Jumat, 28 Februari 2014

Saya, Anda, Esensi, Bahagia....

Untuk pertama kalinya selama menulis saya akan menggunakan kata "saya" dan "Anda". Semenjak menyenangi esensi, sebenarnya saya tidak terlalu suka menggunakan kata "Anda" kecuali mungkin jika sedang dalam keadaan tertentu yang berkaitan dengan tingkat emosi. Maaf, bukan saya tidak menghormati Rosihan Anwar yang mungkin pada tahun 1958 bersusah payah menemukan kata "Anda" sebagai kata ganti orang kedua tunggal, tapi sejujurnya kata "kamu" lebih terkesan sangat dekat dan bersahabat seperti kebiasaan banyak orang di daerah Jawa Tengah terutama Solo atau Yogya dan sekitarnya yang biasa menggunakannya dalam keseharian.

Baiklah, nampaknya beberapa orang tidak peduli dengan sejarah kata "Anda" dan kenapa "Anda" ditulis dengan huruf kapital seperti kata "Sie" pada bahasa Jerman. Untuk tulisan ini saya akan menggunakan kata "saya" dan "Anda", itulah pengumuman sebenarnya.

Saya sangat tertarik dengan buku The Geography Of Bliss karya Eric Weiner. Saya sudah beberapa kali membacanya, kisah seorang penggerutu yang berkeliling dunia untuk mencari kebahagiaan. Kutipan dari Paul Theroux pada halaman awal buku itu membuat saya selalu terkesima. "Perjalanan itu bersifat pribadi. Kalaupun aku berjalan bersamamu, perjalananmu bukanlah perjalananku." Beberapa orang yang selalu menggantungkan hidupnya kepada orang lain sangatlah riskan dalam kasus ini. Bukankah setiap orang punya tujuan tertentu dalam hidupnya, dan setiap tujuan itu tak selalu sama dalam persepsi setiap kepala.

Sebelum melanjutkan membaca tulisan ini saya sarankan untuk membuka dulu pikiran kalian. Sastra dalam kepala saya berarti jamak, karena setiap kata dan kalimat akan memiliki arti yang luas. Saya sangat penasaran dan terkagum pada cerita teman saya tentang saudaranya yang kuliah di Jerman. Tentang tradisi membaca dan membawa buku setiap hari. Bahkan di dalam angkutan umum orang-orang Jerman mengisi waktunya dengan membaca buku. Bandingkan dengan Indonesia, terutama Jakarta, di dalam angkutan umum semua orang berlomba mendapatkan sinyal HSDPA untuk ritual bersama akun-akunnya. Di Indonesia, menurut perhitungan saya rata-rata mahasiswa membaca buku selama empat jam ketika waktu tersisa delapan belas jam lagi menuju ujian dimulai. Seperti kereta ekspres yang berjalan tengah malam, semua halaman dibaca tanpa peduli tanda baca yang ada. Bukan untuk mengerti, tapi hafal.

Kelebihan dan kekurangan kita sebagai orang Indonesia adalah "hafal". Bahkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika dalam genggaman garuda pun yang seharusnya menjadi landasan idiil negara sudah seperti lirik lagu bahasa asing, hafal dan tapi tidak mengerti. Saya masih ingat teman saya tertawa terbahak-bahak di dalam kelas ketika saya berkata bahwa sila ketiga adalah Indonesia kompak. Kenapa kata-kata sederhana yang mudah dimengerti selalu dianggap lelucon oleh bangsa kita. Beberapa orang mungkin menganggap Gus Dur sedang guyon ketika mengatakan "DPR kok seperti anak TK." Untuk sebagian orang itu mungkin sekedar lelucon, tapi sebagian yang berpikir itu adalah kritik pedas. Mungkin karena durasi membaca yang kurang atau karena materi yang kita baca adalah hal yang selalu kita inginkan, maka setiap hal harus berjalan sesuai dengan apa yang kita kehendaki. Saya rasa faktor itu yang membuat kebanyakan dari kita terlambat dalam hal mengembangkan pola pikir

Kembali ke buku The Geography Of Bliss, saya sangat menyukai buku itu, terutama pada bab Qatar. Bagaimana seorang Eric Weiner menulis beberapa kajian tentang Islam dengan sangat berani, jika melihat bahwa dirinya bukanlah seorang muslim. Bahkan keberaniannya menganggap keliru Jean-Paul Sartre seorang eksistensialis Perancis perlu diacungi jempol. Beberapa dialognya dengan orang-orang Al-Jaziira sangatlah saya sukai. "Jika Anda ingin mengetahui kebahagiaan sejati, Anda harus menjadi seorang muslim. Anda hendaknya percaya dan tahu bahwa segala sesuatu berada di tangan Tuhan. Anda akan mendapatkan apa yang Allah telah tuliskan untuk Anda. Ya, Anda harus menjadi seorang muslim jika Anda ingin mengetahui kebahagiaan." Bagaimana pun kebahagian memang sangat berkaitan erat dengan kepercayaan. Dalam agama saya, saya diperintahkan untuk berusaha mengubah nasib saya sendiri. Saya juga diperintahkan untuk tetap bersyukur kepada Allah dengan apa yang saya punya dan saya dapatkan. Mungkin salah satu sebab kita kurang merasa bahagia adalah karena kurang bersyukur. Di Jakarta tempat saya menempuh pendidikan strata satu, semua hal belangsung layaknya seperti kompetisi. Setiap hari orang-orang selalu berubah dan berkeinginan menjadi seorang pemenang dimulai dari bangun tidur sampai kembali tidur. Rasa syukur jadi berkurang, yang bertambah malah strategi-strategi yang kurang waras. Kompetisi itu baik untuk meningkatkan kualitas hidup, bahakan Tuhan menganjurkan kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Tapi kompetisi yang terjadi di Jakarta sangatlah tidak baik dan kebanyakan bukan dalam kebaikan, hasilnya adalah kesenjangan sosial bagi kebanyakan orang. Menurut sangkaan saya, orang yang berada di Jakarta adalah orang-orang salah kaprah, bahkan banyak yang posisi otaknya salah.

Tadi siang saya dapat telepon dari nomor yang saya tidak tahu asalnya. Kemarin saya memang membuat janji dengan salah satu receptionist di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, tapi sayang panggilannya tak terjawab. Tepat sebelum paragraf ini dibuat saya menelepon balik nomor itu, dan berbincang dengan salah satu orang yang saya sangat kenal suaranya, itu adalah suara wanita. Saya berani bertaruh itu adalah suara wanita. Baiklah sekarang saya akan menunggu lagi kabar apakah saya resmi diterima atau tidak magang di lembaga tersebut, karena gara-gara saya tidak menjawab panggilan tersebut akhirnya saya dijadikan pertimbangan olehnya.












Kita tidak bisa menyamakn kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan - Dee, Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade










Thanks for reading... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar