Jadi setelah perjalanan kemarin semuanya jadi serba tak biasa. Biasanya kita sering berpanjang lebar lewat telepon genggam, tapi sekarang jadi singkat - singkat saja. Aku jadi mengejar dan mencari tahu kesalahan yang tidak aku tahu. Barangkali memang aku yang bersalah, jadi aku coba cari - cari tahu dimana letak kesalahanku. Setiap malam jadi seperti orang linglung saja kerjaku. Kadang aku terbaring di atas kasur dan bertatap mata dengan langit - langit kamar yang dihuni oleh segerombolan tikus - tikus sialan. Sesekali aku merusak acara gerombolan tikus yang mungkin sedang arisan keluarga tepat di atas kepalaku dengan stick golf nomor sembilan yang ada di kamar. Aku juga sering bolak - balik akunmu untuk sekedar mencari tahu kenapa dan apa yang terjadi.
Sekarang aku membongkar tumpukan - tumpukan gelisah dalam almari yang beberapa hari sangat berantakan isinya. Kini yang tersisa hanya kata - kata kemarin malam yang aku tabung bersama tumpukan abu di dalam asbak. Di dalam kata - kata itu ada aku. Sekumpulan aku yang lupa mengantuk dan tak ingat waktu. Waktu di dalam kamarku sudah lama mati kehabisan energi, jarum pendeknya berlaga gagah mengarah ke angka dua belas dan jarum panjangnya bergelayut diangka dua. Kalau lupa waktu aku sering menunggu adzan dari mesjid - mesjid di dekat rumah, jadi aku tahu sekarang sudah jam berapa. Waktu terasa semakin singkat saja jadinya ketika adzan sudah berkumandang.
Tapi yang terasa singkat bukan hanya waktu saja yang baru diajak melamun sebentar sudah terdengar adzan lagi. Kata - kata darimu juga semakin singkat saja jadinya, padahal aku punya banyak kata untukmu. Mungkin kata - kata yang pernah aku tabung akan aku jadikan deposito saja. Biasanya deposito menawarkan bunga yang menggiurkan untuk si nasabah. Kalau bunganya sudah banyak dan indah nanti aku rangkai jadi seikat puisi untukmu.
Kalau malam tiba yang sering melamun bukan cuma aku saja, ternyata telepon genggamku pun sekarang jadi hobi melamun. Biasanya telepon genggamku bawel dan teriak - teriak kalau ada pesan darimu, seperti bayi tiga bulan, maunya di manja dan ditekan - tekan lembut bagian hidungnya. Aku takut telepon genggamku tiba - tiba kesurupan, soalnya kalau melamun suka disembarang tempat dan kadang susah dicari gara - gara tak pernah mengeluarkan suara.
Laptop-ku kalau malam sering usil dan juga sering bercanda mengikuti candaan puisi Pemulung Kecil karya Joko Pinurbo: "Jaman sudah susah begini siapa suruh jadi penyair? Sudah hampir pagi masih juga sibuk melamun. Lebih enak jadi teman penyair." Memang yang paling enak jadi teman penyair, tinggal baca saja, tak perlu sibuk memungut - mungut kata. Aku bilang kalau aku tak hanya memungut kata, aku juga menanam kata dalam tubuhku, jadi setiap kata adalah aku. Aku butuh pupuk untuk terus bersemi, agar tak ranggas dimakan waktu.
Waktu sudah termanggut - manggut karena menahan kantuk, aku kira waktu setuju dengan tulisanku ini, tahu - tahu waktu lelah aku ajak begadang. Padahal untuk menulis ini aku harus menyentuh peluh yang mulai membiru. Bintang - gemintang satu persatu gugur dari atap langit, karena tak sanggup lagi menggantung saat fajar dan embun menyapa pagi. Akhirnya aku kuras sisa keringat dari hati yang mondar - mandir dalam lamunan malam dengan ayat - ayat Al-qur'an.
Cinta itu indah,.........., terlalu indah, yang bisa didapat dalam hidup manusia yang pendek ini (Pramaoedya Ananta Toer - Bumi Manusia)
Con Amor
Thanks for reading...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar