Hal-hal macam itu memang masih kerap terjadi. Tapi aku pikir itu tak lebih buruk daripada aku harus berpura-pura sakit hanya untuk tidak melaksanakan sholat ashar. Aku pernah melakukannya sampai-sampai aku kapok untuk mengulanginya lagi. Perbuatan laknat itu terjadi ketika aku masih tinggal di Pondok Pesantren. Berpura-pura sakit untuk tidak melaksanakan sholat ashar dan merasa hidup sudah paling beres? Aku memang benar-benar sangat munafik. Keesokan harinya aku sakit betulan gara-gara penyakit hati kategori malas itu. Tak enak makan dan tak enak tidur sampai tiga hari berturut-turut. Aku tak mau lagi berpura-pura sakit untuk perkara sholat.
Tapi ada satu hal yang masih belum bisa aku bayangkan sampai saat ini. Bagaimana jika saat itu aku berpura-pura tidur untuk menghidari sholat? Mungkin aku akan terbangun di dalam liang lahad yang gelap gulita melebihi penjara tikus yang penjahat kelas kakap dan orang sinting akut pun tak sudi untuk tidur di dalamnya. Ditemani dua malaikat yang siap mengintrogasi segala yang aku pernah perbuat. Jika tertangkap basah berbohong aku yakin aku akan disiksa dengan siksaan yang paling kejam melebihi kursi listrik untuk membunuh tersangka terosis. Tapi kemungkinan berbohong di dalam liang lahad mungkin tidak ada. Beruntunglah karena yang akan menjawab setiap pertanyaan malaikat adalah tangan dan kaki kita. Tuhan sudah mengantisipasinya sejak awal. Mungkin malaikat pun bisa kita bohongi jika mulut yang menjawab pertanyaan-pertanyaanya. Tapi apakah yang kita perbuat di dunia ini mampu menyelamatkan kita dari siksa kubur?
Waktu yang terus bergerak tak dapat disangkal untuk dijadikan alat berontak. Aku harus berevolusi, memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik. Tapi tidak berevolusi seperti negeri ini! Semakin ditekankan kata evolusi semakin borok dan hampir bobrok gara-gara orang-orang goverment yang berjanji akan memperbaiki kesejahteraan negeri ini.
Aku sudah melupakan cara untuk merasa paling beres. Semenjak aku digilas habis-habisan oleh mahluk ciptaan Tuhan yang tak pernah aku tahu seperti apa rupanya. Kebusukan-kebusakanku dihidangkan di depan mataku sebagai perjamuan, dijadikan hidangan setiap terjadi perbincangan. Aku dipaksa menelan 'bangkai' yang aku kubur dalam-dalam. Tapi karena semua itu, karena 'bangkai' yang dihidangkan itu aku sadar, bahwa aku tak lebih baik dari sebuah bangkai!
Takdir-takdir Tuhan yang selalu penuh dengan kejutan mengantarkanku pada banyak perubahan. Penyakit-penyakit hati yang selalu menggerogoti diri kini mulai terobati. Perlahan tapi pasti, aku coba lagi mendaki bukit-bukit keagungan Tuhan. Di dalam pendakian ini aku temukan berbagai macam hal, dan dari pendakian ini aku temui petunjuk-petunjuk pembenaran hidup. Tapi bukan pembenaran yang membuatku merasa paling benar atau merasa paling beres. Pembenaran yang membenarkan bahwa aku hanyalah seorang manusia lemah yang masih sangatlah remeh untuk merasa paling benar. Aku masih harus terus belajar untuk mendalami pengetahuan-pengetahuan dan keimananku yang dangkal. Mencoba peka dengan mau menerima apa yang orang-orang sampaikan. Mengambil suatu kebaikan bahkan yang timbul dari perbuatan yang tak mengenakan.
Sedikit-sedikit aku mulai mengerti dengan cara memahami diagram-diagram kehidupan yang aku pelajari, bahwa suatu niatan akan menyandarkan kita pada pelabuhan yang kita impikan. Penyakit-penyakit hati yang timbul karena keegoisan diri sendiri sesungguhanya hanya akan merugikan diri sendiri dengan tenggelam di dalamnya.
Tentang keajaiban takdir Tuhan. Aku belum berhenti mengaguminya, bagaimana cara Tuhan mengatur segala kerunyaman-kerunyaman hambanya? Membalikan, mempertemukan, menggagalkan, menunda, aih semua itu selalu membuat aku terlena di dalam keindahan suratanNya. Dihadapkan dengan mahluk ciptaan Tuhan yang tak pernah aku tahu seperti apa rupanya, tak tahu asal muasalnya dan kadang selalu menjadi tanda tanya, itu adalah keajaiban pertama yang aku dapat. Dari kalimat-kalimat yang bertubi-tubi menjatuhkanku dari tempat aku berdiri, lalu berubah menjadi amalan-amalan yang mendudukanku pada kursi penghambaan yang tingkat-meningkat menuju puncak kehidupan dibawah takdir Tuhan.
Keajaiban itu belum berakhir dan tak pernah berakhir. Masih saja Tuhan memberikan kejutan yang indah untukku. Padahal aku tak lebih dari seorang hamba yang berlumur dosa dan berjubah khilaf. Ya Allah, berilah ampunan untukku yang terlalu sering melupakanmu.
Terimakasih Tuhan, terimakasih. Ucapku pada suatu malam di atas kain sulam yang mulai lusuh menapang diriku. Aku harus selalu bersyukur karena masih ada yang mau mengingatkan ketika aku buta akan penglihatan. Terimakasih Tuhan, terimakasih. Kataku dalam hati ketika aku bertatapan dengan seseorang yang membangkitkan kekaguman. Seseorang yang berdiri tegak lurus ketika yang lainnya mulai menyimpang. Seseorang yang masih mau mengajarkan mengaji ketika yang lain sibuk bersolek diri. Seseorang yang mengingatkan yasinan ketika yang lain terbiasa mengucapkan jangan lupa makan. Padahal aku pasti makan jika perutku lapar, aku tak bodoh untuk menyiksa diriku sendiri untuk kelaparan. Terimakasih Tuhan, terimakasih. Untuk mempertemukanku dengan sepasang mata yang penuh cahaya itu. TakdirMu selalu memberikan keajaiban.
Sajadah-sajadah yang lusuh tertimpa tetes air dari situ yang menggantung di muka. Ya Allah aku berserah diri untuk menjadi hambamu. Berikanlah ampunan untukku yang terlalu sering meninggalkanmu. Amin Allahuma Amin...
Thanks for reading....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar