas kegiranganku. Untuk bagian ini aku masih sangat waras. Aku tak bisa salto. Aku pernah mencobanya sekali dan tak mau mengulanginya lagi seumur hidupku. Salto di atas matras dan jatuh kepala terlebih dahulu sebagai tumpuan. Selama lima menit aku tak bisa berdiri karena tulang serasa terpisah semua. Tak bisa membuka mata selama satu menit. Aku dibayar berapa pun tak mau bermain-main lagi dengan hal yang mendekati kematian itu. Percayalah, nikmat berdiri dan melihat yang Tuhan berikan itu tiada bandingannya, tapi sayang kita sering lupa mensyukurinya.

Orang yang kukatakan bertaqwa tersebut adalah orang yang mengucapkan kalimat itu---Taqwakanlah dirimu agar Tuhan mentaqwakan jodohmu. Seseorang yang kini kusebut permata malam sesuai dengan namanya. Belum lah aku berpikir tentang jodoh. Aku tak mau mencampuri urusan Tuhan. Biarlah aku pasrahkan padaNya, aku yakin semuanya akan beres sesuai dengan kekuasaanNya mengatur takdir.

Aku percaya bahwa takdir Tuhan selalu penuh dengan kejutan. Kejutan adalah suatu hal yang jarang sekali aku dapatkan kecuali dari Tuhan. Kadang aku harus gugup selama berminggu-minggu untuk menunggu kejutan dari Tuhan. Aku keranjingan kejutan yang Tuhan berikan. Aku yakin Tuhan sangat menyayangiku, maka dari itu Tuhan selalu senang memberiku kejutan. Bahkan permata malam itu sendiri adalah kejutan yang sangat indah yang Tuhan berikan.

Kini aku sedang mencoba mengenali permata itu. Permata yang Tuhan ciptakan dengan segala keindahannya. Jika boleh dinamai, mungkin ini lah yang disebut proses ta'aruf.












Jangan mengaku jatuh cinta, jika belum merasa gila karena menertawai diri sendiri.












 Thanks for reading...

Jumat, 13 Desember 2013

Keajaiban Takdir Tuhan

Jika ada orang yang patut dikasihani itu adalah aku. orang yang pernah merasa hidupnya paling beres padahal untuk mandi dua hari sekali saja harus menungguku ibuku mengomel selama satu jam tanpa henti. Bisa dibayangkan, bagaimana aku bisa merasa hidupku paling beres dan benar sementara setiap selesai mandi aku harus berpikir keras  selama lebih dari satu menit untuk menentukan bagian depan celana dalamku.

Hal-hal macam itu memang masih kerap terjadi. Tapi aku pikir itu tak lebih buruk daripada aku harus berpura-pura sakit hanya untuk tidak melaksanakan sholat ashar. Aku pernah melakukannya sampai-sampai aku kapok untuk mengulanginya lagi. Perbuatan laknat itu terjadi ketika aku masih tinggal di Pondok Pesantren. Berpura-pura sakit untuk tidak melaksanakan sholat ashar dan merasa hidup sudah paling beres? Aku memang benar-benar sangat munafik. Keesokan harinya aku sakit betulan gara-gara penyakit hati kategori malas itu. Tak enak makan dan tak enak tidur sampai tiga hari berturut-turut. Aku tak mau lagi berpura-pura sakit untuk perkara sholat.

Tapi ada satu hal yang masih belum bisa aku bayangkan sampai saat ini. Bagaimana jika saat itu aku berpura-pura tidur untuk menghidari sholat? Mungkin aku akan terbangun di dalam liang lahad yang gelap gulita melebihi penjara tikus yang penjahat kelas kakap dan orang sinting akut pun tak sudi untuk tidur di dalamnya. Ditemani dua malaikat yang siap mengintrogasi segala yang aku pernah perbuat. Jika tertangkap basah berbohong aku yakin aku akan disiksa dengan siksaan yang paling kejam melebihi kursi listrik untuk membunuh tersangka terosis. Tapi kemungkinan berbohong di dalam liang lahad mungkin tidak ada. Beruntunglah karena yang akan menjawab setiap pertanyaan malaikat adalah tangan dan kaki kita. Tuhan sudah mengantisipasinya sejak awal. Mungkin malaikat pun bisa kita bohongi jika mulut yang menjawab pertanyaan-pertanyaanya. Tapi apakah yang kita perbuat di dunia ini mampu menyelamatkan kita dari siksa kubur?

Waktu yang terus bergerak tak dapat disangkal untuk dijadikan alat berontak. Aku harus berevolusi, memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik. Tapi tidak berevolusi seperti negeri ini! Semakin ditekankan kata evolusi semakin borok dan hampir bobrok gara-gara orang-orang goverment yang berjanji akan memperbaiki kesejahteraan negeri ini.

Aku sudah melupakan cara untuk merasa paling beres. Semenjak aku digilas habis-habisan oleh mahluk ciptaan Tuhan yang tak pernah aku tahu seperti apa rupanya. Kebusukan-kebusakanku dihidangkan di depan mataku sebagai perjamuan, dijadikan hidangan setiap terjadi perbincangan. Aku dipaksa menelan 'bangkai' yang aku kubur dalam-dalam. Tapi karena semua itu, karena 'bangkai' yang dihidangkan itu aku sadar, bahwa aku tak lebih baik dari sebuah bangkai!

Takdir-takdir Tuhan yang selalu penuh dengan kejutan mengantarkanku pada banyak perubahan. Penyakit-penyakit hati yang selalu menggerogoti diri kini mulai terobati. Perlahan tapi pasti, aku coba lagi mendaki bukit-bukit keagungan Tuhan. Di dalam pendakian ini aku temukan berbagai macam hal, dan dari pendakian ini aku temui petunjuk-petunjuk pembenaran hidup. Tapi bukan pembenaran yang membuatku merasa paling benar atau merasa paling beres. Pembenaran yang membenarkan bahwa aku hanyalah seorang manusia lemah yang masih sangatlah remeh untuk merasa paling benar. Aku masih harus terus belajar untuk mendalami pengetahuan-pengetahuan dan keimananku yang dangkal. Mencoba peka dengan mau menerima apa yang orang-orang sampaikan. Mengambil suatu kebaikan bahkan yang timbul dari perbuatan yang tak mengenakan.

Sedikit-sedikit aku mulai mengerti dengan cara memahami diagram-diagram kehidupan yang aku pelajari, bahwa suatu niatan akan menyandarkan kita pada pelabuhan yang kita impikan. Penyakit-penyakit hati yang timbul karena keegoisan diri sendiri sesungguhanya hanya akan merugikan diri sendiri dengan tenggelam di dalamnya.

Tentang keajaiban takdir Tuhan. Aku belum berhenti mengaguminya, bagaimana cara Tuhan mengatur segala kerunyaman-kerunyaman hambanya? Membalikan, mempertemukan, menggagalkan, menunda, aih semua itu selalu membuat aku terlena di dalam keindahan suratanNya. Dihadapkan dengan mahluk ciptaan Tuhan yang tak pernah aku tahu seperti apa rupanya, tak tahu asal muasalnya dan kadang selalu menjadi tanda tanya, itu adalah keajaiban pertama yang aku dapat. Dari kalimat-kalimat yang bertubi-tubi menjatuhkanku dari tempat aku berdiri, lalu berubah menjadi amalan-amalan yang mendudukanku pada kursi penghambaan yang tingkat-meningkat menuju puncak kehidupan dibawah takdir Tuhan.

Keajaiban itu belum berakhir dan tak pernah berakhir. Masih saja Tuhan memberikan kejutan yang indah untukku. Padahal aku tak lebih dari seorang hamba yang berlumur dosa dan berjubah khilaf. Ya Allah, berilah ampunan untukku yang terlalu sering melupakanmu.

Terimakasih Tuhan, terimakasih. Ucapku pada suatu malam di atas kain sulam yang mulai lusuh menapang diriku. Aku harus selalu bersyukur karena masih ada yang mau mengingatkan ketika aku buta akan penglihatan. Terimakasih Tuhan, terimakasih. Kataku dalam hati ketika aku bertatapan dengan seseorang yang membangkitkan kekaguman. Seseorang yang berdiri tegak lurus ketika yang lainnya mulai menyimpang. Seseorang yang masih mau mengajarkan mengaji ketika yang lain sibuk bersolek diri. Seseorang yang mengingatkan yasinan ketika yang lain terbiasa mengucapkan jangan lupa makan. Padahal aku pasti makan jika perutku lapar, aku tak bodoh untuk menyiksa diriku sendiri untuk kelaparan. Terimakasih Tuhan, terimakasih. Untuk mempertemukanku dengan sepasang mata yang penuh cahaya itu. TakdirMu selalu memberikan keajaiban.


























