Aku memang terlalu jujur saat ketika kamu bertanya tentang sahabatmu yang pernah menjadi kekasihku. Tiba-tiba saja lidahku seperti dilumuri oleh liurmu. Tak mampu menolak, aku menuruti semua perintahmu. Tak kusangka ternyata manis mengandung tuba. Berani ternyata membawa mati. Aku dihukum atas kejujuranku. Aku dilaknat atas apa yang pernah aku perbuat. Membuatmu berang karena ternyata berpacaran dengannya hanya untuk menikmati cinta butaku padamu. Aih Tuhan, lelucon apa lagi ini.
Seribu kunang-kunang terbang mengitari inai-inai, dan kamu adalah salah satu dari mereka yang bergerak pulang dengan cahaya temaram yang hampir buyar tertimpa embun. Aku mengikutimu, walau sering tertinggal karena menguntit dari belakang.
Aku ingin pulang ke satu tempat yang kusebut rumah. Aku ingin masuk kedalamnya: duduk di sofa sambil menonton tv dengan secangkir kopi. Rumah dengan segala isi yang penuh kesederhanaan dan kenyamanan: kamu. Walau kamu coba menutup pintu untukku karena kisah kelam dengan sahabatmu. Tapi rumah hanya satu. Hanya kamu yang bebas datang dan pergi tapi aku masih ingin menunggu. Hanya kamu meski diabaikan berkali-kali aku tetap tak tahu diri selalu berpuisi.
Dasar lelaki kepala batu, mungkin begitu pikirmu.
Con amore....
Thanks for reading...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar