Jumat, 29 November 2013

Asumsi-Asumsi Kosong

Baru saja sejenak berhenti untuk tidak berpikir, berhenti untuk tidak merasakan apa pun kecuali tenang. Baru saja sedetik yang lalu aku merasa seperti di dalam sebuah gua yang sunyi tanpa seorang pun yang menemani. Baru saja mataku terpejam dan menikmati suara gemiricik air yang menggaung merdu diantara stalagtit dan stalagmit. Semuanya baru saja dan sekarang berubah.

Aku nyalakan lagi rokokku yang sebelumnya bersembunyi dibalik saku. Kerumitan dimulai lagi disini. Mari bersulang kataku pada cermin angkuh yang menjiplak semua gerakanku. Aku minum lagi secangkir kopi yang sudah mulai bosan menemaniku. Sebentar lagi aku yakin kopi ini akan protes karena hanya sering kubawa dalam tulisanku. Nyatanya aku memang jarang meminum kopi saat menulis. Aku memang pembohong ulung untuk urusan kopi.

Aku sudah muak dengan segala asumsi-asumsi tentang arti kedewasaan. Perutku mulai mual untuk mendengar segala hipotesa yang tak bisa diwujudkan secara nyata. Otak-otak dangkal dengan misi pembenaran diri sendiri tanpa mengakui kekurangan masing-masing. Kenapa tak bisa kita terima segala keburukan orang lain yang dilakukan kepada kita? Segala masalah yang ada dalam kehidupan adalah proses peningkatan kualitas hidup. Meratapinya hanya akan membuat otak kita bebal dan hati menjadi brutal.

Kita terlalu pintar untuk berkelit dalam kemunafikan. Menangguhkan kesalahan atas nama kebenaran agar diri sendiri merasa puas dan diakui. Sesekali memang mengalah dan mengaku salah, tapi bukan karena menyadari segala kesalahan kita. Melainkan karena tak ada lagi kata yang bisa kita jadikan senjata, atau jangan-jangan karena kita sudah terkulai lemah akibat tertusuk oleh tajamnya lidah yang mengungkapkan kebenaran.

Sebentar, aku harus menghisap lagi rokokku. Akalku mulai bebal karena menulis sesuatu yang terlalu berat untuk aku jabarkan, tapi hal frontal seperti ini memang harus dilakukan. Agar beberapa dari kita tercambuk dan sadar, bahwa kita hanya ditugaskan untuk menghamba pada Tuhan bukan berkompetisi merasa paling benar. Orang-orang lemah seperti kita kadang terlalu sombong dan lupa pada Tuhan dan menganggap dirinya paling benar. Jika sombong diperbolehkan, akan kusombongkan agama bapakku!

Aku sudah lelah dengan segala bentuk bualan dan omong kosong untuk membela diri sendiri dari bentuk kesalahan. Kenapa kita tak belajar dari Kan'aan yang mati tenggelam karena dengan sombongnya merasa paling benar atas asumsi-asumsinya yang salah terhadap Nuh A.S?




















Thanks for reading.....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar