Sabtu, 22 Februari 2014

Kuburan Kenangan

Ahh dasar tamu tak tahu malu, baru mau ditinggal sebentar sudah asik nongkrong di depan komputer. Ahh dasar tamu, suka bikin repot yang punya rumah. Jauh - jauh datang dari perbatasan Bogor - Bekasi cuma mau numpang merepotkan. Sudah bagus bisa belajar dan dapat ilmu di Padepokan, tapi masih mau lebih. Ahh dasar tamu.

Dulu semasa aku masih jadi santri di Pesantren Sirojul Huda, Padepokan ini adalah tempat aku sembunyi-sembunyi untuk merokok dan minum kopi. Dulu tempat ini masih belum jadi sebuah padepokan, aku bolos sekolah pun tidur di dalam salah satu ruangan di Padepokan ini. Entahlah, aku tak layak juga disebut santri, pesantren hanya tujuh bulan, maka aku malu menyebut diriku santri atau pun bekas santri. Wong selama di pesantren sudah seperti orang numpang tidur dan makan saja kerjaku. Jauh - jauh merantau sudah seperti turis lokal saja jadinya, alhasil ilmu yang di dapat pun seadanya saja. Jadi kenangan selama aku tinggal di pesantren kurang lebih seperti itu.

Ahh kenangan, sebelum aku ditinggal pemilik padepokan aku masih sempat - sempatnya membantu dia melipat kenangan. Kenangan tentang dia dan mantan kekasihnya, bukan kenanganku selama tinggal di pesantren. Namanya juga kenangan, yak untuk dikenang, bukan untuk disimpan. Jika ada bank yang menerima penyimpanan kenangan, mungkin bank itu akan menjadi bank dengan nasabah terbanyak sejagat raya.

Aku jadi mengingat kenangan kemarin sewaktu menyambangi Fujitsu Service Center. Sesampainya disana pas waktu dzuhur tiba. Allah sudah meminta hamba - hambanya menghadap lewat kumandang merdu adzan suara Billal. Apa hendak dikata, kewajiban untuk menghadap Allah harus segala dilaksanakan sebelum nanti tahu - tahu diminta segera pulang. Beruntung di tower yang menjulang tinggi itu masih ada mushola, jadi tak perlu repot - repot cari mushola atau mesjid. Walaupun keberadaannya tersudutkan dan berada di sebuah basement. Datang berdua dengan seorang wanita yang rela kesasar berkali - kali dan jadi seorang navigator dengan petunjuk peta digital pada sebuah gadget. Beginilah kehidupan yang aku jalani, di mana pun dan bersama siapa pun, aku tetaplah seorang anak udik. Jakarta yang hanya sebesar kotak korek api di peta NKRI semasa aku SD mampu dengan gagah mempecundangi diriku.

Di depan muka basement aku sempat linglung, kok yang dari tadi lalu lalang cuma kaum lelaki. Padahal ada juga mushola wanita disana. Ealah, tahunya toilet dan tempat wudhu wanita terkunci, mungkin itu salah satu sebabnya tak ada wanita yang mondar - mandir disekitar basement ini. Lah terus wanita yang dari tadi bersamaku ini mau wudhu di mana? Kepalaku jadi mendadak bingung. Aku menghampiri pos security dan bertanya untuk mendapatkan solusi dari permasalahan ini. Karena kepepet jadi cuma bisa wudhu di tempat lelaki. Akhirnya salah satu orang di pos security mengantar dan menunggu di pintu tempat wudhu untuk menunggu wanita yang dari tadi bersamaku berwudhu. Aku juga ikut menunggu, sampai wudhu selesai aku masih menunggu, sampai ia selesai sholat.

Wanita itu sempat bingung mau wudhu di tempat wudhu kaum lelaki karena dia bilang harus buka kerudung. Padahal sudah aku bilang kalau boleh mencuci rambut hanya sehelai saja, aku waktu dulu di pesantren pernah mendengar Kyai-ku berkata seperti itu ketika ngaji bab wudhu di kitab yang aku lupa namanya. Entahlah bagaimana tadi dia berwudhu, tahu - tahu sudah selesai, aku tak melihat, aku tak juga punya hobi ngintip.

Tadi ketika sampai di Padepokan dan mulai ngaji aku coba - coba berani bertanya kepada salah satu guruku. Takut nanti aku salah dengar tentang wudhu yang boleh hanya mencuci sehelai rambut saja. Beliau berkata bahwa benar memang boleh mencuci rambut hanya sehelai saja dan dibagian mana saja, tapi kalau bisa, kalau sedang dalam keadaan terpaksa saja dilaksanakannya. Bahkan wudhu pun boleh dicicil, maksudnya, jika seandainya berwudhu hanya sampai muka di suatu tempat masih bisa dilanjutkan di tempat lain sisanya sampai tertib. Itu pun jika belum batal cicilan wudhu yang sebelumnya. Nah kan, Allah tak pernah merepotkan hamba - hambaNya yang hendak beribadah.

Ealah yang punya padepokan sudah mau bergegas berangkat ke pasar. Ini aku berikan kenangan yang tadi aku bantu lipat - lipat. Sebelum dia menuruni tangga padepokan aku ucapkan "selamat mengubur kenangan". Matanya berkaca - kaca, semoga lekas dia kubur lipatan - lipatan kenangan dalam taman pemakaman hatinya. Jadi kalau nanti mau mengenang lagi tak usah repot - repot cari kemana - mana, tinggal gali saja kuburannya.












Thanks for reading....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar