Minggu, 05 Maret 2017

Secangkir Cappuccino

Aku tersesat disebuah negeri yang hilang pada peta dunia, lebih tepatnya tidak pernah ada. Negeri ini adalah negeri yang tidak pernah diketahui keberadaannya. Di sini waktu berputar tujuh kali lebih lama dari waktu normal pada umumnya. Ibu-ibu di sini hanya perlu waktu tiga puluh enam hari untuk melahirkan setiap anaknya. Maka tak heran begitu banyak anak kecil berkeliaran dengan sepedanya mengelilingi setiap gang sambil balapan dengan sangat liar. Yang lebih kecil lagi menarik-narik mobil-mobilan yang dibuatkan bapaknya dari kulit jeruk bali yang diikat tali pada salah satu ujungnya. Mereka tidak mengenal teknologi, tidak ada satu pun toko disini yang menjualnya. Negeri ini tidak mengenal krisis, tidak terpengaruh oleh kebijakan-kebijan ekonomi dunia, suku bunga The Fed, harga minyak mentah, logam mulya dan lain sebagainya. 

Aku duduk di pelataran Surau yang langsung menghadap ke pantai sambil menikmati senja yang enggan terbenam. Nyala kemerahannya meresap sampai ke bibir pantai. Menyiluetkan anak-anak yang asik bermain sepak bola. Mereka silih berganti keluar-masuk Surau untuk mengaji, menanti adzan maghrib di negeri ini lamanya seperti perjalanan Jakarta - Yogya dengan kereta ekonomi yang sempat mogok karena businya mati dan masinisnya harus berjalan kaki melewati pematang sawah untuk memanggil montir dari kampung sebelah. Sudah kukatakan, disini waktu berjalan tujuh kali lebih lamban dari waktu di dunia normal. Disini tak seorang pun tergesa-gesa karena takut kehabisan waktu. Anak-anak yang bergantian mengaji sambil menunggu adzan maghrib bisa khatam Al-Qur'an tiga kali setiap hari. Aku yang biasa hidup di dunia yang tergesa-gesa benar-benar harus membiasakan diri dengan perputaran waktu di sini.

Aku ingin membunuh waktu sambil menunggu maghrib yang masih sangat lama. Aku langkahkan kaki menuju kedai kopi terdekat, jaraknya hanya dua menit perjalan. Kupesan secangkir Cappuccino murni, aku tidak terlalu suka pemanis untuk hal-hal yang memang sudah dikodratkan pahit. "Tuan baru di sini?" Tanya sang pelayan,"Iya," "Ada keperluan apa tuan bisa sampai kemari?" "Saya hanya tersesat, ada apa? kenapa Anda bertanya seperti itu kepada saya?" "Tidak pernah ada orang asing di negeri ini, Tuan. Kami tahu setiap nama orang di negeri ini, kami tahu wajahnya, kami tahu kopi kesukaannya, dan hanya Tuan yang memesan Cappuccino tanpa pemanis. Bagaimana Tuan bisa sampai kemari?" "Sudah saya sampaikan, saya tersesat. Pada suatu pagi saya sedang melamun di halaman rumah, di bawah pohon mangga, tiba-tiba saya berada di sini, di negeri ini. Saya benar-benar tidak tahu apa yang terjadi, semua terjadi begitu saja. Yang saya ingat hanya wangi aroma kopi dan roti panggang buatan ibu saya." "Baiklah Tuan, selamat menikmati Cappuccino Anda. Kalau Tuan butuh sesuatu, Tuan bisa panggil saya. Tak ada lagi orang di kedai ini, hanya ada saya." "Baiklah, terimakasih." Pelayan itu melangkahkan kaki menjauh dari meja. Mungkin dia adalah pelayan, kasir, sekaligus pemilik tempat ini yang melakukan semua pekerjaannya sendiri. Kucecap perlahan pahit Cappuccino dari bibir cangkir, sepahit kata dari bibirmu yang tak pernah kucecap.

"Boleh saya duduk di sini?" Tanya seseorang dihadapanku.
"Silahkan, Tuan."
Aku tak tahu apa yang orang ini lakukan, ketika aku mendengus, ia ikut mendengus. Aku menoleh, ia pun menoleh. Ia melakukan semua gerakan yang aku lakukan.
"Kopi apa yang Tuan pesan?"
"Sama seperti milik Tuan, Cappuccino murni, saya tidak terlalu suka pemanis untuk hal-hal yang sudah dikodratkan pahit."
"Pelayan bilang hanya saya yang pernah memesan Cappuccino murni di kedai ini?"
"Benar, dan saya adalah orang berikutnya." Jawabnya sambil tersenyum.
"Tuan berasal darimana?"
"Saya tersesat, seperti Tuan. Saya berasal dari jiwa yang terombang-ambing, buah dari pikiran yang melanglang buana mencari jalan terbaik untuk hidupnya tapi tak pernah sampai pada yang ditujunya."
"Kenapa begitu?" Aku penasaran dan masuk dalam perbincangan yang mungkin akan memakan waktu sangat lama. Sepengalanku, obrolan di kedai kopi setidaknya menghabiskan waktu paling sebentar dua jam.Tak mengapa bukan? Di negeri ini waktu berjalan tujuh kali lebih lama, masih banyak waktu untukku.
"Ia lupa, Tuan, bahwa ke manapun ia pergi mencari, sejauh apapun itu, pada Tuhan-lah sebaik-baiknya ia meminta. Bahwa rezeki yang ada ditangannya sekarang, bukanlah apa-apa dibanding rezeki yang ada ditangan Tuhan-nya."
"Tapi manusia harus berusaha, sebaik-baiknya, sekeras-kerasnya, bukan begitu?"
"Benar, Tuan. Tapi yang lebih baik dari itu adalah meminta."
"Berdoa?"
"Iya, Tuan. Kalau Tuan berdoa agar tak kena hujan, maka Tuan harus memakai payung, memakai jas hujan, dan yang lainnya. Hujannya tidak hilang Tuan, hanya Tuan tidak kebasahan. Maka jika Tuan berdoa, Tuan harus berusaha, selebihnya pasrah, payung pun tidak melindungi semua tubuh tuan, jas hujan bisa saja rembes. Kita ini manusia Tuan, bukan Tuhan yang bisa berlaku sekehendaknya, yang bisa meng-Kun Fayakun-kan suatu hal dalam waktu singkat."
Senja menembus jendela kedai, membias di dalam gelas Capuccino yang sudah tinggal setengah. Aku tertegun, kata-kata yang disampaikan orang yang tepat berada dihadapanku benar-benar menohok diriku.
"Siapa gerangan Tuan sebenarnya?"
"Saya berasal dari jiwa yang terombang-ambing, buah dari pikiran yang melanglang buana mencari jalan terbaik untuk hidupnya tapi tak pernah sampai pada yang ditujunya. Saya adalah dimensi lain dari diri Tuan, saya hidup bersama Tuan."
Kucecap habis Cappuccino yang hanya tinggal setengah gelas, begitu pun ia.
"Kenyataan memang pahit Tuan, lebih pahit dari Cappuccino ini. Tak ada yang harus logis dari kehidupan ini, begitupun saya. Dulu Nuh membuat bahtera di puncak bukit, ditertawakan dan dituding gila oleh anaknya, Kan'an. Jangan takut Tuan, yang terbaik akan bertahan seburuk apa pun itu keadaannya. Saya pamit, Tuan."
Hujan turun deras dipipiku, membuat sungai yang mengalir ke ujung rindu. Pada airmata mana lagi harus kumengaduh?

Pelayan kedai datang menghampiriku. "Menagislah Tuan, Bima pun pernah menangis, Yudistira yang bijaksana pun pernah berbuat ceroboh dan salah, begitupun Arjuna, tak pernah ada yang sempurna, Tuan. Jalan darma memang sulit ditebak, orang paling bijakpun kadang hanya bisa menduga-duga."
Aku pun menangis sejadi-jadinya, dan airmata jatuh tanpa terseka memenuhi gelas Cappuccino yang sempat kosong. "Minumlah, ini lebih pahit dari apapun yang pernah Tuan rasakan dan Tuan anggap pahit. Ini adalah semua kepahitan sejati, Tuan. Minumlah, agar kelak Tuan ingat, bahwa Tuan pernah merasakan hal terpahit di dunia ini."
"Apa lelaki boleh menagis?" Tanyaku.
"Boleh, Tuan. Lelaki hanya tak boleh berputus asa. Tuhan menciptakan tangis wanita agar lelaki lupa akan tangisnya, dan Tuhan menciptakan tangis lelaki agar wanita bisa menyelaminya."

Setelah kuteguk segelas kepahitan sejati aku tinggalkan beberapa rupiah di bawah gelas. Aku bergegas menuju Surau untuk menunaikan kewajibanku. Pelayan tergesa-gesa menghampiriku. "Ini uang Tuan, ambilah. Kedai ini tidak dibayar dengan uang." "Lalu dengan apa saya harus membayar?" "Senyum, kebahagiaan tertinggi ialah melihat orang lain bahagia, Tuan." Aku pun tersenyum sambil melangkahkan kaki perlahan. Kemudian kedai itu hilang, semua yang tertinggal dibelakangku menghilang perlahan-lahan. Sesampainya di gerbang Surau seorang anak berbisik kepadaku, "tua cuma usia, jangan takut, selama semangat tak pernah padam kau tak akan pernah tenggelam karena hitungan angka". Kulangkahkan kaki ke dalam Surau, kutunaikan dua raka'at sebagai bentuk penghormatan pada Surau ini. Pada salam terakhir tiba-tiba saja aku berada di sebuah halaman, di bawah pohon mangga, dan aku ingat wangi aroma ini; segelas kopi dan roti panggang buatan ibu.






Con amore...
Thanks for reading...

Senin, 20 Februari 2017

dan Kau...

Kekasih, kau tahukah apa arti senja untukku? Suatu keindahan hakiki yang telah Tuhan ciptakan pada suatu waktu. Maka senja bukan hanya tentang kisah seseorang saja. Senja adalah sebuah campur tangan Tuhan yang memberikanku  sebuah kehidupan. Kau pun adalah sebuah senja untukku: senja yang kemerah-merahan, yang cahayanya bias di sepanjang pantai, memantul ke mega-mega dan membuat siluet pada hati yang rawan. Kau adalah senja yang hendak terbenam di hatiku tapi urung terlaksana, separuh senjamu masih nampak di horizon: membiaskan separuh hati. Kekasih, yang bias itu sulit terlihat, meski indah, karena hidup ini lebih nyata dari teori apa pun tentang kenyataan. Tapi kekasih, masih ada hal yang lebih indah dan lebih bias daripada senja, itulah cinta. Di dunia ini sudah miliaran kata dirangkai untuk menggambarkan cinta, tapi tak pernah cukup, karena cinta adalah suatu hal yang paling irasional yang pernah Tuhan ciptakan. Jika cinta adalah hal yang rasional Adam akan meminta kepada Tuhan perempuan lain untuknya, dan tak harus berkeliling dunia untuk mencari Hawa. Sinta pun tak harus terjun ke api yang membara untuk membuktikan kesetiaannya pada Rama.

Begitu banyak bukti bahwa cinta memang irasional, ajaib, tak masuk akal, klenik, dan lain sebagainya. Di Arga, India sana, Shah Jahan membangun Taj Mahal sebagai bukti kecintaannya pada Mumtaz Mahal, istrinya yang telah meninggal dunia. Menghabiskan empat puluh empat jenis batu permata untuk hiasan interiornya. Tak kah bisa dibayangkan kemewahan yang diberikan untuk seorang yang telah meninggal dunia? Emapt puluh empat jenis batu permata! Jika bukan karena cinta semua itu tak akan pernah terjadi. Sedangkan di negeri ini, negeri klenik dan ajaib, negeri yang paling tak masuk akal sejagat raya, diketahui pula dongeng Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso yang menghasilkan Candi Prambanan. Bangunan megah yang dibangun dalam waktu satu malam untuk bukti kecintaan pada seorang Roro Jonggrang. Atau yang lebih menyentuh hati, lebih romantis dari kisah mana pun, dan shahih hikayahnya, kisah tentang seorang anak yang Tuhan dan para malaikatNya pun bershalawat atas bapaknya; kisah Fatimah Az-zahra putri Muhammad SAW yang hanya menerima mahar baju perang huthamiyah dari Ali ra. Tak sebiji sawi pun emas diberikan kepadanya, dan tak setengah dinar pun uang diberikan atasnya; atas wanita yang kelak melahirkan anak-anak yang sayid. Cinta, kekasih, yang mana pun punya kisahnya masing-masing. Yang bisa kita lakukan hanyalah menggenggam tangan, bergandengan, Tuhan pula lah yang kelak menyandingkan.

Kekasih, sudah kujelaskan padamu kan tentang senja? Maka janganlah kau keliru untuk membenci senja, karena bagiku kau pun adalah senja. Sebuah keindahan hakiki yang telah Tuhan ciptakan diwaktu ini. Tapi aku akan sangat mafhum jika memang terbesit ragu dalam batinmu. Begitulah memang resiko yang harus diemban sebagai seorang pengarang, penulis, atau pun penyair; orang yang kerjanya bermain-main dengan kata, memang sulit dipercaya. Di dalam kepalaku memang terbesit banyak sekali untaian kata-kata, yang tak pernah kutimbang-timbang pula apakah itu baik atau buruk. Menjadi pengarang, penulis, atau pun penyair berarti mengkhayati segala hal dengan sangat total dan mendetail, agar dapat menyimpul kata menjadi kalimat. Yang suka akan tetap suka seberapa buruk pun itu, yang benci akan tetap benci seberapa indah pun itu. Karena hidup memang seperti keping mata uang, segala hal yang berlawanan hanya dipisahkan oleh segaris lingkar tipis yang saling menyatukan. Dan hanya kebekuan yang sulit memaafkan.

***

Waktu sudah menunjukan jam dua pagi, istirahatlah. Tak baik menghabiskan waktu terlalu lama hanya untuk saling berselisih. Jangan lupa hitung denting jam dinding yang berbunyi di rumahmu, barangkali dentingnya lebih. Tidurlah, menanggapiku hanya akan membuatmu darah tinggi, cepat stroke, dan bisa mati berdiri. Tinggalkanlah aku seorang diri untuk membunuh waktu dan segala keegoisan diri sampai menjelang pagi. Sambil kuingat-ingat senyummu yang menawan itu, tawamu yang memekakan telinga, juga gerutuanmu yang mau tak mau harus kudengarkan. Aku hanya seorang penganggur, waktuku banyak hanya untuk sekedar merenung, walau memang sehebat apa pun aku merenung, tak pernah sampai pemahamanku mengapa aku mencintaimu. Bergegaslah, esok hari kau akan lupa segala hal yang kita selisihkan malam ini, atau bahkan sekaligus melupakanku.

Mencintai seseorang itu, kekasih, berarti mencintai segala kebaikan dan keburukannya, karena manusia pada hakikatnya adalah tempat bersalah. Oleh sebab itulah saban hari selama mendirikan sholat kita selalu meminta ditunjukan jalan yang lurus kepada Tuhan. Maka tak pernah sekali pun kutimbang-timbang untuk apa aku jatuh cinta kepadamu? Karena manusia, kekasih, yang mana pun sama: memiliki kebaikan dan keburukan. Tugas kita yang sedang jatuh cinta hanya perlu menerima kedua hal itu secara bersamaan. Yang buruk-buruk itu ada untuk membenarkan yang baik-baik, pun sebaliknya, yang baik-baik itu ada untuk menunjukan yang buruk-buruk. Betapa sederhananya hidup ini, yang pelik hanya liku dan tafsirannya.

***

Pagi datang menyingsing, hujan tak henti-henti mengetuk jendela. Sampai-sampai aku tak tahu, yang menetes dipipi itu air hujan atau airmata. Apa mencintaimu harus menjadi hujan? Tetap deras meski selalu dihindari, dan saat kemarau tiba meresaplah ke dalam tanah yang kau nikmati tanpa sadar ada di dalam galon, semangkuk sup, soto, bak mandi, mesin cuci, atau mungkin menjadi sungai yang mengalir ke beranda rumahmu.



"Aku tidak menangis, kekasih, aku hanya tak tahu pada harapan mana lagi airmata akan kusimpan..." - Sujiwo Tejo







Con amore...
Thanks for reading...

Jumat, 23 Desember 2016

Senja Terakhir

Satu, dua, tiga, empat, bahkan belum genap sepuluh aku menghitung, tapi rasanya sudah seperti penantian dua belas tahun Rahwana yang menawan Sinta di Argasoka, Negara Alengka yang terkenal itu. Konon Rahwana adalah seorang raja yang gagah perkasa, menculik Sinta karena begitu cintanya ia pada Sinta dan sangat ingin memperistrinya. Tapi Sinta selalu bilang "No, Rahwana, aku sudah diperistri oleh Rama". Ahh Sinta, dimana lagi ada jelmaan seperti dirinya? Tidak buta oleh tahta, begitu pula harta. Tidak luntur pula cintanya pada Rama yang sudah dua belas tahun berpisah. Seandainya saja ia menerima cinta Rahwana dan sudi diperistri olehnya, ia pasti sudah menjadi Ratu Alengka yang dipuja-puji saban hari oleh orang-orang seantero Alengka karena kecantikan dan keberuntungannya. Ahh Rahwana, betapa lapang hatinya untuk tetap berusaha membangun kemegahan cintanya kepada Sinta yang saban hari dalam dua belas tahun selalu menolaknya. Kemudian... "Itu bukan keretanya?", katamu sambil menunjuk ke arah rentetan gerbong yang sudah nampak sangat lelah menampung gelisah penumpang dari pagi sampai malam tanpa dapat jatah libur, bahkan di hari Minggu. "Iya kali, coba aja liat."

Kita berjalan menuju peron, menyusuri anak tangga otomatis yang mesinnya mati entah kenapa. Kita berjalan beriringan seperti sepasang....... Aku sering merasa aneh dengan kenyataan, betapa kita bisa begitu dekat dengan seseorang, namun bila tiba saatnya berpisah, kita bisa saja tidak berjumpa lagi dengan orang itu, barangkali sampai mati. Pertemuan, perpisahan, astaga, betapa semua ini menjadi bagian kehidupan. Kupikir aku selalu siap berpisah dengan siapapun wanita yang kutemui. Namun ketika saat perpisahan itu tiba., rasanya aku tidak pernah siap.

"Satu, dua, nah itu peron dua."

"Terus kita nunggu dimana?"

"Sini aja deh."

Hari masih pagi, tapi matahari sudah sangat terik sekali rasanya. Kulihat wajahmu begitu lusuh. Keringat mulai membasahi kulit di atas bibirmu. Sesekali kau melenguh pelan. Begitu mudah menerjemahkanmu. Tidakkah memang indah membayangkan diri hidup bersama dengan orang yang benar-benar kita cintai sepenuhnya dan tiada lain selain dia? Aku sering terpana menyadari betapa dunia ini dan segala urusannya menjadi tidak terlalu penting selama kita mendapatkan cinta.

Pemberitahuan kepada seluruh penumpang, bahwa kereta jurusan Stasiun Tanah Abang hanya berakhir sampai Stasiun Sudirman, dikarenakan ada gangguan. Sekali lagi, pemberitahuan kepada seluruh penumpang, bahwa kereta jurusan Stasiun Tanah Abang hanya berakhir sampai Stasiun Sudirman, dikarenakan ada gangguan. Terimakasih atas perhatiannya. Terdengar suara wanita dari pengeras suara. Kau melenguh lagi, agak sedikit lebih keras dari lenguhan pertamamu. Kutaksir kau mulai memasuki kategori putus asa karena menunggu. "Tenang kita kan berlawan arah." Kataku. Kereta datang dan penumpang keluar dengan kalang kabut karena (mungkin) takut terlambat masuk kerja. Betapa peliknya hidup di kota besar bukan? Setiap pagi harus berburu waktu demi memenuhi kebutuhan hidup, kredit bulanan, dan berakhir dengan dana pensiun yang tidak seberapa. Jika ada hari lain setelah masa pensiun tiba, maka orang-orang seperti mereka akan berbondong-bondong mencari tiket surga. Mungkin itu sebabnya di rumah-rumah ibadah yang nampak sebagian besar adalah wajah-wajah renta yang hampir kehabisan waktu.

Kereta sudah kosong, kita segera bergegas masuk dan menyusuri satu persatu gerbong yang terbentang hampir seratus meter ini. Atau mungkin lebih.

"Disini aja, semua tempat sama."

"Bau pesing sama bau ketek kan?"

"Iya." Timpalmu sambil cengengesan.

Perjalanan singkat ini akan menjadi perjalanan yang terasa sangat lama sekali untuk direnungkan. Melebihi lamanya lamunan Rahwana yang bertanya-tanya akan keteguhan hati Sinta. Sebegitu keraskah hati seorang perempuan? Atau mungkin sebegitu hebatkah cinta? "Tuhan, jika cintaku pada Sinta terlarang, mengapa kau bangun megah istana cinta ini dalam hatiku?" Terdengar suara parau Rahwana. Seandainya Wibisana yang tak lain adalah adik Rahwana mendengar apa yang diucapkan kakaknya, mungkin ia akan menyesal sejadi-jadinya. Wibisana adalah dalang dari semua kejadian ini. Ia adalah orang yang menaruh Sinta di atas kanaga ketika masih bayi, lalu menghanyutkannya ke sungai sampai akhirnya masuk pesawahan bumi Mathili dan ditemukan Prabu Janaka. Rahwana tidak pernah tahu sedikit pun kalau Sinta adalah anaknya yang ditukar dengan bayi laki-laki yang kelak bernama Indrajit. Betapa malang Rahwana. Yang dia tahu Sinta adalah titisan Dewi Widowati, tak lain tak bukan.

Tiba-tiba saja kereta berhenti. "Ayooo! Kita harus pindah kereta jurusan Bekasi nih." Gerutumu. Ternyata kereta sudah sampai Stasiun Manggarai. Hari mulai menjelang siang, kereta terasa agak lenggang. Paling tidak hanya baru ada bau ketiak dan pesing dimana-mana, dibandingkan sore hari dimana wajah bisa langsung bersentuhan dengan ketiak siapa saja. Peluit berbunyi, kereta berjalan tenang. Kita duduk berdampingan. Aku bukan Rahwana, dan kau pun bukan Sinta. Tapi istana cintaku tak kalah megah dengan istana cinta yang dibuat oleh Rahwana. Istana yang diam-diam kubangun tanpa harus menawanmu selama dua belas tahun.

Perjalanan pulang ini terasa semakin panjang, karena tak satu pun kata terucap dari mulut kita. Gerbong ini tahu: aku seperti batu, batu yang bisu, sejak kata-kata dari lisanku tak sanggup lagi berseru. "Tidur ahh, bangunin ya nanti". Kataku sambil meluruskan badan dan menyandarkan kepala di sampingmu. Maaf semalam aku habis lembur menggali lubuk hatimu lagi. Mencari jawaban dari tanda tanya yang masih terpampang besar di dinding kamarku.

***

Disuatu tempat antara Hawai dan Australia, ada sebuah taman kecil melingkar dibatasi bebatuan bulat yang tertata rapi, ditepian danau yang begitu jernih. Tempat yang hijau, damai, dan berbau humus. Aku melihat seekor burung yang berwarna orange begitu terang dilapisi semacam rompi kulit di bagian dadanya dengan tulisan Ayah.

"What's your name?"

"Ayah."

"Where are you from?"

"Melbourne, lots of people ask me 'asline endi mas?'"

Aku cekikikan dalam hati, bisa-bisanya mereka bertanya seperti itu. Seekor burung disebuah negeri antah-berantah ditanya dengan Bahasa Jawa? Meski aku tetap bertanya-tanya dalam hati, kenapa seekor burung disebuah negeri antah-berantah bisa bernama Ayah?

Ayah, sebuah burung yang lincah dan indah, terbang dari ranting ke ranting dengan kepak yang menawan. Berkicau riang seperti seorang anak yang baru diberikan kado ulang tahun ke empat oleh bapaknya. Sejurus kemudian Ayah hilang, terbang tinggi dan tertelan awan. Keindahan memang seperti itu bukan? Suatu hal yang bebas dan tak terbatas, membuat pandangan dan isi dada menjadi damai. Mesti hanya selintas, tapi selalu membekas. Seperti cinta, bukan begitu?

Aku berjalan mendekati tepian danau, berdiri dan menatap sebuah wajah yang haru karena merindu. Sebuah kesedihan, buah tangan dari mencintai dengan cara yang bisu. Apalah yang bisa aku lakukan di tempat ini saat merindui seseorang di belahan dunia lain, di sebuah negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi. Aku hanya sanggup tertegun, membungkuk dan duduk. Separuh kakiku masuk ke dalam air. Ikan-ikan kecil menari dan mengitari kakiku. Tuhan, jangan biarkan aku mati dengan cara jauh dari keindahanmu. Merindu bagaimana pun adalah sebuah perkara yang tak bisa dianggap menyenangkan. Lima menit bisa terasa seperti lima puluh tahun, dan waktu yang kosong bisa menjadi berabad-abad yang penuh dengan sejarah.

Dan, tiba-tiba saja langit menjadi ungu. Semburat cahaya menerobos gumpalan-gumpalan awan. Mentari perlahan-lahan turun diujung danau dan berubah menjadi kemerahan. Burung-burung terbang pulang ke sarang. Dedaunan tertunduk dan angin meredup. Senja tiba. Air membiaskan sinar-sinar keemasan. Awan menyerap warna-warna kemerahan. Percayalah, kali ini akan benar-benar kupotong senja seukuran kotak kado untuk kita nikmati berdua disana, di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, dengan secangkir kopi di sebuah meja di taman, diiringi sepenggal gelak tawa, dan seonggok cinta. Senja ini akan menjadi senja terindah yang pernah kau saksikan seumur hidupmu.

Dari kabar yang kudengar, di negeri ini senja sanggup bertahan selama dua tahun sebelum datangnya malam. Maka dengan semangat kukayuh sampan menuju senja. Akan kupotong senja itu seukuran kotak kado dan kuselipkan di buket bunga sebagai hadiah kado ulang tahunmu yang hanya tinggal seminggu lagi bukan? Kita akan menikmatinya bersama di sebuah taman dengan secangkir kopi dan sepenggal gelak tawa, juga seonggok cinta.

Setelah susah payah akhirnya kudapatkan juga sepotong senja seukuran kotak kado. Kumasukan ke dalam saku, dan cahayanya bertaburan kemana-mana seperti hendak melarikan diri. Kukayuh lagi sampanku, menuju negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi itu. Meski tak semegah Bahtera Nuh, aku yakin sampan ini sanggup membawaku berlayar dari sebuah pulau yang terletak antara Hawai dan Australia menuju ke negerimu. Saat waktu memanggil, tak ada lagi yang bisa mengelak. Bahkan lautan yang sebegitu luasnya pun akan kuarungi.

***

Aku tersentak ketika tiba-tiba saja kereta berhenti. "Dimana nih?" "Udah sampe kali." Aku seakan tidak percaya. Beberapa menit yang lalu aku sedang mengayuh sampan di atas samudera biru. Sejurus kemudian aku tengah berada di dalam gerbong yang bau pesing bersama denganmu. Tak bisa dipercaya! Tak ada senja! Bahkan senja yang sudah susah payah kupotong seukuran kotak kado pun hilang entah kemana.

Setengah percaya, setengah tidak. Saat melangkah keluar stasiun aku melirik kalender yang ada di dalam loket. Aku terperanjat, sekarang bulan Maret. Saat mengayuh sampan tadi itu bulan Agustus! Satu minggu sebelum hari ulang tahunmu. Bagaimana mungkin waktu bisa terbolak-balik begini?

Sesampainya di rumahmu aku tahu, ini mungkin akan jadi pertemuan terakhir kita. Bukankah sudah kukatakan sebelumnya, begitu mudah menerjemahkanmu. Senja, daun pintu, pohon mangga, secangkir kopi, dan lenguhanmu, entah kapan kita akan berjumpa lagi. Perpisahan, pertemuan, astaga, pada akhirnya aku dihadapkan dengan kenyataan ini. Sungguh aku menjadi ranggas, dan kata tercekat di kerongkongan. Perpisahan bagaimana pun caranya adalah sebuah perpisahan. Seandainya saat itu bisa kuhentikan waktu seperempat detik saja, aku akan merekam raut wajahmu lebih lama lagi. Seperempat detik lebih lama sudah cukup untuk membawa wajahmu dalam ingatanku. Seandainya aku tahu ini akan menjadi pertemuan kita yang terakhir, aku tak akan meninggalkanmu tertidur. Aku tak akan menjadi batu. Aku akan menjadi senja di kelopak matamu. Senja yang tak pernah tenggelam, bahkan sampai kau bosan dan muntah-muntah karena selalu menatapnya.

***

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh. Rinduku sudah hamil tua. Tujuh bulan. Tak bisa digugurkan! Dua bulan lebih lama lagi dia akan lahir dan tangisnya akan memekakan telinga melibihi terompet tahun baru di sepanjang Pantai Copacabana, Rio de Janeiro. Seperti cerita di dalam dongeng, aku mungkin tak keberatan menunggumu berapa lama pun selama aku mencintaimu. Tapi barangkali aku tak harus menjadi tua dalam tanda tanya. Empat puluh tahun yang akan datang kita berdua akan mengingat kejadian ini. Di sebuah beranda di suatu tempat kita akan bertemu lagi. Di bawah pohon yang rindang dimana burung-burung lepas bernyanyi. Angin sepoy membawa angan kita melayang kembali ke sebuah gerbong yang bau pesing. Seperti daun yang gugur melayang tenang tersungkur ke selokan, kemudian hanyut. Kita akan saling menembus pandangan, jauh, jauh, sampai airmata kita berdua berlomba menghitung waktu, membekukannya, karena kata sudah habis digasak kesombongan yang mulai merenta. Tak kuasa aku membayangkan kejadian yang akan datang itu. Rambut kita berdua mulai memutih, mata yang sayu dan pipi yang melesung berbaris-baris. Senja yang kemerah-merahan menjadi saksi sepasang manusia yang tumbuh tua dalam tanda tanya. Air mata yang sudah tak sanggup lagi terseka menghitung mundur empat puluh tahun lamanya. Senja mengoyak dedaunan dan menyiluetkan wajahmu. Wajah yang dulu hendak kupotong, tapi urung terlaksana. Kita berdua berjalan beriringan seperti dulu kita berjalan ditangga yang menuju peron dua. Senja membuat waktu membekas di pipi kita berdua.




"Dimana dulu kita bertemu? pernahkah engkau mencatatnya?"





Con amore...
Thanks for readng..


Kamis, 31 Desember 2015

Lain Waktu Akan Kupotong Senja Itu!

Senja yang keemas-emasan itu tembus ke dalam gedung ini. Apa hanya aku yang memperhatikan biasnya yang terpancar lewat kaca yang menjulang tinggi dan angkuh itu? Biasnya membentuk garis lurus dan jatuh terpecah belah dilantai. Berserakan menimpa sepatu dan kaki-kaki yang lalu lalang menyibukan diri. Tak seorang pun hendak memungutinya. Orang-orang disini tak pernah peduli akan senja, tidak sama sekali, mereka semua mengabaikannya. Lain waktu akan kupotong senja seukuran kotak kado sebagai hadiah ulang tahunnmu. Biar kau tahu keindahan hakiki di dalam kefanaan dunia ini. Tak apa bukan? Tak seorang pun akan merasa kehilangan senja yang akan kupotong itu. Kan tak ada yang peduli pada senja yang hanya mengatung sementara waktu di langit yang pucat keungu-unguan itu.

Sebentar lagi gelap akan menelan senja secara perlahan-lahan. Lain waktu akan kupotong senja itu! Pintu lift terbuka dengan sangat kasar dan suara orang-orang berhamburan seketika. Langkah-langkah yang tergesa bercampur dengan gerutuan sulitnya soal ujian akhir semester yang semakin tak masuk akal beriring-iringan membuat bising yang tak merdu. Seseorang tergelapak dengan setumpuk kertas penuh coretan tinta biru di hadapanku. "Sial revisi lagi, padahal checklist tinggal seminggu lagi ya. Parah banget tuh dosen!" Seorang penggerutu kelas kakap putus asa dihadapanku. Maka yang dikerjakannya hanya menggerutu hampir setengah jam lamanya sambil berganti gaya. Kadang tergelapak ke kanan, kadang belok ke kiri menghindari orang-orang yang keluar lift. Semua orang punya hak untuk menggerutu bukan?

Aku, A, dan Y kompak menggoda M. Menguak aib yang sudah sangat lama terjadi. Aku tak akan pernah memaafkanmu M, aib itu adalah senjata andalanku untuk mempecundangimu sepanjang waktu. Kau akan mati kutu dihadapanku seumur hidupmu. Maka sore itu menjadi sebuah paradoks antara penggerutu dan penggoda yang terbahak-bahak di atas aib orang lain. Sementara senja perlahan-lahan hampir habis digerogoti gelap. Tiba-tiba tumpukan kertas yang penuh coretan tinta biru itu berhambur di hadapanku. Semua orang sibuk menerka-nerka maksud coretan tinta biru yang bernamakan revisi. Aku tak peduli, laporanku pun masih belum selesai seutuhnya dan senja hampir hilang. A sibuk menerka-nerka maksud dan mencoba memberikan solusi. Maka diambilnya laptop untuk merealisasikan bantuannya. Y mendampingi A, walaupun hanya sebatas membantu membacakan hasil terkaan A. M menambahkan sedikit komentar. M yang dungu tak harus melakukan apa-apa, komentar pun sudah lebih dari cukup baginya. Si penggerutu makin jadi penggerutu karena solusi yang dihasilkan sia-sia dan tanpa kebenaran. Terjadilah chaos karena crowded yang berkepanjangan. Betapa tidak menguji ketabahan-sementara bias senja semakin tipis dan berhamburan kemana-mana, menabrakan diri pada segala hal, sedangkan keributan dasyat terjadi di hadapanku. Senja hampir sekarat! Tak kah kalian lihat itu? Kan mungkin senja memang tak penting untuk mereka. Apa sebegitu susah menikmati keindahan senja, pada hal yang memberikan kehidupan untuk kita? Berterimakasihlah pada segala hal yang memberikan kehidupan.

A hampir habis akal dengan kertas-kertas itu, tapi akal liciknya belum habis tuntas. "Tolong dong, lo kan ahlinya nih." Kuambil kertas berserakan yang penuh tinta biru itu satu persatu. Sial, dari mana dia dapat ide untuk mendeklarasikan aku sebagai ahli dari diagram-diagram yang menyebalkan itu. Kulihat lembarnya satu persatu dan aku yakin bahwa Tuhan sedang mengajakku untuk bercanda, kan Tuhan juga Maha Guyon. Tapi guyonan ini keterlaluan, tumpukan kertas itu adalah dua bab penuh laporan yang harus direvisi. Akan kubalas perlakuanmu ini, A. Lalu sedikit demi sedikit kutambah coretan-coretan tinta biru itu sehingga lebih mirip lukisan benang kusut yang tak berujung. "Salah Semua!" Ucapku cukup tegas. Maka si penggerutu itu menekuk mukanya seperti baju yang baru selesai dilindas setrika dengan suhu enam puluh derajat celsius. Tergelepaklah lagi dia ke kanan menabrak bahu A. Semenit kemudian penggerutu berubah menjadi perayu. Kan wanita memang seperti itu, tabiatnya seperti album kompilasi tahun sembilan puluhan: kaset pita side A dan side B. Side A berisi lagu-lagu rock n roll, side B berisi lagu akustik melankolis. Aku tak tahan mendengar alunan melankolisnya, maka kubuat garis-garis berbentuk diagram baru dibagian kertas yang masih kosong. Sampai-sampai aku tak sadar senja sudah menjemput ajalnya. Biasnya habis ditelan oleh gelap. Lampu-lampu di dalam gedung mulai dinyalakan. Dijalanan lampu-lampu kendaraan mulai saling bertabrakan. Adzan maghrib dikumandangkan. "Mari kita berbuka puasa!!" M meneguk segelas teh kemasan. Dihadapanku juga terdapat segelas teh kemasan yang sama yang disediakan oleh si penggerutu yang sudah berubah menjadi perayu. Kuteguk perlahan-lahan bersama pahitnya kehilangan senja. Maka malam itu kulewatkan untuk membuat diagram dengan perut hanya terisi teh kemasan. Itu adalah buka puasa terburuk seumur hidupku: hanya dengan teh kemasan.

Sejak malam itu kau kenal namaku kan? Apalah arti sebuah nama, semenjak malam itu pun aku mengenal siapa namamu. Tapi untukku, mengenal seseorang tak melulu harus tentang nama, maka namamu tak penting-penting amat untukku. Hari ini kau masih menggerutu tentang diagram-diagram itu. Semua orang berhak menggerutu dan bebas berkata-kata sesukanya, bukan? Tapi siapakah yang membutuhkan kata-kata? Semua orang di dunia ini sibuk berkata-kata. Maka kuambil lagi kertas kosong untuk memperbaiki diagram yang hanya bisa kau kata-katai itu. Betapa tidak menguji ketabahan: aku menggerutu. Hari itu diagram-diagram selesai dituliskan di atas kertas-kertas kosong. Jam sepuluh malam kita berdua terdampar di pos satpam. A datang mengahampiri dengan penuh keringat. Dia baru selesai main futsal dengan temen-teman satu kelasnya. "Gimana?" "Ini gara-gara lo, gila aja jam segini baru selesai ngerjain tuh diagram." "Gak apa-apalah." A bermain mata, "Taik!" "Hati-hati, sabuk item. Salah-salah kena hajar." Bulan yang pucat menggantung di langit gelap. Pulanglah, masih ada hari esok. Bulan pun bisa jatuh pingsan dan harus dibawa ke rumah sakit karena kelelahan. "Besok ke rumah gw ya". "Dimana?" "Jembatan Tiga." "Jembatan Tiga kan luas." "Besok gw kasih tau lewat telpon." "Ya, sampai besok." Aku pulang membawa segala gerutuannya yang kudengar sepanjang hari, dan lelucon peringatan dari A: sabuk hitam. Jalanan sepi sekali, lampu-lampu kota berderet sepanjang jalan, menyoroti sisa-sisa keputusasaan orang-orang: puntung rokok, plastik makanan, sobekan koran, dan penjual koran. Dan hidup bukankah begitu sederhana? Ia hanya terletak antara lapar dan buang air: selebihnya baik-baik saja.

Kemarin malam kau baru saja memanen isi kepalaku. Mungkin hari ini kau akan gunduli isi kepalaku. Betapa peliknya hidup ini. Hari ini aku habiskan waktu di rumahmu, sampai benar-benar habis diperas. Jam sembilan pagi aku sudah berangkat, dan jam dua pagi baru pulang. Tak ada satu pun pekerjaan di dunia yang menghabiskan banyak waktu tanpa digaji selain memupuk cinta. Tapi terlalu dini kan menafsirkannya? Maka kutimang-timang tafsiranku itu saat meneguk segelas kopi. Dua teguk yang akan datang, akan kucecap hangat darahmu sampai kering. Dan kopiku kering sebelum tegukan kedua. Tuhan melemparku jauh dalam kelelahan. Maka kuberes-bereskan hidupku yang memang kurang beres untuk berpamitan pada bapakmu. Isi kepalaku benar-benar kau gunduli sebagai tameng dari tinta-tinta biru. Sepanjang jalan pulang yang ada hanya kosong: jalanan kosong, gerobak kosong, rumah kosong, dan isi kepala yang kosong. Lalu kau datang mengisi kekosongan-kekosongan itu. Di jalanan, di rumah rumah, gerobak, dan dalam pikiranku. Malam menganga dan kau menjadi gema, sepanjang jalan itu kekosongan terisi olehmu.

***

Siang itu aku bertamu ke rumahmu, masih dalam suasana lebaran yang menenangkan. "Kamana wae?" "Aya bu di bumi, teu kamana-kamana. Minal aidin wal faidzin nya." Ibumu benar-benar sangat baik menerimaku sebagai temanmu. Terus, kan kau datang menemuiku. "Selamat ulang tahun." Sambil kuberikan bingkisan yang sangat merepotkan untuk dibawa ini. Maaf ini bukan senja yang dulu hendak kupotong sebesar kotak kado sebagai hadiah ulang tahunmu. Hari sebelumnya aku sudah coba mencari- cari senja untuk dipotong, tapi tak ada. Senja sudah pindah ke pantai dan jadi tontonan turis lokal. Lain waktu akan kuajak kau ke pantai melihat primadona baru disana: senja. Aku sudah sering diminta datang ke pantai untuk sekedar melihatnya, tapi selalu tak sempat. Cuma sebuah lampu yang cahayanya mirip-mirip senja yang mampu kuberikan padamu. Aku tahu cahanya pun tak pantas untuk disebut duplikat senja, tapi aku harap kau dapat melihat senja dari sana, bagaimana pun caranya. Satu lagi, aku sedikit malu memberikannya: setangkai mawar putih. Aku tak pernah memberi bunga kepada siapa pun, ini adalah pertama kalinya dalam hidupku. Aku tak tahu mawar putih melambangkan apa, saat membelinya tak menimbang-nimbang makna dari warna bunga. Aku hanya lebih suka warna putih ketimbang merah, begitu saja. Maaf hanya satu tangkai saja, lain waktu mungkin akan kupersembahkan bersama dengan kebun-kebunnya, lengkap dengan pupuk, gunting, pestisida, dan alat siramnya.

Aku masih saja sempat tertidur di kursi ruang tamu saat menunggumu mandi sore itu. Aku benar-benar kekurangan tidur beberapa hari belakangan. Walau sering melek di malam hari, aku bukanlah pendoa yang ulung. Aku hanya pekerja malam yang terus-terusan lembur menggali lubuk hatimu. Entah sampai seberapa dalam lagi harus kugali, karena belum juga kudapati mata air yang dinamakan cinta itu. Maka sering kukuat-kuatkan hatiku saban pagi setelah menggali hatimu: Tuhan akan membayar segala jerih payahku dengan seadil-adilnya. Aku tersentak bangun saat mendengar suara langkahmu menghampiriku. Aku ingin pamit pulang. Aku takut mati muda karena terlalu sering menenggak harapan cinta darimu, tapi kau malah mengajakku keluar untuk mencari makan.

Ayo kita pulang, perut sudah kenyang dan hari mulai petang. Di jalanan terlihat semburat cahaya keemas-emasan yang melewati dedaunan, dan berlarian di atap mobil yang diam terjebak macet. Senja datang mengintip perjalanan pulang kita berdua. Kilaunya menyapa lewat kaca spion dan menabrak muka. Apa mungkin senja melarikan diri dari pantai? Sampai di rumahmu cahaya keemasan senja masih ada dan menempel di bagian tengah pintu rumah, sisanya tersesat di pohon magga. "Pamit ya, selamat ulang tahun." Kau lambaikan tangan saat aku beranjak pulang. Senja menyiluetkan wajahmu. Lain waktu akan kupotong senja dan wajahmu itu! Akan kusimpan dalam dompetku.



"Sumpah, kan kutemukan suaramu, menebus kata akhir untuk benar-benar pergi"





Con amore..
Thanks for reading..

Selasa, 27 Oktober 2015

Penggerutu

Jangan menyerah dulu, karena jalan bahkan belum kau pijak. Kaki baru kau angkat, tapi air mata sudah gugur. Ahh, dasar wanita. Semudah itu kah menyerah? Hanya karena nama tak tertera pada lembaran kertas di majalah dinding yang mungkin baru kautengok sepanjang waktumu berkuliah disana, bukan berarti semuanya berakhir.

Lalu kau menangis sampai mata babak belur seperti adu jotos dengan preman. Kau kan tahu sesuatu yang lebih baik daripada menangis: mengais-ngais petunjuk dari Tuhan adalah bukti miskin jiwa yang tak punya daya dan upaya. Apa kau buta? nasibku juga tak jauh beda denganmu: riskan dan menggelikan. Kita sama-sama ada dalam posisi yang tak adil, walau kau (memang) lebih compang-camping. Itu adalah hasil kesepakatan antara usaha yang kita lakukan dan Tuhan - biasa kau dan aku menamakannya takdir, bukan? Menggugat Tuhan pun tak mungkin dilakukan, karena tak ada satu pun pengadilan di negeri ini yang bersedia menerima gugatan dengan Tuhan sebagai terdakwa. Kualat, kan kau tahu apa arti kata kualat: suatu pekerjaan yang tak boleh dilakukan seumur hidupmu, termasuk mengubur harapanku!

Well, mataku sudah lelah. Bukan karena menangis, bukan. Airmataku punya kualifikasi tertentu untuk menetes. Airmataku termasuk kelas borjuis: congkak dan angkuh, tapi karismatik. Tidak menetes untuk hal-hal sepele yang sekejap mata dapat berubah keadaannya. Mataku lelah karena dipaksa maraton untuk tidak terpejam hampir 36 jam lamanya. Coba kau hitung itu, 36 jam lamanya. Apa kaupikir itu pekerjaan mudah? Apa kausangka itu pekerjaan yang ringan-ringan saja? Dan aku masih gagal menggapai garis finish, karena masih terjaga sampai detik ini. Sungguh, sungguh menderita menanggung akibatnya.

Aku menjadi tambah sengsara karena gagal gila setelah 36 jam lamanya. Seharusnya mungkin aku sedang bernyanyi riang di atas ranjang rumah sakit jiwa yang empuk. Ditemani beberapa orang gila yang tak habis pikir mengapa dirinya divonis gila tanpa musyawarah terlebih dahulu. Termenung sambil menggugat-gugat tuduhan gila yang diputuskan sebelah pihak saja. Meracau-racau menyebut namamu, seperti pemabuk terminal yang tersasar di dalam bus kota: tak tahu pintu keluar. Bernyanyi-nyanyi riang bak sinden kalap saweran, dan sejurus kemudian tertegun karena dibentak suster cantik yang sebentar lagi ikut ketularan gila. Susternya tak ada, aku lebih buruk dari orang gila karena dengan waras berkhayal gila.

Sebentar lagi mungkin, sepertinya aku akan jatuh tersungkur di atas kasur. Aku sudah limbung. Otakku perlahan-lahan terasa menciut sampai sebesar biji semangka yang terlindas truk bermuatan lima ekor gajah dewasa yang sedang bunting kembar tiga. Isi kepalaku sedikit demi sedikit menjadi kosong, bebal, dan dungu. Sementara takdirmu semakin membaik sedangkan aku malah terbalik. Aku malah lebih compang-camping seperti maling jemuran yang tertangkap basah sedang bersembunyi di selokan sambil membaca koran sisa bungkus nasi uduk kemarin pagi. Beritanya tentang mahasiswa yang gagal jatuh cinta.

****

Aku tidak tahu sekarang sudah jam berapa. Aku mungkin baru terbangun dari hibernasi yang sangat panjang. Kumis dan janggutku mulai tumbuh tak karuan, seperti serat biji kedondong: sekehendaknya saja tumbuh. Tak bisa dinasihati baik-baik, maka pisau cukur menumpaskan keegoisannya dalam sekejap saja. Kepalaku pun sudah terasa terisi kembali oleh sel-sel otak yang membuatku terlihat tidak lebih dungu dari kerbau yang dicokok hidungnya. Kejamnya, sel-sel itu mengantarkan seonggok ingatan tentang seseorang yang pernah diciptakan oleh Tuhan dengan tempurung kepala paling keras di dunia ini. "Apa kabar, ....?" Kalimat itu bergaung dalam lubang telinga yang dianggapnya gua.

Engkau sungguh pernah seperti lagu tanpa judul yang kutunggu-tunggu setiap waktu di sebuah saluran radio. Setiap malam kuhabiskan hanya untuk menunggu. Mengaitkan antena dari kawat ke berbagai perabot rumah tangga kerjaku saban sore. Ke sendok, kompor minyak, lampu templok, sampai tutup panci dari logam harus bertengger di pohon jambu seperti parabola kehilangan pegangan. Barangkali suatu waktu sang penyiar memutarkannya untukku, kesempatan itu tak mungkin dilewatkan dengan iringan suara gemerosok dan desingan gangguan frekuensi. Sampai suatu ketika di tengah kekosongan malam terdengar nada indah mengalun-ngalun merayu hulu hati. Ohh aku tahu siapa itu, wanita dengan tempurung kepala yang lebih keras daripada batu, bukan? Kulafal-lafal wajahmu dalam kepala agar jangan sampai kulupa. Sampai-sampai ingatanku rusak pencernaan. Setiap kali yang kuingat hanya wajahmu, apa pun yang kujejalkan ke dalam ingatan berubah menjadi wajahmu. Ingatanku diserang diare kritis tingkat akhir gara-gara wajahmu.

"Apa kabar, ....?" Ingin sekali aku ucapkan sebelum rindu ini habis dan rontok, sebelum radio mati karena kehabisan batre yang lupa kujemur tadi sore. Tapi merinduimu sungguh memilukan. Merinduimu tak ubahnya seperti hendak bertamu ke rumah kembang desa dengan tantangan jawara kampung yang cintanya sudah kau tolak tujuh kali, dan sepotong papan di depan halaman dengan maklumat "awas anjing gila sudah setahun belum sembuh juga!". Bahkan merinduimu hal yang sulit untuk dilakukan. Tapi orang tak bisa selamanya berkhianat dalam segala hal, bukan? Apa lagi mengkhianati perasaannya sendiri.

Sementara waktu mungkin aku masih sanggup menjadi seorang pengkhianat. Biar kutimang-timang dulu rinduku sekarang, sampai jawara dan anjing gila diangkut polisi pamong praja. Kuajari dia duduk dan merangkak, barangkali mampu dia gapai pintumu. Jika pun tak sampai, biar kuajarkan dia jalan dan berlari, mungkin itu akan lebih cepat untuk menempuh jarak. Tak lupa kuajarkan juga dia bicara. Supaya tak tersasar ke halaman tujuan. Biar lekas dia besar, dan kau tahu betapa sungguh memupuk rindu itu seperti apa rasanya. Karena menjadi pengkhianat pun tak bisa kulakukan lama-lama, takut aku masuk neraka, walau hanya mengkhianati perasaan sendiri.

*23 Agustus 2015*

Pagi-pagi, aku, R, dan K, sibuk bersolek di depan pagar rumahmu: takut terlihat tak rapih. Hendak memberi kejutan, tapi malah kami bertiga yang senam jantung karena takut kau tak ada di rumah. Sudah berkali-kali kami sahut menyahut memanggil namamu, seperti paduan suara sekolah dasar di hari Senin: tak merdu, tapi ramai. Tuhan, jangan sampai keadaan ini berlangsung lebih dari lima menit, karena aku takut warga lain merasa terganggu dan kami diseret ke balai RT dengan dakwaan meresahkan masyrakat karena suara kami bertiga merusak ketentraman hidup orang banyak, doaku dalam hati. Aku buka gerbang rumahmu, masuk ke teras dan memanggilmu lagi. Bukan bermaksud kriminil, kan ini lebih baik daripada menjadi tontonan warga gara-gara teriakan kami. Putus Asa, kata itu tepat menggambarkan nasib kami saat ini. Jalan terakhir diambil, karena lima menit telah berlalu, akhirnya kami sepakat menelepon poselmu. Terimakasih Martin Cooper atas temuan telpon genggamnya. Kau pun membuka pintu dengan wajah sedikit agak terkejut, dan kemudian menuding kami jahat karena tak mengucapkan selamat ulang tahun pada tengah malam. Dasar tak tahu adat, menuding didahulukan, sedangkan berterimakasih untuk kejutan yang gagal ini malah belakangan.

Selamat ulang tahun, ini aku bawakan kue hasil patungan dengan teman-temanmu. Kan sesuai dengan pribahasa: berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Bahkan untuk beli kue dengan harga yang tak masuk akal, lebih ringan jika dilakukan dengan cara gotong royong. Hanya seutas senyum ranggas yang kusunggingkan yang tak dikumpulkan dengan patungan: senyum yang bisa patah kapan saja. Senyum sisa perasan keputusasaan yang tandas aku teguk saban malam. Sudah susah payah kukumpulkan kepingnya setiap hari. Sampai mati-matian berjihad melawan diriku sendiri hanya untuk tersenyum dihadapanmu. Tenanglah, aku tak mengharap apa-apa dari orang yang cintanya susah.

Selamat ulang tahun, semoga hidupmu lebih manis daripada jidat manismu, dan imanmu lebih keras daripada tempurung kepalamu. Tak ada lagi hadiah dan bunga untukmu di tahun ini, hanya sebatas doa-doa yang semoga saja Tuhan memurahkannya. Cukuplah Dollar yang saat ini mahalnya menulari alat-alat perabot rumah tangga, lauk pauk, elektronik, bahan bakar, ongkos angkutan, rumah sakit, pil KB, dan yang tak mungkin lagi disebutkan satu persatu, karena tak elok mengungkapkan kritik disini. Semoga doa tak ikut ketularan mahal gara-gara Dollar yang katanya semakin perkasa. Sampai gonjang-ganjing krismon turun ke warung kaki lima, dinikmati penganggur yang keranjingan kopi dan tembakau kemasan penyelamat devisa. Kan transaksi manusia zaman dahulu tak terpengaruh Dollar: mau tanah sepuluh hektar tinggal tukar satu kandang kerbau yang tak pernah ikut program keluarga berencana seumur hidupnya. Sungguh manusia zaman sekarang tertipu dengan angka-angka, termasuk aku.

*16 September 2015*

Mataku masih sangat lengket saat memasuki lift dan menekan angka empat: angka favoritku, angka yang dibenci bangsa tiongkok sedari taucang masih jadi tradisi seluruh umatnya. Teman-temanmu sudah berkumpul disana, menyapaku satu persatu. Aku balas sapa mereka dengan senyum: senyum ranggas. Sementara aku masih mengantuk sambil diliputi rasa kecewa karena merasa tertipu oleh iklan stasiun televisi yang mengabarkan hendak menayangkan pertandingan antara Manchester City VS Juventus. Ehh, pada saat jam yang ditunggu tiba malah Manchester United VS PSV Eindhoven yang ditayangkan. Kan hasil aku bergadang jadi sia-sia saja. Sudah kepalaku masih terasa sakit akibat berkali-kali melakukan simulasi sidang skripsi denganmu, ditambah kena gocek stasiun televisi. Bayangkan coba, sudah begadang sampai pagi buta, kan aku jadi lebih cocok sebagai pelantun tembang Kecewa daripada Bunga Citra Lestari karena nasib yang sudah menimpaku ini. Untuk sekedar pemberitahuan, aku penggemar Juventus, bukan klub Manchester. Dan Jerman, si Deutschland, Land der Ideen itu sia-sia saja menemukan aspirin pada akhir abad 19, karena ternyata tak dijual 24 jam di beberapa wilayah di Indonesia. Akibatnya aku harus menahan sakit kepala sampai subuh tiba. Selesai menghadap yang Maha Kuasa, aku tidur sejenak dan terbangun lagi jam tujuh pagi. Coba rasakan tidur seperti itu. Setelah mandi aku pergi ke Kampus untuk menyaksikan sidang skripsimu: sidang yang akan kau lalui dengan hikmat karena kita sudah melakukan simulasi berkali-kali dengan segala kemungkinan pertanyaan yang akan ditujukan kepadamu, bahkan lebih berat. Hanya kerasukan setan bisu yang akan menggagalkan kelulusanmu, tak lebih, tak kurang.

Dua puluh menit menunggu akhirnya sidangmu selesai juga. Wajahmu pucat mendekati mayat yang baru selesai berdandan ketika keluar dari ruangan yang terlihat lebih angker dari biasanya. Satu menit kemudian namamu dipanggil ulang untuk masuk ke dalam ruangan angker itu. Kau berdiri dengan menegak-negakkan badan di hadapan dosen-dosen penguji, sedangkan kakimu bergetar tak karuan seperti pohon kelapa yang hedak melarikan diri karena takut diterjang tsunami. Ketua penguji langsung berkicau menyampaikan hasil kesimpulan dari sidangmu, tak lebih dari satu menit, dan kau tersenyum-senyum bahagia. Perkiraanku tak akan meleset, kau pasti lulus, tapi untuk berdiri disana lima belas detik lebih lama, aku yakin kau pasti akan mengompol menahan perasaan yang tak karuan jadinya. Kau pun keluar ruangan yang lebih mirip tempat pengadilan itu dengan paras merekah-rekah, semua menyambut kebahagiaanmu. Teman-temanmu memberikan ucapan selamat tak henti-henti, dan aku, menjadi manusia terakhir yang memberikan selamat hanya agar tidak mengganggu momen antara kau dan teman-temanmu. Wajahmu semakin merekah-rekah tak karuan seperti jambu bol siap panen ketika kuberikan satu buket bunga. Satu buket bunga yang kehadirannya sebenarnya sangat misterius. Sudahlah. bagian kemisteriusan ini tak perlu diceritakan, karena aku sendiri hilang akal bagaimana cara menceritakannya.

Selamat. Sekali lagi selamat karena telah kau selesaikan kewajibanmu untuk meraih gelar strata satu. Aku adalah manusia yang paling bahagia atas keberhasilanmu setelah ibumu, ayahmu, kakak perempuanmu, kakak laki-lakimu, kakak iparmu, adikmu, nenekmu, kakekmu, tantemu, pamanmu, uwakmu, sepupumu, keponakanmu: tidak mungkin nampaknya, dia bahkan belum genap berusia dua tahun. Kebahagiaanku sungguh tak terkira, karena sudah tak ada lagi manusia yang akan menggangguku tidur hanya untuk diajari query SQL dan script PHP. Mulai hari ini, esok, dan selanjutnya, sudah dapat dipastikan bahwa aku akan mendapatkan kembali jatah tidurku yang sempat kau rampas.


*23 September 2015*

Malam sebelumnya kau beri kabar tak dapat menghadiri sidang skripsiku hari ini, kau bilang hendak ke bandara mengantar kakakmu. Aku tak bisa memilih banyak kata, selain sedikit memaksa agar kau bisa hadir jika memang sempat. Ini adalah hari dimana aku akan berada dalam ruangan angker yang pernah kau masuki seminggu sebelumnya. Pagi hari aku berangkat ke Kampus dengan merapal doa dalam hati: semoga kau sempat hadir. Biar kau saksikan dengan mata kepalamu sendiri bagaimana caraku melawan keangkeran yang diciptakan manusia.

Masih pagi hari, aku sedang ongkang-ongkang kaki menunggu giliran, ponselku berbunyi. Nomor baru, tak tahu dari siapa, aku angkat saja. Suaramu ada di ujung sana, menanyakan nasibku. Aku ceritakan takdirku, bahwa aku berada diurutan terakhir, dan mungkin kau masih bisa sempat menghadiri sidangku: masih memaksa. Ya, kalau sempat, katamu. Terus aku lanjutkan ongkang-ongkang kakiku, kau tutup telponmu. Lalu kau kirimi aku pesan agar jangan lupa beri kabar perkembangan sidangku. Kaupikir aku hendak melahirkan, bisa kutahu sekarang sudah pembukaan berapa? Jawabaku.

Siang hari tiba, mataku mengantuk karena semalam susah tidur. Dalam hati bersungut-sungut, kenapa harus dapat jatah terakhir sampai mengantuk begini menunggunya. Lalu pikiran melayang pada hal yang bukan-bukan, seperti dosen penguji akan habis-habisan mencecarku, mempermalukanku, dan yang terburuk tidak meluluskanku dihadapan banyak teman-temanku yang datang menghadiri sidangku. Ahh dasar manusia, kan memang begitu, paling pintar menduga-duga dan berburuk sangka.

Kepalaku mulai terasa menciut karena terhisap oleh perutku yang mengerucut menahan lapar. Badanku butuh banyak asupan energi untuk berpikir, sedangkan aku sedang belajar menunaikan ibadah puasa Arafah. Sebuah kontradiksi dengan ilmu biologi memang, tapi kan tak ada satu pun perkara yang dianjurkan dalam agama kecuali untuk kebaikan. Yak aku tahan-tahan saja laparku sampai cacing diperutku terasa hendak kabur karena beberapa temannya sudah mejemput ajal disebabkan krisis pangan. Sementara waktu aku masih bisa berdamai dengan laparku, sampai salah seorang temanku didapati kelebihan dua porsi pesanan Burger. Ya Allah, berilah hamba petunjuk: apakah ini sebuah rizki atau cobaan. Dengan awalan Bismillah, aku ambil satu dan kumakan dengan lahapnya tanpa banyak cincong. Semoga Allah mengampuni dosaku, dalam hati berdoa.

Rambut kelimis dipaksa tertidur rapi ke sisi kiri oleh pomade, celana hitam, sepatu hitam, batik merah hati dengan corak warna emas dan putih: milik ayahmu. Ahh, ini dia: waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Namaku dipanggil masuk juga. Kubawa semua kertas catatan, skripsi, laptop dan perkakas-perkakas lainnya. Aku berdiri tegak di hadapan penguji yang, sebenarnya terlihat lucu saat itu. Aku menoleh ke sisi luar memastikan kehadiranmu, tetap tak ada. Orang-orang berdiri melihatku, entah apa yang ada dipikiran mereka. Dugaanku mereka sedang bertaruh bahwa aku tidak akan lulus. Aku jadi gugup sendiri gara-gara ulahku yang seenak jidat menduga-duga orang itu. Lima belas menit saja, sudah cukup untuk membuat aku keluar dari ruangan itu dan mendapatkan kembali nafas yang tadi sempat berubah jadi sesak. Lalu seperti kau waktu itu, namaku dipanggil lagi, dan mendengar ketua penguji berkicau, dan hasilnya aku lulus. Terimakasih Ya Allah.

Sidang selesai dan ditutup, waktu Ashar tiba. Menghadap Tuhan dan bersyukur atas nikmat hari ini tak boleh dilewatkan. Setelah selesai, di depan Mushola ponselku berbunyi, telpon darimu. Cie, selamat ya sudah lulus, kata pertama darimu. Kau bilang, kau masih dijalan dan tak bisa datang karena terjebak macet sedari bandara mula, dan K memberitahumu bahwa aku sudah lulus. Saat itu K memang tiba-tiba saja ada, entah dari bumi bagian mana kehadirannya, tiba-tiba saja dia ada, tapi kau tetap tak ada.

*4 Oktober 2015*

Selamat ulang tahun, tulismu pada sebuah pesan singkat di ponselku. Kita ada janji pergi ke toko buku sore ini, bukan? Baiklah, biar aku mandi dulu, biar kutuang isi hatiku yang terlalu penuh. Kan yang kosong bisa lebih mudah untuk diisi, kan? Aku pun datang ke rumahmu selepas Maghrib, pakai baju kotak-kotak yang lupa kuhitung ada berapa banyak kotaknya. Aku takut kau tak sabar menungguku menghitung, nanti terlalu malam kan alasanmu. Kau bertanya, mau pakai motor mana? Ahh, pertanyaan yang baru kudengar sepanjang mengenalmu. Biasanya kau selalu jijik naik sepeda motorku kan? Katamu sepeda motorku lebih mirip sepeda motor mainan. Kupilih sepeda motormu, karena aku tak membawa surat-surat sepeda motorku yang masih mangkrak di biro jasa sehabis bayar pajak, belum kuambil.

Kita berangkat dengan hikmat, dengan caraku mengendarai sepeda motor yang lebih mirip pencuri ugal-ugalan. Traffic light berwana merah, sebagai pengendara yang tertib aku berhenti. Polisi pengatur lalu lintas uring-uringan memberhentikan satu persatu pengendara, padahal tak ada papan pemberitahuan operasi: menyalahgunakan wewenang. Belum dua puluh detik berhenti, polisi datang menghampiri dan meminta kita menepi. Ada apa pak? Tanyaku. Plat nomornya mati. Di tepi jalan kau jelaskan bahwa sebenarnya pajaknya sudah kaubayar, hanya samsat setempat belum mengeluarkan plat baru untukmu. Polisi itu minta kelengkapan surat-surat sebagai bukti ucapanmu, dan tak lupa memintaku menunjukan SIM. Sial, Polisi itu tahu kelemahanku. Aku kalah dalam perkara ini karena aku tak punya SIM, akhirnya lima puluh ribu melayang hanya agar tidak ditilang. Aku dan Polisi sekongkol suap-menyuap, sedang kamu menggerutu tak karuan seperti ibu-ibu takut tak dapat uang belanja. Aku tertawa-tawa saja.

Kita sampai di toko buku. Kau masih menggerutu mengutuki Polisi tadi. Aku terdiam sejenak menikmati bau buku di ruangan ini yang seperti bau surga, dan melihatmu di depanku dengan baju ungu itu seperti melihat bidadari di dalam surga: surga buku. Aku pernah membayangkan suatu saat nanti ingin memiliki sebuah rumah yang di dalamnya terdapat sebuah perpustakaan dengan berbagai macam buku yang mengeluarkan baunya yang khas, bau cendikiawan. Apa ada yang lebih menyenangkan daripada memunguti buah pikiran dari seorang penulis? Buah dari pengkhayatan kehidupan yang total dan mendetail.

Aku menatapmu lagi, bertanya-tanya dalam gelisah: untuk siapa kau bersolek? Untuk aku kah? Atau untuk surga ini? Atau untuk dirimu sendiri? Pertanyan itu berulang-ulang berputar di kepalaku seperti logika perulangan dan percabangan yang digabungkan dalam pengkodingan. Rindu itu sudah sampai pada halaman yang ditujunya, tak tersasar dan tak salah alamat. Rindu itu bersemi dan merekah di dalam surga buku yang membungkus kata-kata untuk terdiam. Menyelinap di antara rak-rak buku, dan liar beterbangan kesana kemari seperti kapuk di musim kemarau. Kubelikan kau Bulan, sebagai kado ulang tahunmu yang tertunda cukup lama. Kau bilang kan aku yang ulang tahun, kenapa aku yang memberimu kado? Aku hanya tersenyum, biar Bulan yang berkata-kata.

****



"Betapa tidak menguji ketabahan, jika sesuatu yang seolah-olah sudah seperti cinta masih juga tidak memberi jaminan kebahagiaan?" - Seno Gumira Ajidarma: Linguae





Con Amore...
Thanks for reading... 

Kamis, 20 November 2014

Ingin Menikmati Senja

Apa lagi? Kesempatan sudah hilang, ditimbang sayang, ditimang malah terbuang. Bunga yang layu tetap layu, tinggal menunggu mati, walaupun disiram berulang kali. Yang tersisa hanya durinya, semakin digenggam semakin mendalam, hanya memberi pesakitan, puan. Sudahlah, sudah, jalan masih panjang, puan. Bukankah puan pernah bilang, jika memang jodoh tak akan pergi kemana. Sekarang saya mau pergi, mungkin saya bukan jodoh puan.

Saya ingin pergi ke pantai, menghampiri senja, senja yang tak hilang-hilang. Setiap hari saya bisa bermain disana, berlari-lari, berenang, bersenang-senang di pantai yang airnya selalu tampak merah ditimpa senja. Tak pernah ada malam, senja tak pernah beranjak dari sana, setiap waktu saya bahagia, bahagia bersama senja. Jangan ikut saya, saya tak mau kebahagiaan saya terganggu karena puan. Saya tak bisa lagi berpura-pura pada puan, saya sudah bosan. Saya ingin disini saja, di pantai, ditemani senja. Karena semua yang ada disini bahagia, disini semua terampil dan apa adanya, tidak harus berpura-pura.

Puan, maaf saya harus pergi, maaf. Bukankah juga dulu puan yang tidak menginginkan saya. Jadi jangan lagi mengharapkan apa pun dari saya, sedikit pun, secuil pun. Kita hanya orang asing, dengan sedikit kenangan yang tak perlu dikenang. Kita bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, jadi tak harus ada yang merasa terluka bukan? Jangan buntuti saya lagi, di dunia merk apa pun. Saya akan ke pantai, menikmati senja. Selamat tinggal.






Thanks for reading...

Jumat, 03 Oktober 2014

Sabtu Pagi

Selalu ada yang aku tunggu-tunggu setiap kali Oktober datang, bahkan lebih dari hari ulang tahunku. Secara tidak sengaja dan agak gila, aku pikir Billie Joe Armstrong mengarang lagu Wake Me Up When September Ends itu khusus untukku. Ya, untukku, orang di negeri antah berantah yang bahkan tukang parkir di kampus yang hampir setiap hari aku beri uang saja tak pernah tahu namaku, lalu berpikiran bahwa vokalis Green Day itu menulis lagu khusus untukku. Sudah sangat radikal caraku berpikir gila.

Aku mungkin bukan satu-satunya manusia di jagat raya ini yang paling berbahagia ketika September berakhir, tapi aku adalah satu-satunya orang yang paling berbahagia menunggu hujan datang di sore hari sehabis Ashar dan mulai riuh menjelang Maghrib pada bulan Oktober, dan berhenti ketika Iqomah mulai dikumandangan. Bahkan aku sedikit agak tidak peduli pada ulang tahunkku yang hanya tinggal esok hari. Gila. Mungkin. Tapi hujan bulan Oktober mampu membawa rindu pulang dari perasingan, melindapkan debu dijalan-jalan setapak, mengantar kunang-kunang dengan cahaya temaram menari disisa air kubangan pada malam.

Walau hujan di bulan Oktober tak lebih puitis dari hujan bulan juni milik Sapardi, tapi hujan bulan Oktober adalah hadiah bagiku, hadiah ulang tahun dari Tuhan: yang airnya turun dan bias di jendela kamar, sisanya turun ke tanah, dan menimbulkan bau-bau khas aroma kemarau yang luluh lantah diserbu serdadu dari langit basah. Pada saat itu aku akan berhenti, berhenti untuk berpikir, dan menikmati segala yang Tuhan berikan dari langit. Pada saat itu, semua kenangan datang, semua rindu pulang, tangkai-tangkai yang ditingal gugur oleh daun kembali bertunas, burung-burung bersarang, perahu kertas kembali berlayar, selokan kembali terisi, katak-katak bernyanyi dan kawin, bulan syahdu dan bintang gemintang sedikit malu-malu, nelayan asik mengais si bungsu. Semua kata berbicara, dan puisi-puisi membuat bait-bait tanpa sepengetahuan sang penyair. Ibu-ibu menggerutu karena jemurannya lupa diangkat. Ada juga yang asyik berteduh dibengkel-bengkel pinggir jalan sambil merapih-rapihkan pakaian, siapa tahu dapat kenalan. Tukang ojek bingung karena tak bawa jas hujan, padahal anaknya dua hari lagi harus bayar cicilan sekolah, akhirnya kejar setoran sambil basah-basahan, karena penumpangnya juga dikejar waktu gara-gara anaknya sakit perut di rumah.

Aku masih menunggu hujan bulan Oktober, sambil menemani beberapa rindu yang sudah mulai pulang. Aku ajaknya berbicara beberapa kata: menanyakan kabarnya dan mengajaknya bercanda. Mungkin ini yang dimaksudkan dalam lirik lagu Hotel California yang melegenda itu---you can check out anytime you like, but you can never leave. Barangkali nanti di Sabtu pagi bukan hanya ucapan selamat ulang tahun yang sangat basi yang aku dapat, tapi juga hujan bulan Oktober.





Thanks for reading...