Sajadah-sajadah yang lusuh tertimpa tetes air dari situ yang menggantung di muka. Ya Allah aku berserah diri untuk menjadi hambamu. Berikanlah ampunan untukku yang terlalu sering meninggalkanmu. Amin Allahuma Amin...






















Thanks for reading....


 


Selasa, 03 Desember 2013

Senyum Kecil yang Belum Usai

Apa ada yang lebih dinantikan selain Desember? Apa ada yang lebih dinantikan selain libur Chrismast dan New years? Manusia-manusia seperti kita selalu menantikan waktu untuk berleha-leha, padahal kita tak pernah tahu kapan waktu kita akan habis. "Cuma waktu yang kita miliki." Begitulah kalimat yang pernah kubaca dari kisah seseorang yang berjuang melawan kanker dihadapan kalender dan jam dinding yang berwujud seperti Malaikat Pencabut Nyawa untuknya. Waktu seperti kepingan-kepingan mozaik untukku. Kepingan-kepingan yang terangkai seperti muatan atom dan menjadikan siapa aku saat ini.

Aku masih sangat ingat Desember setahun yang lalu. Senyum yang tersungging tatkala kata terjegat ditenggorokan. Gelak-gelak tawa pengisi lelucon hampa untuk memenuhi waktu yang berjalan begitu cepat dan tak dapat ditangkap logika. Suara gembok yang beradu dengan pagar dipelataran rumah. Eratan lapar dari dalam kerangkeng kecil di depan jendela. Lukisan bisu di atas kepala yang menjadi mata-mata. Jejeran foto di sudut meja yang merekam setiap canda. Pelukan yang mencoba memberikan kenyamanan saat gigil menyergap. Tatapan mata yang menyatu dan hampir-hampir tak sadarkan diri diruang tamu sampai tamparan mengenyahkan semuanya. "Sudah waktunya sholat jum'at!" Gerutumu waktu itu. Ahh, secepat itukah semua berlalu? Secepat diam yang melampui kecepatan cahaya. Tapi aku masih belum lupa. Blaaaah!

Aku bersungut-sungut mengumpat diriku. Menggugat waktu yang telah berlalu. Menatap angkuhnya penyesalan yang berdiri mengangkang dan bertolak pinggang. Bagaimana bisa melupakan, sementara belum pernah mengungkapkan? Batu yang bisu pun tahu bagaimana cara merayu empu untuk menjadikannya Pengikat kalbu. Aku bukan batu, tapi lebih bisu dan dungu sampai hampir kehabisan waktu.

Desember sudah dimulai lagi dengan cara yang berbeda. Aku lebih suka tertawa-tawa dengan diriku sendiri untuk hanya diam, padahal senyum kecilku diperjalanan menuju mesjid waktu itu belum usai. Tak ada lagi mata yang saling bertatapan. Kini yang aku temui hanyalah sepasang mata yang diam-diam mencuri pandang. Gembok yang menggantung indah di balik pagar pasti merindukan tanganku yang memperlakukannya dengan kasar ketika hendak bertamu. Lukisan dan jejeran foto, apa kabar? Masih disanakah kalian? Tiga betina yang selalu lapar di dalam kerangkeng besi, sudah makankah kalian? 

Memutar album lama tak akan pernah ada habisnya. Melodi-melodi sendu yang sudah kukitabkan dalam partitur terlalu mengerikan untuk kembali dimainkan. Biarkan semuanya lenyap, seperti senyap deru langkah yang lupa berdiri tegap. Waktu yang ada kini adalah sisa harta yang paling berharga. Sekeping waktu yang pernah berlalu biar melengkapi potongan mozaik lainnya.

Desember, Desember, mari kita ciptakan lagi lagu dengan nada yang berbeda.














Thanks for reading