Sabtu, 01 Februari 2014

Seandainya Bisa, Aku Ingin Menjadi Secangkir Kopi Saja

Seandainya bisa, aku ingin menjadi secangkir kopi saja.
Yang katanya sebagai bentuk penghargaan sederhana. Diciptakan untuk semua golongan: muda, dewasa, tua, kaya, miskin, melarat, Kyai, santri, karyawan, komisaris, manusia, dan khodam. Tak pernah pilih-pilih ada dimana dan bersama siapa, takdir dari Tuhan adalah sesuatu yang mutlak untuk ditaati.

Seandainya bisa, aku ingin menjadi secangkir kopi saja.
Hadir disembarang waktu, entah di pagi yang riuh-riuh minta sesuatu yang hangat, atau siang dengan terik yang kadang tak bersahabat. Kadang pada malam hari untuk teman menunggu lagi sang pagi. Waktu jadi sesuatu yang bisa dinikmati.

Seandainya bisa, aku ingin menjadi secangkir kopi saja.
Yang tersaji disembarang meja. Tak peduli di hotel bintang lima dengan fasilitas super lengkap dan sempurna, atau di atas meja sebuah rumah yang temboknya hanya dari bilik bambu dan atap yang selalu menangis tersedu sedan karena tak sanggup menahan derasnya hujan yang berbondong-bondong hendak bertamu. Tetap ada, selalu tersaji dengan hangat tanpa banyak protes.

Seandainya bisa, aku ingin menjadi secangkir kopi saja.
Bersama pekikan kebahagiaan sederhana milik orang-orang yang duduk di warung pinggir jalan, dan pengapnya asap rokok yang lalu lalang keluar masuk mulut seseorang yang sering dianggap sampah oleh orang-orang yang hidupnya tak kenal susah, tapi sulit berteman dengan kebahagiaan.

Seandainya bisa, aku ingin menjadi secangkir kopi saja.
Menemani remaja yang menebak-nebak masa depannya. Menemani seorang bapak yang bingung karena bayaran SPP anaknya nunggak tiga bulan. Menemani preman yang sedang menghitung dosa dan hendak bertaubat. Menemani seseorang yang menghitung-hitung sisa usianya setelah divonis oleh dokter yang berlaga seperti Ijroil. Menemani ulama yang mengajar ngaji di mesjid-mesjid dengan santri-santrinya. Menemani tukang becak yang malu pulang karena belum dapat uang untuk belanja besok. Menemani para penulis merangkai karya-karyanya.

Seandainya bisa, aku ingin menjadi secangkir kopi saja.
Tak pernah banyak tingkah ketika digenggam lembut oleh tangan wanita, atau dicekik kasar oleh tangan lelaki yang tak berperasaan. Tenang di dalam cangkir dengan segala bentuk dan rupa, dan tetap tersaji meski sendiri.

Seandainya bisa, aku ingin menjadi secangkir kopi saja.
Pahit atau manis tetap saja ada yang suka. Pekat atau encer semua tergantung selera. Tapi tetap bernama kopi, walau dicampur arang, susu, cokelat, mocca, atau topping jenis lainnya.

Seandainya bisa, aku ingin menjadi secangkir kopi saja.
Tapi katanya jadi diri sendiri selalu lebih baik, karena hidup terlalu singkat untuk menjadi orang lain. Tapi aku ingin menjadi secangkir kopi! Seandainya bisa... Atau jadilah seperti secangkir kopi dengan diri sendiri, mungkin itu lebih baik.













Thanks for reading...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar