Kamis, 19 Desember 2013

Memintal Kata

Selalu sangat sulit untuk hanya diam dan tidak berucap. Padahal suaraku sendiri tak lebih baik dari kucing tua yang hampir mati kelaparan ditepi jalan. Selalu menjadi rumit untuk sekedar mendengarkan. Padahal jelas-jelas agama tidak mengajarkan perdebatan. Dan selalu sulit untuk menjaga kata. Padahal telah nyata mulut dapat mencengkram tuannya.

Ingin sekali rasanya memintal kata dikerongkongan. Takut-takut salah mengucap dan melukai perasaan. Tapi bahayanya lidah adalah walaupun sudah dipagari oleh gigi dan bibir tetap saja liar dan selalu berontak. Mengeluarkan banyak asumsi tanpa batas padahal hanya memiliki ilmu yang terbatas. Lalu berkelit membela diri karena tak sanggup menelan liur yang bergumul dipangkal lidah.

Talk less do more, aku yakin semua orang tahu kalimat dari iklan rokok di televisi itu. Aku bangga jadi perokok atas hal ini, karena tak ada iklan rokok yang mengajarkan merokok. Coba tengok televisi, semua iklan rokok berisi pesan moral. Tapi kenapa banyak wanita lebih suka bau deodoran daripada bau asap rokok? Tak lihatkah di televisi kalau iklan deodoran hanya memberimu ketiak? Tak lebih! Itu sebabnya aku tak pernah mau pakai deodoran. Tak bermartabat memperlakukan ketiak seperti itu, karena ketiak punya hak untuk bersembunyi dan menyembunyikan.

Ingin rasanya menyumbat kepala yang penuh tanda tanya. Untuk sejenak berhenti dan sekejap diam. Menggagalkan semua lupa untuk tidak terlalu banyak bertanya. Membekukan kata untuk menghentakan jari-jari agar bekerja.

Aku sangat ingin tahu seberapa banyak syaraf yang menyokong seperangkat mulut. Sejuta? Seratus juta? Satu miliar? Sejuta triliun? Aku tak bisa bayangkan seberapa banyak syaraf yang mengendalikan mulut. Sampai-sampai sepuluh jari bisa terkalahkan oleh satu mulut yang bahkan tak bisa berdamai dengan krupuk. Kenapa berbicara selalu lebih menyenangkan daripada bekerja? Padahal tak ada hal yang lebih banyak berbicara yang Tuhan ciptakan selain Al-qur'an. Al-qur'an mengabarkan semua kebenaran. Mengabarkan kebaikan untuk pembacanya, dan mengingatkan keburukan yang tak boleh dilakukan. Itu lah Al-qur'an yang selalu berbicara kebenaran tentang umat terdahulu agar kita belajar dari mereka.

Aku menjenguk waktu yang telah berlalu. Semenjak aku lahir sampai bisa menulis kata-kata ini. Berapa banyak sudah aku khatam Al-qur'an? Sekali? Dua kali? Sepuluh kali? Lima belas kali? Mungkin belum sekali pun. Padahal sewaktu-waktu umur bisa tiba-tiba kahatam. Padahal kematian diam-diam sedang mengintai. Padahal ajal siap menjemput walau berlindung dibalik benteng yang paling tinggi dan kokoh sekali pun. Tapi bacalah, walaupun sedikit demi sedikit. Karena amalan yang dilakukan secara rutin walaupun tak banyak, insha Allah, akan diperhitungkan di yaumul nizam kelak sebagai timbangan kebaikan.

Dari sekulah wudhu yang membersihkan diri. Untuk sajadah kusam yang selalu ikhlas menapang diri, dan rentetan tasbih yang menggeliat-geliat manja di antara jemari. Aku temukan diriku sedang berusaha menjahit bibir dengan zikir. Untuk menjaga agar kata yang terucap dapat terjaga. Aku akan berusaha, menugaskan jari-jariku agar mau bekerja dan membantu sesama. Maka jika diantara kalian ada yang merasa dirugikan olehku katakanlah. Aku takut keuntunganku dapat merugikan diriku sendiri suatu saat nanti.













Tak pernah ada yang lebih dekat kecuali kematian, dan tak ada yang lebih diam-diam memeluk selain kematian.





















Thanks for reading... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar