Kamis, 20 November 2014

Ingin Menikmati Senja

Apa lagi? Kesempatan sudah hilang, ditimbang sayang, ditimang malah terbuang. Bunga yang layu tetap layu, tinggal menunggu mati, walaupun disiram berulang kali. Yang tersisa hanya durinya, semakin digenggam semakin mendalam, hanya memberi pesakitan, puan. Sudahlah, sudah, jalan masih panjang, puan. Bukankah puan pernah bilang, jika memang jodoh tak akan pergi kemana. Sekarang saya mau pergi, mungkin saya bukan jodoh puan.

Saya ingin pergi ke pantai, menghampiri senja, senja yang tak hilang-hilang. Setiap hari saya bisa bermain disana, berlari-lari, berenang, bersenang-senang di pantai yang airnya selalu tampak merah ditimpa senja. Tak pernah ada malam, senja tak pernah beranjak dari sana, setiap waktu saya bahagia, bahagia bersama senja. Jangan ikut saya, saya tak mau kebahagiaan saya terganggu karena puan. Saya tak bisa lagi berpura-pura pada puan, saya sudah bosan. Saya ingin disini saja, di pantai, ditemani senja. Karena semua yang ada disini bahagia, disini semua terampil dan apa adanya, tidak harus berpura-pura.

Puan, maaf saya harus pergi, maaf. Bukankah juga dulu puan yang tidak menginginkan saya. Jadi jangan lagi mengharapkan apa pun dari saya, sedikit pun, secuil pun. Kita hanya orang asing, dengan sedikit kenangan yang tak perlu dikenang. Kita bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, jadi tak harus ada yang merasa terluka bukan? Jangan buntuti saya lagi, di dunia merk apa pun. Saya akan ke pantai, menikmati senja. Selamat tinggal.






Thanks for reading...

Jumat, 03 Oktober 2014

Sabtu Pagi

Selalu ada yang aku tunggu-tunggu setiap kali Oktober datang, bahkan lebih dari hari ulang tahunku. Secara tidak sengaja dan agak gila, aku pikir Billie Joe Armstrong mengarang lagu Wake Me Up When September Ends itu khusus untukku. Ya, untukku, orang di negeri antah berantah yang bahkan tukang parkir di kampus yang hampir setiap hari aku beri uang saja tak pernah tahu namaku, lalu berpikiran bahwa vokalis Green Day itu menulis lagu khusus untukku. Sudah sangat radikal caraku berpikir gila.

Aku mungkin bukan satu-satunya manusia di jagat raya ini yang paling berbahagia ketika September berakhir, tapi aku adalah satu-satunya orang yang paling berbahagia menunggu hujan datang di sore hari sehabis Ashar dan mulai riuh menjelang Maghrib pada bulan Oktober, dan berhenti ketika Iqomah mulai dikumandangan. Bahkan aku sedikit agak tidak peduli pada ulang tahunkku yang hanya tinggal esok hari. Gila. Mungkin. Tapi hujan bulan Oktober mampu membawa rindu pulang dari perasingan, melindapkan debu dijalan-jalan setapak, mengantar kunang-kunang dengan cahaya temaram menari disisa air kubangan pada malam.

Walau hujan di bulan Oktober tak lebih puitis dari hujan bulan juni milik Sapardi, tapi hujan bulan Oktober adalah hadiah bagiku, hadiah ulang tahun dari Tuhan: yang airnya turun dan bias di jendela kamar, sisanya turun ke tanah, dan menimbulkan bau-bau khas aroma kemarau yang luluh lantah diserbu serdadu dari langit basah. Pada saat itu aku akan berhenti, berhenti untuk berpikir, dan menikmati segala yang Tuhan berikan dari langit. Pada saat itu, semua kenangan datang, semua rindu pulang, tangkai-tangkai yang ditingal gugur oleh daun kembali bertunas, burung-burung bersarang, perahu kertas kembali berlayar, selokan kembali terisi, katak-katak bernyanyi dan kawin, bulan syahdu dan bintang gemintang sedikit malu-malu, nelayan asik mengais si bungsu. Semua kata berbicara, dan puisi-puisi membuat bait-bait tanpa sepengetahuan sang penyair. Ibu-ibu menggerutu karena jemurannya lupa diangkat. Ada juga yang asyik berteduh dibengkel-bengkel pinggir jalan sambil merapih-rapihkan pakaian, siapa tahu dapat kenalan. Tukang ojek bingung karena tak bawa jas hujan, padahal anaknya dua hari lagi harus bayar cicilan sekolah, akhirnya kejar setoran sambil basah-basahan, karena penumpangnya juga dikejar waktu gara-gara anaknya sakit perut di rumah.

Aku masih menunggu hujan bulan Oktober, sambil menemani beberapa rindu yang sudah mulai pulang. Aku ajaknya berbicara beberapa kata: menanyakan kabarnya dan mengajaknya bercanda. Mungkin ini yang dimaksudkan dalam lirik lagu Hotel California yang melegenda itu---you can check out anytime you like, but you can never leave. Barangkali nanti di Sabtu pagi bukan hanya ucapan selamat ulang tahun yang sangat basi yang aku dapat, tapi juga hujan bulan Oktober.





Thanks for reading...

Jumat, 19 September 2014

Date A Girl Who Reads


You should date a girl who reads. Date a girl who reads. Date a girl who spend her money on books instead of clothes. Date a girl who has a list of books she wants to read, who has had a library card since she was twelve.

Find a girl who reads. You'll know that she does because she will always have an unread book in her bag. She's the one lovingly looking over the shelves in the bookstore, the one who quietly cries out when she has found the book she wants. You see that weird chick sniffing the pages of an old book in a secondhand book shop? that's the reader. They can never resist smelling the pages, especially when they are yellow and worn.

She's the girl reading while waiting in that coffee shop down the street. If you take a peek at her mug, the non-dairy creamer is floating on top because she's kind of engrossed already. Lost in a world of the author's making. Sit down. She might give you a glare, as most girl who read do not like to be interrupted. Ask her if she likes the book.

Buy her another cup of coffee.

Let her know what you really think of Murakami. See if she got through the first chapter of fellowship. Understand that if she says she understood James Joyce's Ulysses she's just saying that to sound intelligent. Ask her if she loves Alice or she would like to be Alice.

It's easy to date a girl who reads. Give her books for her birthday, for Christmas, for anniversaries. Give her the give of words, in poetry and in song. Give her Neruda, Pound, Sexton, Cumming. Let her know that you understand that words are love. Understand that she knows the difference between books and reality but by god, she's going to try make her life a little like her favorite book. It will never be your fault if she does.

She has to give a shot somehow.

Lie to her. Because she understand syntax, she will understand you need to lie. Behind words are other things: motivation, value, nuance, dialogue. It will not be the end of the world.

Why be frightened of everything you are not? Girls who read understand that people, like characters, develop. Except in Twilight series.

If you find a girl who reads, keep her close. When you find her up at 2 AM clutching a book to her chest and weeping, make her a cup of tea and hold her. You may lose her for a couple of hours but she will always come back to you. She'll talk as if the characters in the book are real, because for a while, they always are.

You will propose on a hot air balloon. Or during a rock concert. Or very casually next time she's sick. Over Skype.

You will smile so hard, you will wonder why your heart hasn't burst and bled out all over your chest yet. You will write the story of your lives, have kids with strange names and even stranger tastes. She will introduce your children to the Cat in the Hat and Aslan, maybe in the same day. You will walk the winters of your old age together and she will recite Keats under her breath while you shake the snow off your boots.

Date a girl who reads because you deserve it. You deserve a girl who can give you the most colorful life imaginable. If you can only give her monotony, and stale hours and half-baked proposals, then you're better off alone. If you want the world and the worlds beyond it, date a girl who reads.

Or better yet, date a girl who writes.








Thanks for reading...

Rabu, 03 September 2014

Isi Kepala

I'd like to find the guy who invented the proverb 'go with the flow' and lead him to an ocean full of hungry sharks. And see how he would flow. I'd really like to know, kata Dee dalam sebuah buku berjudul Rectoverso. Memang kadang kita harus melawan arus juga kok. Misalkan, siapa sangka kalau ternyata Joker adalah sosok yang baik? Lho kan kalau enggak ada Joker, Batman mungkin cuma jadi penjual topeng anak-anak yang keliling dari kampung ke kampung, enggak akan jadi super hero. Semua yang ada di dunia ini sudah Tuhan ciptakan berpasang-pasangan. Kita mungkin enggak akan sadar kalau ternyata kita ini waras kalau kita gak pernah lihat mahluk yang sama seperti kita jalan-jalan sore enggak pakai celana. Jadi kalau kita anggap Joker jahat dan orang yang jalan-jalan sore enggak pakai celana itu gila, ingat satu hal, semua sudah diciptakan berpasang-pasangan oleh Tuhan untuk membangun siapa diri kita sebenarnya. Cukup lihat manusia dari sisi baiknya.

Kembali dengan apa yang sudah dituliskan oleh Dee dalam bukunya yang berjudul Rectoverso itu. Jujur sebenarnya aku belum pernah baca buku Dee yang itu, aku dapat kata-kata itu dari laman web. Memang benar, kadang kita harus mencari jalan kita sendiri untuk mendapatkan sesuatu, bukan hanya terpaku pada satu jalan yang ada. Jika kita punya tujuan, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah buat jalan untuk mencapai tujuan itu, bukan hanya berharap biar waktu yang menjawabnya. Go with the flow adalah kalimat yang paling klise yang selalu terdengar dalam setiap situasi, terutama saat situasi itu sangat tidak memungkinkan untuk ditaklukan, atau lebih tepatnya adalah lebih baik menunggu keajaiban Tuhan daripada mengambil resiko. Ingatlah kutipan Sutan Sjahrir yang diambil dari sebuah puisi karangan Friedrich Schiller, bahwa hidup yang tak pernah dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan. Resiko itu ada untuk diambil bukan dihindarkan, dan aku percaya akan hal itu. Aku tak pernah melihat kegagalan pada setiap orang yang berani untuk take a risk, semuanya selalu berhasil. Begitulah kenyataan yang selalu aku lihat dari setiap film yang pernah aku tonton. He.. He.. He.. Tapi, jujur ya, banyak dari sebagian film itu yang memicu semangatku untuk tidak takut mengambil resiko, dengan catatan bahwa setiap resiko yang akan diambil harus sudah diperhitungkan, atau bahasa kerennya calculated risk - udah tahu kok oooom.

Nah terus apa lagi? Aku bingung mau lanjutin tulisannya, habis main content-nya keburu dibahas duluan sih. Biasanya sambil bingung nanti tiba-tiba muncul ide yang tanpa diduga-duga. Just write, dan lupakan pakem bahwa menulis harus sesuai tema atau menunggu ide datang. Just write!

Sekali dua kali sambil menunggu ajal aku sering melamun, tepat sebelum tidur. Menurut penilitian yang dilakukan di negeri antah brantah dan tak peduli siapa yang menilitinya, lamunan sebelum tidur biasanya berisi tentang hal-hal yang notabene sulit untuk menjadi kenyataan. Tapi kan katanya nothing is impossible dan hidup selalu berawal dari mimpi. Seperti yang Andrea Hirata tuliskan dalam bukunya, bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu. Jika bukan karena buku Tetralogi Laskar Pelangi yang dituliskan oleh Andrea Hirata, mungkin tak sekalipun aku berani untuk mulai bermimpi. Mungkin aku akan selamanya lelap tertidur dalam kefanaan dan ketidakmungkinan dunia yang aku hadapi, lalu terbawa arus ke lautan yang penuh dengan hiu yang sedang lapar. Tebak apa hasilnya? Sebelum sampai ke lautan yang penuh dengan hiu yang sedang lapar itu, aku pasti sudah berjabat tangan untuk deal-deal-an dengan Malaikat Ijroil, sebab aku tak sedikit pun bisa berenang.

Kamu tahu apa yang sedang kamu baca, sebuah tulisan dari seseorang yang di dalam kepalanya terdapat banyak ide-ide dan hal-hal gila yang belum sempat terlimpahkan. Sebuah kumpulan dari banyak kesimpulan atas hal-hal yang sudah aku baca, aku lihat, aku dengar, aku pelajari. Dari kepala Pramoedya, Sujiwo Tejo, Dee, Andrea Hirata, Sapardi, Eric Weinner, dan banyak lagi. Ini bukan tentang aku, tapi tentang segala realita yang terlintas di kepalaku yang menolak segala pura-pura.




Setiap tulisan merupakan dunia tersendiri, yang terapung-apung antara dunia kenyataan dan dunia impian - Pramoedya Ananta Toer







Thanks for reading... 

Selasa, 26 Agustus 2014

Happy Birthday

Tebak sekarang bulan apa? Agustus? Benar jika kalian memang benar menjawab sekarang bulan Agustus. Baiklah, bagaimana pun Indonesia sudah merdeka selama 69 tahun. Suka tidak suka Indonesia sudah merdeka, walaupun banyak yang menganggapnya belum karena merasa masih dijajah bangsa sendiri. Persetan! pergilah keluar negeri atau pindah saja kewarganegaraan jika kalian menganggap diri kalian masih dijajah oleh bangsa kalian sendiri. Para pahlawan sudah berjuang untuk mendeklarasikan kemerdekaan negara ini, sedangkan kita hanya perlu berjuang untuk kehidupan diri kita sendiri, tak perlu untuk negara. Kita hanya diminta patuh pada hukum, mengamalkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, dan membayar pajak. Biarkan yang pakai safari disana yang mengurus negara.

Agustus... Ohh riuh sekali bukan Agustus tahun ini? Masyarakat dapat hadiah pembantu baru hasil pemilihan umum presiden, tapi masih ada yang ngotot dan tidak terima jagoan yang dipilihnya jadi pembantu kalah. Wong presiden itu cuma pembantu kok, kalau mau jadi bos ya jadi rakyat saja. Jokowi banyak yang pilih jadi presiden karena mungkin banyak masyarakat yang tanpa sadar menganggap bahwa kalau jokowi jadi presiden semua gampang kita minta tho. Naikan tunjangan guru, bangun tol laut, tingkatkan produksi dalam negeri, bla bla bla bla dan bla bla bla. Tinggal minta ini-itu tho, enak jadi bos, kalau tak mau nurut permintaan bos ya tinggal sikat aja. Tapi ya kalau jadi bos harus inget rule house, jangan seenaknya minta ini-itu sama pembantu. Tapi masih banyak juga lho yang lebih suka prasa piye isih puwenak zamanku tho?, rakyatnya jadi pembantu, presidennya jadi bos yang gayanya what's your problem son? comes to Papa.

So guys, what's your problem? Kursi presiden Indonesia masih terlalu kecil untuk diperebutkan. Kalian tahu, sejak 7 Juli 2014 sampai 24 Agustus 2014 tercatat 2.120 jiwa warga Palestina meninggal dunia akibat serangan Israel. Di Palestina harga nyawa seorang umat muslim tak lebih mahal daripada harga paket internet di Indonesia. Kita rakyat Indonesia masih meributkan kursi presiden yang bukan kita sendiri yang mendudukinya? Inget ini, siapa pun yang jadi presiden Indonesia tidak berpengaruh sama sekali terhadap followers akun Twitter kalian, gak ngefek! Tidak semua hal yang ada di dunia ini memberikan dampak positif kepada kita. Buktinya lagu Imagine yang ditulis sekaligus ditembangkan oleh Jhon Lennon yang mendunia itu tak mempengaruhi Benjamin Netanyahu - Perdana Menteri Israel untuk menghentikan serangannya ke Palestina. Aku berani bertaruh kalau Si Perdana Menteri itu pasti tahu lagunya John Lennon.

Lho maaf ya ngelantur aku tadi, sebenernya aku mau nulis buat kamu, ehh mereka malah pada cari perhatian. Aku kan orangnya gampang move on, digodain dikit langsung berpaling. Jadi maaf kalau misalkan dijalan aku suka lirik-lirik yang lebih cantik, aku kan gampang move on, kalau gak kena goda ya berarti aku gampang kegoda, gitu aja sih sebenernya. Aduh apa sih Aziz polos banget.....

Ohh ya, aku mau ucapin selamat ulang tahun dulu, semoga hidup kamu lebih manis daripada jidat manismu. Lampunya udah dipake kan? Udah bisa kan cara nyalainnya. Jujur ya, sebenarnya waktu beli itu aku gak berani nyoba buat nyalain karena takut kesetrum. Nanti kamu sebelum tidur berdoa dulu ya, berdoa semoga gak kesetrum pas gosok-gosok lampunya biar nyala. Karena selama aku belajar science aku belum pernah tahu kalau manusia punya energi potensial untuk membangkitkan lampu yang sudah dialiri listrik, atau mungkin ada penemuan baru tentang gaya listrik statis yang bisa mengubah energi. Entahlah, tapi sepertinya itu hanya logika sederhana yang belum aku pelajari.

Ehh makasih juga lho udah ditraktir makan sorenya. Aku gak mau panjang lebar takut nanti disangka curhat, atau malah bablas jadi curhat. Ya sudah sekian dulu ya.....







You may say I'm a dreamer, but I'm not the only one. I hope someday you'll join us and the world will be as one (Imagine - John Lennon)




Thanks for reading... 

Jumat, 22 Agustus 2014

Kapan?

Dari Arif untuk kawan


Aku pikir aku sudah jadi mahluk yang sangat bersyukur terhadap Tuhan-ku. Aku dirikan sholat lima waktu dan selalu menyebut-nyebut nama Tuhan-ku setiap waktu. Aku minum kopi setiap waktu untuk memuji-muji betapa Tuhan telah memberikan nikmat yang tiada bandingannya untukku. Nah, kok kopi? Ya kan bersyukur itu bisa dengan cara apa saja tho.

Aku sedang tidak menjadi diriku ketika menulis ini, saat ragaku ditumpuki berbagai jiwa yang menetap di dalamnya, isi kepalaku sedang menjelma jadi seseorang yang menjadi sumber penulisan ini. Ahh, aku tahu, kalian pasti tak mengertikan? Aku jamin sampai kalian jungkir balik dan membuka semua buku yang dijual di Gramedia atau Toko Gunung Agung atau tukang duplikat buku di Pasar Senen kalian tetap tak akan mengerti, kecuali kalian mempelajarinya. Sombong ya? Sebenernya engga sombong sih, cuma ya faktanya memang seperti itu.

Pernah mendapatkan pertanyaan 'kapan' menohok dirimu? Misalkan kapan nikah saat lebaran? Kapan lulus kuliah saat indeks prestasi sedang terjun bebas? Kapan traktir gw? Padahal lagi kere-kerenya. Kapan punya pacar? Padahal baru ditinggal gebetan nonton sama pacar barunya. Atau kapan nembak aku? belum pernah ada sih ya buat pertanyaan terakhir itu. Pertanyaan-pertanyaan itu hampir pasti menimpa siapa saja, dan untuk pertanyaan terakhir adalah pengecualian, hanya orang-orang beruntung yang mendapatkan pertanyaan seperti itu, dan aku tidak termasuk.

Suatu hari aku bertanya kepada Tuhan dengan menggunakan pertanyaan kapan. Tuhan, kapan aku bisa seperti mereka? Lalu Tuhan mejawab bahwa aku tak perlu menjadi seperti mereka untuk menjadi diriku sendiri, hidupku sudah lebih baik daripada orang lain. Aku yakin itu, karena hanya keyakinan yang menjadikan orang lain selalu lebih baik daripada yang lainnya. Maka tak heran banyak yang saling silih pendapat hanya karena keyakinan,padahal apa pun keyakinan kita tho pada akhirnya kita akan kembali ke tempat yang sama, pemakaman.

'Kapan' sebuah pertanyaan yang sampai sekarang belum selesai dipertanyakan. Aku selalu mempertanyakan ini kepada Tuhanku dalam sela-sela doaku. Bukan karena belum terjawab, tapi pertanyaan 'kapan' itu kembali muncul dengan arti yang lain setelah pertanyaan 'kapan' yang lebih dulu dipertanyakan terjawab, . Aku berterimakasih kepada Tuhan-ku karena selalu menjawab pertanyaan 'kapan' itu untukku, walaupun setelah Tuhan menjawabnya aku selalu memberikan lagi pertanyaan yang sama. Sekarang aku sadar ternyata aku termasuk orang yang serakah dan selalu banyak maunya. Maafkan aku Tuhan aku belum bisa menyeimbangkan permintaanku dengan kewajibanku. Aku terlalu banyak mengeluh dibandingkan beribadah kedapaMu.

Ternyata pikiranku salah, aku pikir aku sudah sangat bersyukur dengan mendirikan sholat lima waktu dan menyebut-nyebut nama Tuhan-ku setiap waktu. Ternyata ohh ternyata, yang paling benar adalah kopi itu baru terasa nikmat jika diiringi dengan rokok. Tapi bukankah hakekat seorang hamba adalah meminta kepada Tuhan-nya?





Aku mungkin bisa menjadi orang lain dipersimpangan jalan, tapi tidak dihadapan Tuhan





Thanks for reading... 

Rabu, 20 Agustus 2014

Be Weird

Dulu aku selalu suka untuk tampil aneh, menjadi seseorang yang berbeda adalah hal selalu menyenangkan. Aku percaya bahwa setiap orang harus menempuh jalannya sendiri untuk menjadi dirinya, bukan bergantung pada hasil opini orang lain yang tak punya persangkutan dengan hidup kita. Termasuk teman! Tapi belakangan aku merasa sesuatu hal yang aneh sedang terjadi padaku. Entah hal apa yang terjadi kepadaku, tapi aku jadi merasa aneh saja untuk menjadi seseorang yang aneh. Aneh karena aku bersembunyi pada keanehanku untuk menutupi hal yang ternyata aku sedang tidak menjadi diriku. Aneh karena ternyata aku lari dari kenyataan bahwa aku terkadang butuh untuk tidak menjadi aneh.

Dalam lagu What If yang ditembangkan oleh Coldplay, group band asal inggris yang menurutku sangat keren: everything about British is always cool - lebaaay om lebaaaaaaay, terdapat lirik "how can you know it if you don't even try". Aku belajar mengerti apa yang hendak disampaikan oleh sang Composser lewat lirik tersebut. Yap, pada akhirnya aku memang harus mencoba, mencoba menerima kenyataan, apa pun itu, bagaimana pun hasilnya. Aku pernah bercerita kan tentang ketidakinginanku mendengarkan curahan hati seseorang saat pagi buta (kurang lebih jam dua dini hari). Lalu aku menebus dosaku itu beberapa hari kemudian, aku menghubungi orang itu terlebih dulu, aku mendengarkan, dan menceritakan hal yang ingin dia ketahui. Berat, sangat berat awalnya untuk melakukan hal ini, karena bagaimana pun aku menaruh hasrat untuk memilikinya. Oh My...... Do you think I'm crazy? If you do, you in argument with me. Waktu itu tak ada keraguan sama sekali untuk aku mulai menghubunginya terlebih dahulu, aku nyanyikan lagu What If milik Coldplay dalam hatiku: How can you know it if you don't even try. Merdu sekali suraku jika di dalam hati, sangat-sangat merdu sampai aku sendiri tergila-gila pada suara dalam hatiku. Aku pikir, jika tak ada yang bisa di negosiasi lagi untuk peluang hasrat memlikiku, aku akan mencoba menguat-nguatkan perasaanku dan go international, ehh go away maksudnya. Ya sudah aku bercerita sejujurnya tentang apa yang aku ketahui, really, aku tak menutup-nutupi atau mencoba berbohong sama sekali. Dengan berlaga sok tegar aku memulainya, lalu melempem dipertengahan, lalu tanpa diduga-duga, tanpa ada persiapan terlebih dahulu untuk hal yang satu ini, aku shock dan terkejut. Aku mungkin saja bisa kena serangan jantung mendadak, tapi untungnya aku tak punya penyakit jantung, mana ada orang yang tiap hari makan nasi dengan lauk sayur asem atau lalap-lapan dan sambel kena serangan jantung. Tak ada, tak pernah ada tho? she decide to move on and forget him, i don't know if it's true or not, but for me it was like a miracle. So...... Inget Coldplay kan? High above or down below, when you are too in love to let it go, but if you never try you'll never know, just what you're worth. Aku bilang apa, british itu keren, awas bilang lebay lagi - tapi tetep lebay om teteeeeep. Ohh, masih lebay tho? Tapi aku kasih tahu dulu judul lagu dari lirik yang tadi, itu judul lagunya Fix You. Tau dong? - aku emang udah tahu om. Sial!

Buah dari hasil kejujuran itu tak ada yang mengecewakan, bukan? Rencana menguat-nguatkan perasaanku gagal, gagal total dan tak berhasil sama sekali. Bukankah selalu ada hikmah dari sebuah kegagalan? He he he... Now, I want to go on vacation, pasang handsfree dan play lagu Justin Timberlake - Not A Bad Thing. Mau nyanyi bareng aku? Don't act it's like a bad thing to fall in love with me, cause you might fuck around and find your dreams come true with me. Spell all your time and your money just to find out that my love was free. So don't act like it's a bad thing to fall in love with me. Tarik baaaaaaaang...





It's weird not to be weird - John Lennon



Thanks for reading... 

Sabtu, 16 Agustus 2014

Kopi, Sebentar Lagi Aku Mati

Aku tak sedang belajar menghitung, sungguh aku berani bersumpah, nilai matematikaku semasa sekolah tak pernah buruk sama sekali. Aku hanya sedang menghitung mundur waktu yang sudah aku lewatkan. Kopi yang lupa tersaji di pagi hari: entah sudah berapa pagi aku lupa syukuri dengan secangkir kopi. Mungkin kamu akan berpendapat bahwa aku lebay untuk urusan kopi di pagi hari, tapi cobalah sesekali nikmati pagi dengan secangkir kopi. Kamu akan merasa betapa Tuhan telah memberikan anugerah hidup kepadamu yang tiada bandingannya. Kopi adalah caraku mensyukuri pagi dan caraku menertawai orang-orang yang tak pernah memiliki pagi karena takut terjebak macet, terlambat kerja, terlambat sekolah, atau terlambat jemput pacarnya. Hidupku lebih ringan dengan secangkir kopi. Hidup kopi! Sembrono.

Tapikan beberapa waktu kebelakang aku lupa pada kopiku, mungkin itu sebabnya aku sering memakai kalungku dan duduk diambang pintu. Sekali waktu aku bisa saja gantung diri dengan kalungku dan mati. Tanpa kopi kematian jadi lebih sangat nyata berada nol derajat pada leherku. Nah mungkin itu sebabnya Joko Pinurbo menulis bait empat cangkir kopi sehari bisa menjauhkan kepala dari bunuh diri. Gimana enggak gitu, wong kalau sambil ngopi kematian seakan terlihat ada empat puluh lima derajat di depan mata. Walaupun empat puluh lima derajat itu dibangun dari titik nol, dan kematin memang tetap ada pada manusia, tapi jadi bisa lebih dinikmati saja bagaimana cara aku ingin mati. Waduh ngelantur ya ngomongin matematika sama mati.

Jangan takut aku mati, aku belum bercita-cita cepat mati kecuali mungkin Tuhan kasih surat panggilan lebih cepat dari yang aku bayangkan. Jangan takut aku tinggal mati, ini aku lagi menikmati kopi dan menatap caraku mati. Nah kan aku jadi teringat mendiang Steve Job gara-gara ngomongin mati. Aku tak pernah berpikir bahwa aku mengidolakan Steve Job. Well, cara dia menjadi seorang jenius mungkin sangat aku idam-idamkan ada pada diriku kelak jika aku menjadi seorang jenius. Selalu mengenakan jeans biru dan kaus lengan panjang ditambah sepatu sneakers, siapa sangka dia begitu jenius jika dia hanya orang biasa yang kamu temui di traffic light sambil menunggu lampu merah untuk menyebrang jalan. Tapi point pentingnya bukan pada cara dia berpakaian, point pentingnya adalah apa yang pernah dia ucapkan pada upacara wisuda di Stanford pada tahun 2005. Pada acara yang aku tak tahu kejadiannya, karena aku hanya membaca dari sebuah laman website, dia berkata (kurang lebih dalam Bahasa Indonesia), mengingat-ingat bahwa aku akan mati adalah hal yang paling penting yang pernah aku jumpai untuk membantuku membuat keputusan besar dalam hidup. Karena nyaris semuanya, semua harapan dari luar, semua kebanggaan, semua ketakutan dan rasa malu atau kegagalan, semuanya akan musnah di hadapan maut, menyisakan apa yang penting saja.  Mengingat-ingat bahwa kita akan mati adalah cara terbaik yang aku tahu untuk terhindar dari perangkap bahwa kita akan kehilangan sesuatu. Kita semua telanjang. Tak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hatimu. Waktumu terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjadi orang lain. Jangan terjebak dengan dogma, yakni hidup dengan hasil pemikiran orang lain. Jangan biarkan riuhnya opini orang lain menenggelamkan  suara hatimu. Wah hebat bukan kepalang kalimat itu, sampai sekarang masih selalu terngiang di dalam kepalaku yang keras ini. Nah terus aku lanjut minum kopi lagi sekarang. Kamu udah ngopi?

Tulisan ini aku buat ketika aku tak tahu lagi apa yang harus aku perbuat. Aku pikir sebentar lagi aku akan mati, karena seorang lelaki yang tak punya rencana lagi untuk hidupnya lebih baik meninggalkan hidupnya secepat mungkin. Tapi aku belum bercita-cita untuk cepat mati, maka aku membuat rencana minum kopi dan menulis cerita ini untuk menunda kematianku. Setidaknya aku masih punya rencana menikmati hidupku, walaupun pada akhirnya Tuhan-lah sebaik-baik pembuat rencana.

Mau aku tambah lagi ceritanya? Nanti kamu bosan lagi bacanya. Ya sudah aku akhiri saja ya. Selamat ngopi. Sontoloyo!





Thanks for reading...

Sabtu, 09 Agustus 2014

Buka Mata Lo!

"Buka mata lo!" Ahh, seperti aku bisa membuka mataku saja saat mengirim kalimat itu pada seseorang yang sedang ingin bercerita tentang hal yang tak ingin aku dengar sama sekali.

Selasa dini hari tiba-tiba saja handphone-ku bergetar, setan mana yang masih bermain handphone lebih dari jam 2 pagi? Kuntilanak yang terserang insomnia pun pasti sedang mencoba memejam-mejamkan matanya. Orang yang terserang diare akut pun pasti sudah tertidur pulas di atas closed dengan sangat nyenyak. Tapi handphone-ku masih sanggup menerima pesan singkat yang datang lewat BBM, dan aku masih membalasanya. Penerima dan pengirim pesan terjebak dalam situasi yang sama, yang lebih buruk daripada kuntilanak yang insomnia dan orang yang terserang diare akut. Menyedihkan, sungguh.

Dalam sebuah buku, Sudjiwo Tedjo pernah menuliskan kalimat tentang pekerjaan yang paling sia-sia di muka bumi ini adalah memberi nasihat kepada orang yang sedang jatuh cinta yang diucapkan oleh sosok Semar. Semenjak membaca itu aku tak sekali pun pernah mencoba lagi menasihati orang yang, anggap saja, curhat kepadaku tentang jatuh cinta. Aku mengamini apa yang Sudjiwo Tedjo tuliskan dalam bukunya. Karena memang harus diakui, jatuh cinta adalah sebuah fenomena gila. Bahkan, dalam lirik lagu Karya Gomboh ditembangkan jika cinta sudah melekat tai kucing pun rasa cokelat. Gambaran kegilaan jatuh cinta yang dilantunkan oleh Gombloh di dalam lagunya sebenarnya masih kurang gila, karena pada kenyataannya banyak yang sanggup saling bunuh demi cinta, bahkan ada yang rela bunuh diri. Akal sehat sudah terpendam oleh cinta yang sebenarnya tak bisa dipakai untuk membayar bakwan. Gila!

Secara rasional jatuh cinta hanya sanggup menghasilkan dua buah sensasi. Yang pertama adalah sensasi kebahagiaan mengkhayal, dimana otak bebas bereksperimen untuk membuat skenario tentang kejadian-kejadian indah yang pada kenyataannya tak pernah terjadi. Khayalan yang tak akan pernah menjadi kenyataan sama sekali, karena yang dikhayalkan adalah hal yang tak sanggup untuk dilakukan. Yang kedua adalah kekecewaan, kecewa karena ternyata si dia tak sesuai dengan apa yang dikhayalkan. Sesederhana itu saja sebenarnya.

"Buka mata lo!" Sekarang aku mengucapkannya untuk diriku sendiri agar tak terlalu banyak menaruh ekspetasi dan tak terlalu sering mengkhayal tentang hal-hal yang pada kenyataannya (mungkin) tak akan terjadi.





Berbuat sebaik mungkin pada tempat kita berdiri saat ini, bukankah itu yang dimanakan realistis?







Thanks for reading... 


Sabtu, 02 Agustus 2014

Aku Mau............ Tuhan

Aku mau kasur baru, Tuhan beri aku kasur baru. Kini tidurku nyenyak, tak lagi harus menderita flu setiap pagi karena alergi debu dari kasur lama yang berisi kapuk. Juga tak lagi keram setiap tengah malam karena tidur di atas kursi untuk menghidari alergi setiap pagi. Aku mau pakaian baru, Tuhan beri aku pakaian baru. Aku tak harus selalu pakai baju oblong yang sudah melar saat pergi kuliah, walaupun aku memang lebih nyaman memakai baju yang sudah robek-robek dan melar itu. Aku mau handphone baru, Tuhan beri aku handphone baru. Aku tak lagi norak, kau bisa mengakses segala aplikasi sosial media lewat handphone baruku. Tak lama kemudian aku jual, aku tukar dengan handphone yang lebih canggih, lalu handphone yang lebih canggih itu pun rusak. Aku jadi tak punya handphone, tapi Tuhan beri lagi aku handphone lewat pinjaman dari temanku. Tak secanggih handphone pertamaku, tapi setidaknya aku masih bisa mengakses BBM. Aku mau motor baru, Tuhan beri aku motor baru. Aku jadi terlihat lebih jantan dengan motor tipe supermoto baruku. Setiap pagi jika macet aku bisa sesuka hati naik trotoar untuk terus melaju. Aku mau handphone baru lagi, aku merasa mati gaya dengan handphone yang dipinjamkan dari temanku, Tuhan beri aku handphone baru lagi. Jauh lebih canggih dari handphone miliku sebelumnya dan aku merasa lebih keren saja jika memainkan handphone baruku ini diantara teman-temanku.

Tuhan berikan semua yang aku inginkan, Tuhan tak sekali pun pernah mengecewakanku. Maka nikmat Tuhan mana lagi yang harus aku dustakan? Aku terlahir sempurna sebagai seorang anak manusia. Wajahku juga tak jelek-jelek amat untuk ukuran orang Indonesia. Otakku juga tak terlalu bodoh jika dihadapkan dengan matematika. Maka nikmat Tuhan mana lagi yang harus aku dustakan?

Tuhan perintahkan aku sholat sehari lima waktu, aku laksanakan, dan kelemahanku adalah kadang aku tak melaksanakannya selama lima waktu dalam sehari. Aku pasti sudah sangat mengecewakan Tuhanku untuk perkara ini. Tuhan memintaku untuk membaca Al-Qur'an, aku laksanakan, tapi kadang aku lebih senang bermalas-malasan daripada membaca Al-Qur'an. Aku sudah mengecewakan Tuhanku lagi, padahal Tuhan sudah berjanji bahwa Al-Qur'an akan menjadi penolong di hari pembangkitan nanti bagi siapa saja yang membacanya.

Tuhan, lihatlah si berandal tengik ini yang tetap saja membandel kepadamu, apakah Engkau masih sudi mengampuninya? Tuhan, si munafik ini tetap saja bermaksiat dan melanggar aturan-aturanMu. Apakah Engkau masih akan sudi meluruskan hatinya untukMu? Tuhan, jangan Engkau palingkan tatapMu dari hidupku yang penuh dusta ini, jangan Engkau lempar aku jauh dari perhatianMu. Aku ingin pulang dengan cara seindah mungkin padaMu, aku ingin ngebut lagi di jalanMu, pada sajadah yang lurus mengiblatkanku padaMu.







Thanks for reading...

Rabu, 30 Juli 2014

Idul Fitri

Sutardji Calzoum Bachri




Lihat, pedang tobat ini menebas-nebas hati dari masa lampau yang lalai dan sia-sia. Telah kulaksanakan puasa ramadhanku, telah kutegakan shalat malam, telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang.

Telah kuhamparkan sajadah yang tak hanya nunu ka'bah, tapi ikhlas mencapai hati dan darah.

Dan di malam-malam lailatul qadar aku pun menunggu. Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya. Maka aku girang-girangkan hatiku. Aku bilang: Tardji rindu yang kau wudhukan setiap malam belumlah cukup untuk menggerakan Dia datang.

Namun si bandel Tardji ini sekali merindu takkan pernah melupa. Takkan pernah kulupa janjiNya bagi yang merindu, insya Allah kan ada mustajab cinta. Maka walau tak jumpa denganNya, shalat dan dzikir yang telah membasuh jiwaku ini semakin mendekatkan aku padaNya. Dan semakin dekat, semakin terasa kesiasiaan pada usia lama yang lalai berlupa.

O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini ngebut dijalan lurus. Jangan Kau depakan aku lagi ke trotoir tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia. Kau biarkan aku menenggak marak cahayaMu di ujung usia.

O usia lalai yang berkepanjangan yang menyebabkan aku kini ngebut dijalan lurus. Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi di trotoir tempat dulu aku menenggak arak di warung dunia.

Maka pagi ini kukebakan zirah la illaha illallah. Aku pakai sepatu siratal mustaqiem, aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat ied. Aku bawa masjid dalam diriku. Kuhamparkan di lapangan, kutegakkan shalat dan kurayakan kelahiran kembali disana.






Thanks for reading...

Rabu, 02 Juli 2014

Seperangkat Fasilitas Mesin Waktu

Bandung 3 Juni 2014


Sesosok jiwa yang tak pernah seutuhnya ada. Tak pernah pada tempatnya, pada waktu dan raganya. Melempar-lempar gelisah diantara tebing kegaluan. Mengikis stalagtit dan stalagmit yang semakin menghimpit di dalam kenang yang menyempit.

Mungkin Tuhan iba melihatku yang sering tertipu waktu, mengulang malu, menyekap rindu sewindu yang tak kunjung berlalu. Mungkin Tuhan sedang menghiburku dengan logika sains, tentang bagaimana mekanika hormon bekerja dengan hal yang sama dan orang yang berbeda, atau bagaimana momentum dapat bersinggungan dengan waktu, kesimbangan dan laju mundur, listrik statis dan konduktor, gelombang suara dan pantulan, atau lama bumi mengelilingi matahari. Mungkin Tuhan sedang mengujiku dengan kebahagaiaan yang sama, kebahagiaan yang sempat entah kemana. Mungkin Tuhan ingin memberiku hadiah seperangkat fasilitas mesin waktu. Mesin waktu yang malu-malu menahan malu.

Atau mungkin Tuhan sudah lelah, lelah melihat seseorang yang lelah, mencari jalan menuju rumah, mencari cawan untuk menempatkan rindunya, atau mungkin jiwanya.








Thanks for reading...

Senin, 26 Mei 2014

Sesal

Menjegal langkah yang terlalu jauh, antara ambisi dan keinginan hati yang sulit di tolak. Aku terperosok lagi ke dalam sebuah jurang, ke dalam kikuk yang untuk entah. Untuk kepala yang sudah terlalu tegak, dan dada yang terlalu membusung. Mengotori diri sendiri adalah caraku untuk mengerti bahwa selurus apa pun jalan yang kutempuh tetap saja ada kubangan di dalamnya. Maka setegak-tegaknya kepala dan sebusung-busungnya dada, menunduk adalah cara terbaik untuk mengambil langkah.

Pijak yang tadinya tegak menjadi goyah, dan entah, semuanya begitu saja. Seperti entah yang dari entah datangnya. Pernah aku coba bertanya pada kepalaku sendiri yang selalu hingar, tapi jawaban yang ada hanya sunyi: seketika singup, susut, dan luput. Lalu kunang-kunang, hujan, dan secangkir kopi berebut waktu denganku dalam malam.

Tuhan bisa kita negosiasi ulang tentang takdirku?





Thanks for reading...

Minggu, 18 Mei 2014

Sekali Lagi, Menyebalkan!

Dulu aku masih ingat sekali, rasa kagum sekaligus terkesima ketika aku berada di Blok M Plaza dan naik lift sampai ketinggian tiga belas lantai. Tuhan, jujur saja itu adalah pengalaman pertama hambaMu yang kerdil ini naik lift sampai ketinggian melebihi sepuluh lantai. Bahkan aku masih ingat kali pertama aku naik lift adalah ketika almarhum kakekku dirawat di sebuah rumah sakit swasta di wilayah Bekasi. Aku berhasil naik lift sampai lantai tiga dengan perasaan senang sekaligus deg-degan karena takut tiba-tiba lift mati dan jatuh ke lantai dasar. Mungkin itu disebabkan karena aku terlalu banyak menonton film action atau karena instinct udik alamiahku yang sulit untuk lenyap. Tapi setelah aku kuliah, aku setiap hari terbiasa naik lift di kampus, bahkan aku pernah berlaga so cool ketika terjebak di dalam lift yang tiba-tiba saja mogok. Padahal hatiku sudah gelisah tak karuan karena takut kehabisan oksigen dan tiba-tiba mati di dalam lift yang sudah terkenal rombeng itu. Dan lantai tertinggi yang pernah aku tempuh menggunakan lift adalah lantai dua puluh di wilayah perkantoran Jl. Mega Kuningan. Well, ternyata hal yang sederhana di dunia ini bisa sangat berarti bagi seseorang.

Tuhan, betapa kadang aku merenungi takdir-takdir yang sudah aku jalani. Jika saja aku punya hak untuk memprotes takdir, mungkin aku akan jadi mahluk yang paling bawel dan paling banyak menyampaikan protes kepadaMu, Tuhan. Dan jika waktu adalah permainan ular tangga-lempar dadu, aku akan terus-terusan mencari gambar ular yang sering membuatku terperosok ke angka yang sudah aku lewati. Sederhana saja, aku hanya ingin mengulang lagi hal-hal yang sudah aku lewati dan berjalan tak benar menurut hematku sendiri. Kadang manusia menjadi seperti tak dapat menerima takdirnya jika dihadapkan pada sesuatu yang mereka anggap pernah melewatkannya di masa lampau, hal itu terjadi kepadaku, tepat pada saat ini. Jika aku dilahirkan dari keturunan yang mempercayai renkarnasi mungkin aku sudah bunuh diri berkali-kali hanya untuk kembali hidup dan mengambil apa yang aku lewatkan.

Aku mengarang narasi ini di hadapan cermin yang memamerkan wajahku. Aku ingat satu pepatah bahwa semakin rupawan wajah seseorang, maka hidupnya akan semakin tak tenang. Aku telisik setiap inch dari wajahku: biasa saja, tapi kenapa aku merasa hidupku tak tenang? Di dalam cermin itu aku dapatkan sepasang mata yang menatapku iba, dan sejenak kemudian kita menagis bersama. Entah apa yang ditangisi, tapi mata itu merekam segala yang sulit diceritakan. Hatiku banjir, jiwaku limbung diterpa segorombolan nostalgia.

Bulir-bulir gelisah yang meletup-letup kecil dalam hatiku adalah hal yang sulit untuk dipungkiri. Aku seperti mengenal senyum yang terpapar dihadapan wajahku ini, sebuah kehangatan yang hadir di malam yang diguyur hujan lebat dengan durasi hebat. Senyum yang membuatku gagap untuk memilih aksara mana yang hendak kutulis untuk mulai menceritakan keindahannya. Jika jatuh cinta pada sebuah senyuman adalah sebuah kesalahan, maka sebagian manusia di dunia ini akan menjadi orang bersalah karena mengagumi lukisan Mona Lisa yang lukis oleh Leonardo Da Vinci. Tapi betapa menyebalkan jika ternyata aku hanya sebatas sanggup mencintai sebuah senyuman yang hampir setiap hari lalu lalang di hadapan mataku.

Larut, malam semakin larut dan menyongsong dini hari. Kunang-kunang dengan cahaya temaram membawa cerita tersendiri tentang kawanannya yang gemar bermain air. Jelangkung lupa pulang dan tak ada yang sudi mengantar. Angin malam yang senyap diam-diam menyelundup kedalam sepi dan membisikkan kata: doa yang bersemayam dalam dada, putus asa yang ingin sirna, dan rindu yang tiba-tiba datang menjelma. Yang dari perasingan bergerak pulang walau dengan jinjingan kosong, dan yang dekat malah pergi ke perasingan. Ada yang saling mengasingkan, juga ada yang asing pada segala ragu yang malu-malu.

Jangan gemetar, aku baik-baik saja, walau sering tertunduk menahan keberanian yang lindap dibalik gagap. Jangan malu-malu karena aku lebih memalukan, sebagai lelaki aku tak berani memberi tegur untuk menyapa. Bahkan segala hingar yang ada terasa kurang bingar ketika kulihat sepasang langkah tepat di hadapan mataku merasukan sepi secara spontan. Aku tahu diam-diam kau mencuri pandang ke arahku, dan aku adalah perampas pandang yang ulung dari belakangmu. Dan sekali lagi, betapa menyebalkannya menjadi seorang lelaki yang pemalu sekaligus merangkap memalukan seperti diriku.










Count your age by friends,not years, count your life by smiles, not tears - Jhon Lennon










Thanks for reading... 

Minggu, 11 Mei 2014

Menyebalkan!

Aku mendengarnya, dua-tiga kali hujan mengetuk genteng kamarku. Empat-lima kali masih tak kuhiraukan, sampai akhirnya mereka berbondong-bondong menyerang kamarku: tempat segala yang tak terucapkan. Siapa yang tak menciumnya? Saat terik memanggang segala yang terhampar di atas bumi, tiba-tiba saja hujan datang melakukan agresi. Tanah yang kering dan ternganga menjadi saksinya, debu yang berhamburan lindap tak tersisa. Hujan sore ini, menyisakan bau bumi yang menenangkan isi kepala.

Waktu datang tanpa kenal batas, seribu bayang-bayang pulang saat hujan meneduhkan segala kerumitan yang hilir mudik melintas pikiran. Sejuta keindahan membuat kubangan di halaman rumah, dan buah-buah kesombongan gugur sebelum ranum. Jika bahagia adalah memutar waktu, aku akan sangat bahagia kembali pada masa delapan tahun yang lalu. Hidup tanpa beban pikiran yang tak masuk akal, belajar membaca Al-qur'an dan tajwid, tertawa riang tanpa takut ada yang merasa terganggu, bermain gitar dengan nada sumbang yang tak tahu malu, mengintip orang-orang pacaran, mencuri di kebun tetangga, memakai narkoba di tepi jalan, atau menjadi rebutan gadis-gadis yang gemar mencuri perhatian. Tapi waktu pergi tanpa meminta untuk diputar ulang, aku sudah tidak berada pada masa delapan tahun yang lalu lagi. Sekarang hidup dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit diterima oleh akal sehat, salah belok bisa saja terperosok ke dalam jurang. Ahh, namanya juga hidup, segala pilihan pasti memberikan resiko yang harus diterima, dan cita-cita setiap hari berubah semakin tak jelas, karena yang paling jelas cuma bunyi Idzhar.

Aku sudah melewati banyak masa, mengenal banyak orang, mempelajari beragam sifat manusia, mencicipi beberapa larangan, melewati banyak tantangan, memikul harapan, mendapatkan keajaiban yang nyata, dan hal-hal yang beberapa orang yang seuisaku (mungkin) belum pernah merasakannya. Kehidupan ini lebih nyata dari apa pun: tangis-tangis penyesalan, teriakan penuh bangga, senyum kemenangan, gegar kemarahan, keluh kelelahan, jerit keperihan, bahak para pembual, dan segilintir hal lainnya yang menjadi bukti bahwa hidup ini memang lebih nyata daripada pendapat siapa pun tentang kenyataan. Setiap hal diposisikan tergantung pada tempat dan keadaan, jangan menyamakan semua hal seperti selembar kertas putih kosong yang bisa dipenuhi dengan tinta warna apa saja. Yang di gurun tak membutuhkan bahtera untuk melewati hamparan pasir yang membentang sepanjang mata, dan yang di samudera tak butuh unta untuk mencari dermaga. Semua hal di dunia ini sudah dipasangkan-pasangkan sesuai dengan yang kita butuhkan, sama seperti setiap pertanyaan sudah dipasangkan dengan jawaban. Kalian tahu betapa menyebalkannya berada disekililing orang-orang yang tak sepaham dengan isi kepala kita?












Nilai yang diwariskan oleh kemanusiaan hanya untuk mereka yang mengerti dan membutuhkan. Humanoria memang indah bila diucapkan para mahaguru---indah pula didengar oleh mahasiswa berbakat dan toh menyebalkan bagi mahasiswa-mahasiswa bebal. Berbahagialah kalian, mahasiswa bebal, karena kalian dibenarkan berbuat segala-galanya. (Pangemanann, 39 - Pramoedya Ananta Toer)







Thanks for reading...

Sabtu, 26 April 2014

Di Suatu Hari Tanpa Nama

Di suatu hari tanpa nama, dan jejak-jejak si pencari yang belum seutuhnya sirna. Pagi datang dengan tidak tiba-tiba, melintas malam yang penuh dengan cerita-cerita sebuah insomnia. Aku, seorang pencari yang melewati batas nalar, bertarung dengan akal sehatku sendiri untuk menemukan rahasia-rahasia yang tidak pernah aku mengerti seutuhnya.

Ayam jantan berkokok dengan sangat ramah, walau semalam tidur sendiri dan tak tahu si betina yang dikawini di hari sebelumnya membuat mimpi dimana. Dasar ayam! Mungkin jatuh cinta harus menjadi seperti ayam, seperlunya saja, dan esok pagi adalah hari baru dengan cinta yang (mungkin) baru juga. "Tapi ayam bukan mahluk yang berakal", terdengar dengungan samar seperti bunyi Gunnah yang dari entah.

Aku sajikan secangkir teh manis untuk diriku sendiri, kopi sedang tak bersahabat denganku pagi ini. Setelah subuh ditunaikan aku butuh menghangatkan tubuh dengan kesejukan lewat teh manis. Kopi tak akan memejamkan mataku yang butuh istirahat pagi ini, karena semalam mata yang tak sipit dan kurang belo ini habis meronda dan menjadi saksi sengketa antara isi kepala dan perasaan yang sering tak sejalan. Aku sudah menyabung hidupku dengan segala ambisi yang sering menekan perasaanku sendiri. Isi kepala yang selalu memberontak dan menolak pada segala bentuk yang kadang hanya diriku sendiri yang menilainya tak adil. Pada akhirnya aku hanya menabung amarah yang tak tahu harus diberikan pada siapa.

Pada hidup, pada segala perjalanan yang membawa cerita tentang kontradiksi antara teori dan ayat-ayat Illahi. Seorang manusia kotor yang sedang belajar menanam Aqidah dan Akhlaq pada akar rapuh keimanannya. Sering waktu aku harus membenci diriku sendiri, mengumpat dan menghina segala yang telah aku perbuat. Katanya hidup bisa memberikan segala pada barang siapa yang pandai menerima (Pramoedya Ananta Toer - Bumi Manusia), itu sangat persis seperti yang berkali-kali aku pikirkan, bahwa hidup adalah kebahagiaan bagi siapa saja yang mau menerima dan tak banyak meminta.

Akan tiba saatnya kita merasa lelah dan ingin berhenti dalam sebuah perjalanan panjang, seperti ingin 'pulang' saja rasanya. Ketika semua hal yang kita perjuangkan tenyata hanyalah omong kosong belaka dan setiap langkah adalah sia-sia yang menyambangi putus asa. Pada saat itu tiba semuanya akan dikembalikan pada pilihan yang teronggok di depan pintu rumah kita: kembali melangkah atau kembali masuk ke dalam rumah. Bukankah sebaik-baik hidup adalah belajar, dan pelajaran sudah tersaji sejak kaki berada satu langkah di depan pintu rumah (Zafar Arif 286). Di luar sana memang tak selalu senyaman di rumah, tapi memang itulah dunia yang sedang kita tempati sekarang ini. Selalu ada indikasi-indikasi baru terhadap sesuatu yang sebenarnya sudah tak baru, dan tugas kita hanya perlu mengimani bahwa Tuhan adalah sebaik-baik pembuat takdir. Segalanya sudah menjadi terang ketika pada suatu waktu saya membaca kalimat "Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa" (QS. Al-Baqarah ayat: 2). Karena pada akhirnya segala urusan akan dikembalikan kepada Tuhan, dan Al-Qur'an adalah sebaik-baik pedoman yang pernah diciptakan.

Burung gereja menari-nari riang dikubangan air sisa hujan semalam dan kupu-kupu meliuk-liuk diujung bunga yang baru saja mekar dan tertimpa cahaya matahari. Perjalanan bukanlah untuk pulang, tapi hidup adalah perjalanan menuju pulang dan rumah adalah tempat terakhir kita ingin pulang. Yang indah-indah selalu ada seperti fatamorgana di tengah gurun yang seperti tak berujung. Mungkin keindahan asli yang dapat dilihat hanya ada pada bunga: mekar selama tiga hari lalu mati. Mungkin begitu juga dengan cinta, yang asli hanya tumbuh tiga hari, lalu mati seperti bunga. Tapi apalah yang lebih indah daripada tersenyum pada hari kematian dan bersenang-senang pada hari kebangkitan.

Semua yang menggungat dan segala yang tergugat dalam kehidupan memberikan banyak pengertian bahwa ternyata hidup juga adalah suatu bentuk pemenuhan bagi setiap orang. Separuh dari kita memerlukan hal yang hanya bisa dipenuhi oleh orang lain, jadi jangan pikir kita bisa berdiri kokoh tanpa ada orang lain yang menopang. Tak semua yang dianggap orang realistis itu sama dengan apa yang kita pikirkan. Akhirnya aku mengerti betapa rumitnya konstruksi batin manusia: segala sesuatu yang sangat rentan untuk hancur. Tapi orang yang kuat adalah orang yang bisa bangkit lagi setelah berkali-kali terjatuh, karena hidup tak memberikan apa pun kepada yang hanya diam saja, dan inilah aku pada dini hari yang apa adanya.








...Ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia semacam mercusuar, kompas, bintang selatan... yang menunjukan jalan pulang bagi hatimu, untuk, akhirnya, menemuiku.. - Dee






Thanks for reading... 

Senin, 21 April 2014

Menanam A-A-A Dalam Ahmad Abdul Aziz

Saya baru sadar, dari pertama kali menulis sampai sekarang sudah banyak perubahan yang terjadi pada cara saya menulis. Membaca tulisan saya sendiri adalah salah satu bentuk kekonyolan yang sering saya lakukan, mungkin karena saya ingin tahu kenapa banyak orang yang enggan membaca tulisan saya.

Menulis sendiri sudah seperti kegiatan melacur, jika si pembaca senang dia akan kembali membaca lagi, jika tak senang maka hasilnya dapat ditebak dengan mudah, dia (mungkin) tak akan kembali membaca dan sudah tentu meninggalkan kesan yang tak mengenakan ketika saya bertemu orang itu lagi.

Sementara proses menulis sendiri memerlukan totalitas yang luar biasa, hanya dengan menulislah saya bisa menggunakan hampir seluruh otak saya dan menggabungkannya dengan perasaan saya. Tapi siapa yang peduli pada proses, pelacur mana pun mungkin tak peduli bagaimana cara dia bekerja, yang penting uang didapat untuk menyambung hidup, hidup yang tak pernah mereka tahu ujungnya.

Yang saya tahu hanya pada sepak bola proses selalu diperhatikan, itu pun hanya oleh seorang pengamat, sedangkan puluhan ribu supporter hanya peduli jika tim yang mereka dukung harus menang, entah dengan cara apa pun, kalau perlu bunuh saja keeper dari tim lawan. Tapi saya tidak ingin membicarakan sepak bola, dan saya tak tahu apa yang akan saya tuliskan, bahkan selalu begitu setiap kali saya menulis.

Semuanya seperti tiba-tiba saja hadir dalam kepala saya, lalu jari-jari saya dengan tergagap-gagap mencari huruf pada keyboard komputer. Tak semua hal terjadi tanpa alasan tentunya, sometimes things happen for a reason dan menulis adalah salah satu alasan saya untuk berbagi kebahagiaan, kemarahan, kemalasan, kegundahan, kegilaan, dan berbagai macam hal lainnya.

Ketika batang terkahir dari bungkus rokok saya terbakar, saya tahu bahwa saya tak perlu terlalu banyak bercerita hal yang tak penting tentang kenapa saya menulis dan semua embel-embelnya. Saya putar lagu lama I don't wanna miss a thing milik Aerosmith yang dijadikan lagu khusus jatuh cinta di Inggris, tetapi dengan versi yang berbeda dari aslinya dan dinyanyikan ulang oleh Jake Coco dan Savannah Outen. Jangan cerita pada siapa-siapa, nanti orang-orang menyangka bahwa saya sedang jatuh cinta. Ingat jangan cerita siapa-siapa, karena hanya saya, lelaki yang kurus, bukan artist dan tampang tidak tampan, tetapi sering jadi bahan pembicaraan orang lain. Saya sering pura-pura tidak tahu dan selalu seperti itu ketika mendapati orang lain sedang membicarakan tentang saya. Saya membiarkan mereka berbicara apa saja, bahkan jika nanti sampai mulut mereka berbusa-busa saya akan tetap membiarkannya.

Modernisasi, Teknologi, dan segala bentuk peradaban masa kini membuat setiap gerak-gerik orang selalu menjadi bahan kecurigaan. Lama-lama orang seperti saya malas menegur orang lain karena takut dianggap cari perhatian, cuek disangka sombong, dan ketika saya mencoba untuk diam malah diduga sedang galau. Jangan juga sampaikan ini pada teman-teman saya, karena mereka bisa tersinggung dan berkhotbah sampai mulut mereka kering dan tak mau menyapa saya lagi.

Kalau boleh jujur, saya sering membayangkan menjadi seseorang yang disukai oleh banyak orang tanpa efek samping tertentu jika saya melakukan sesuatu. Setidaknya tidak ada kontroversi apa pun terhadap apa yang saya perbuat dan saya ucapkan, seperti orang biasa saja, orang normal pada umunya. Tetapi jika saya meminta hal itu menjadi kenyataan mereka tidak akan punya hiburan lagi untuk mulutnya, sama saja seperti mengharap turun salju di Madagaskar, hanya Tuhan dan kekuasaannya yang sanggup melakukan itu semua. Ahh, mungkin memang sudah kodratnya bahwa hal yang dibayangkan selalu tak berjodoh dengan hal yang dirasakan.

Tak perlu teori psiko-analisis Sigmund Freud untuk membuktikan apa yang saya ucapkan, dan saya tak akan melakukan pembelaan jika orang-orang memberikan tuduhan setelah semua ini. Karena pengacara paling korup di Indonesia pun tak akan sudi melakukan pembelaan untuk saya. Bagaimana pun dunia ini butuh pembeda, butuh siang untuk mengimplementasikan mimpi dan malam untuk merenungi hidup.

Saya kehilangan kopi saya malam ini, entah bersembunyi dimana, saya tak dapat mencium aromanya. Kopi yang banyak bicara, banyak berlelucon, sering terlambat tidur tapi selalu terbangun sebelum subuh. Apa saya masih belum sadar jika saya sudah melewatkan beberapa kopi karena kepala saya terlalu sesak memikirkan banyak narasi dan segala macam formula untuk mewujudkan segala bentuk keinginan saya yang seperti seorang idealis?

Suatu sore saya duduk berempat bersama teman saya, ibunya, dan pacarnya di meja makan untuk makan bersama. Tentu saja bukan acara makan siang, karena jam makan siang sudah terlewat sekitar empat jam-tiga puluh menit, untuk dikatakan makan malam pun seperti sebuah lelucon dangkal, karena matahari masih terbungkuk-bungkuk menuju senja. Kami semua berdoa masing-masing, mungkin ada yang tidak berdoa, tetapi saya selalu belajar untuk berdoa ketika hendak makan. Kejadian itu seperti paradoks di dalam paradoks, karena sudah pasti di hadapan meja itu hanya saya yang mengucapkan bismillah, dan yang lainnya entah mengawali dengan kalimat apa. Si tuan rumah (teman saya) bukalah seorang muslim, ketika dia mengajak saya makan, saya diambang kebimbangan, sejujurnya ini bukan kali pertama saya makan bersama keluarga yang beragama bukan Islam. Jika saja ibu saya mengetahuinya mungkin ia akan menggerutu hal yang sama seperti ketika saya masih kecil: jangan makan di rumah orang yang bukan beragama Islam, karena wajannya bekas masak daging anjing atau babi. Begitulah keluarga saya, karena kami lahir dari keluarga yang belajar untuk taat beragama, tapi kadang dogma menjebak kami dalam suatu premis yang belum tentu benar nyatanya. Boleh saya sedikit penasaran? Karena saya tak pernah mendengar orang yang tidak beragama Islam berkata "jangan biarkan orang Islam sholat di rumah kita, karena mereka menyembah Tuhan yang berbeda". Tunggu jangan berburuk sangka dulu, boleh jadi memang hanya saya yang pernah menumpang sholat di rumah yang dihuni oleh keluarga yang semuanya bukan seorang muslim. Paragraf ini adalah pengecualian.

Malam sebelumnya saya masih di rumah yang sama untuk membantu teman saya menyelesaikan pesanan lem dari ditributor di Purwokerto, anggap saja saya sebagai pekerja paruh waktu di perusahaan yang sedang dirintis oleh teman saya itu. Setelah menunaikan ibadah sholat Ashar di rumah, saya datang dengan membawa sarung. Saya pikir lebih efisien jika saya menunaikan sholat Maghrib di rumah teman saya, jadi tidak menghambat waktu kerja atau menimbulkan dugaan bahwa saya sengaja mencuri waktu untuk bermalas-malasan dengan beralasan sholat. Ketika Maghrib tiba saya meminta izin untuk menunaikan ibadah sholat maghrib di kamarnya, dia mempersilahkannya, bahkan sampai hendak menggelar tikar sebagai alas, tetapi saya menolaknya. Setelah salam terakhir dari sholat, saya merenung, terdiam sejenak dan meminta petunjuk dari Tuhan. Mungkin inilah penjelasan nyata dari Surat Al-Kafirun, dan kemudian saya menanamkan A pertama ke dalam diri saya ketika teringat ayat terakhir dari surat tesebut. A pertama itu adalah Allah, segala sesuatu tentang urusan di dunia dan hari akhir berada ditanganNya, saya hanya menjalankan kewajiban saya sebagai seorang muslim, dan jika teman saya menyembah sesuatu Hal lain yang dia anggap Tuhan maka itu adalah urusan dia.

Saya dapati secangkir kopi pekat, hitam, dan hampasnya yang tak beraturan di bibir gelas di sebelah laptop saya. Saya baru saja menyeduhnya, karena akal sehat saya perlu dipertahankan untuk beberapa jam yang akan datang. Menilik tentang kehidupan saya yang sudah berlalu, ini lebih mirip dengan napaktilas pengalam psikologis di masa lalu untuk saya --- terinspirasi Falsafah Janteloven yang saya baca pada artikel halaman sepak bola pada sebuah website. Dulu saya adalah seorang anak kecil yang menuruti segala norma yang dibuat dari pepatah orang tua terdahulu. Memang pada kenyataannya segala petuah-petuah yang kemudian dijadikan norma itu hampir seluruhnya bernilai baik, saya mengakuinya. Lalu sekarang peadaban berubah dengan cepat, bermula dari karya Bill Gates dan Steve Jobs, dan yang terbaru adalah rezim Android dengan segala fitur gilanya yang sulit diterima nalar. Lalu saya tanamkan A kedua ke dalam diri saya: Aku. Aku yang bukan bermaksud untuk mejadikan diri saya menjadi Keakuan. Menurut saya Aku yang saya tanamkan dalam diri saya adalah jati diri, bentuk prinsip yang tak ingin digerus oleh peradaban. Lalu orang-orang menanggap saya kolot dan pada akhirnya saya divonis dewasa sebelum waktunya oleh teman-teman saya sendiri. Apakah sebuah kesalahan untuk menjadi tidak sama dengan orang lain? Pada akhirnya Si Kolot yang dianggap dewasa sebelum waktunya menjadi orang yang dipenuhi segala keluhan dari Si Trendy, dan juga dijadikan database jawaban untuk segala tanda tanya yang bertumpuk di kepala orang-orang yang menganggap dirinya modern. Tetapi yang dianggap kolot tetaplah seperti orang tua jompo, selalu ditinggal, tak pernah diajak, dan kadang seperti diasingkan. Baiklah, besok, lusa, minggu depan, atau dalam waktu yang tak terduga mungkin akan ada yang bertanya-tanya dalam hatinya bahwa siapa yang saya anggap Si Trendy?

A kedua sudah tertanam dalam diri saya, walaupun mungkin dalam kemasan berbeda karena improvisation selalu dibutuhkan untuk menyesuaikan keadaan. Karena pada titik akhir, saat seorang lelaki sudah tak memiliki apa pun, yang masih akan dipertanyakan adalah jati dirinya, saya yakin itu.

Jadi siapa yang bertanya-tanya tentang A yang terakhir? Karena A yang terakhir adalah Anda. Anda yang pernah hadir dalam hidup saya dan Anda yang belum hadir dalam hidup saya. Siapa pun Anda, karena setiap orang adalah pecahan dari bentuk lukisan nilai kehidupan saya (psyche). Dari Anda saya banyak belajar bahwa baik-buruk sudah mengalir dalam darah manusia, sama halnya dalam diri saya --- mengutip tweet Sudjiwo Tedjo. Lalu saya, Anda, dan segala macam toleransi yang harus dibangun ulang, mari kita bersulang untuk secawan tawa yang pernah bergeming.

















...I'm trying to do that but it's difficult to control my emotions - Steven Gerard on Premier Leagues's title













Thanks for reading...

Kamis, 17 April 2014

Berpacu dengan Waktu

Semua akan baik-baik saja, hanya kalimat itu yang selalu bergeming di dalam kepala saya beberapa minggu ini. Semenjak mengundurkan diri dari tempat magang waktu jadi terasa semakin cepat saja rasanya memburu hari-hari saya. Beberapa hari lagi ujian tengah semester dimulai, dan beberapa minggu lagi ujian semester akan segera datang dengan ancaman indeks prestasi yang siap merenggut beberapa syaraf kejut saya seperti yang terjadi pada opening film Vertical Limit. Saya benar-benar terasa sedang diburu oleh waktu, dimana hampir sebagian teman-teman saya yang mengambil mata kuliah Kerja Praktek sudah menulis beberapa bab laporan kerjanya, sedangkan saya masih sibuk mencari tempat magang. If I think God is not fair, then my head is more rotten than Al Pacino who stole a bike and asked forgiveness from God. Saya hanya harus berusaha mendapatkan tempat magang baru tentunya, dan saya sudah melakukan itu walaupun dengan sedikit hal yang berbau nepotisme karena meminta bantuan pada orang tua teman saya yang memang memiliki jabatan sebagai sekertaris perusahaan, semoga saja berhasil.

Madam sudah pulang kampung ke Madura untuk persiapan melahirkan. Believe it or not, padahal saya merasa pernikahan Madam baru berlangsung tiga sampai empat bulan yang lalu, ternyata sudah lebih dari delapan bulan. Saya harus akui bahwa saya memiliki ingatan yang sangat lemah, dan saya adalah pelupa tengik kelas kakap. Bahkan sejak di sekolah dasar saya sudah beberapa kali melihat dan membaca Kartu Tanda Penduduk orang tua saya, dan sampai sekarang saya tak pernah ingat kapan orang tua saya berulang tahun. Ini kenyataan!

Oh ya Madam, dia adalah seorang ibu yang berjualan dengan gerobak dorong di dekat kampus, saya biasa duduk dan ngobrol bersamanya di tempat dia berjualan di bawah pohon. Selalu menyenangkan bisa bertukar kata dengannya, sikapnya yang selalu terbuka terhadap siapa pun membuat saya begitu nyaman. Dan yang paling penting dia adalah orang berikutnya setelah orang tua saya yang selalu berkata semoga berhasil dan sukses dalam menempuh kuliah, bahkan dia mengatakan itu hampir setiap saya mendatanginya, lebih sering daripada yang orang tua saya, really.

Waktu. Rasanya belum lama kaki saya kembali menginjak tanah kelahiran saya, setelah kepulangan saya dari Solo pada awal tahun dua ribu sebelas lalu. Saya meninggalkan banyak tawa, kenangan, dan yang sangat sulit diterima adalah prestasi yang harus saya sia-siakan di Solo. Bukan prestasi yang mungkin Anda bayangkan, tetapi prestasi bahwa ternyata saya dapat menikmati pendidikan saya disana. Dapat menikmati pendidikan yang saya tempuh adalah prestasi tersendiri untuk saya. Sejak mengawali pendidikan dari sekolah dasar, terhitung hanya ketika saya kelas lima sampai lulus sekolah dasar, kelas sembilan, kelas sepuluh semester satu dan semester satu-tingkat satu ketika saya kuliah di Solo saja saya dapat menikmati pendidikan saya dengan menyenangkan. Sisanya mungkin bisa dibilang periode stress selama saya mengenyam pendidikan, bahkan ketika saya sudah menempuh semester enam selama kuliah di Jakarta. Padahal semester depan saya hanya menyisakan lima belas sks termasuk tugas akhir, tetapi saya belum dapat menikmati pendidikan saya disini.

Saya hampir kehabisan waktu sepertinya. Magang, laporan kerja, skripsi, dan semua kekonyolan institut pendidikan. Tolong katakan pada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang tak pernah saya tahu namanya sejak Kabinet Indonesia Bersatu jilid pertama didirikan, cepat ubah kurikulum dan sistem pengajaran di Indonesia sebelum moral anak bangsa semakin bobrok karena cara penyaluran ilmu yang disampaikan pihak pengajar sudah sangat tidak efisien, dan adakan test kompetensi untuk para pengajar sebagai kualifikasi siapa yang berhak menjadi pengajar dan dibidang mana ketentuan dia boleh memberikan pelajaran. Perhatikan institut-intitut pendidikan yang berkategori swasta, dan kaji ulang cara penilaian akreditasi. Sejujurnya ide-ide gila dan umpatan seperti itu kadang timbul ketika saya merasa tersudutkan karena beberapa mata kuliah yang saya ambil ternyata sangatlah memuakan untuk ditempuh.

Oalah, sekarang sudah masuk tahun ketiga semenjak pertama kali saya kuliah di Jakarta, baru sekarang ini saya menyadarinya. Perjalanan panjang dengan segala bentuk konstruksi sudah membangun siapa saya sekarang ini, walaupun memang belum semua konstruksi pribadi saya selesai dibangun. Setiap hari, bahkan setiap waktu saya mencoba lagi membangun ulang diri saya. Suatu hari saya pernah bermimpi bahwa setiap tulisan saya akan diterbitkan dalam bentuk buku dan dibaca banyak orang, dan setiap saya melangkah kemana pun itu, orang-orang akan mengelu-elu kan saya, seakan-akan saya adalah pahlawan yang menyadarkan diri mereka bahwa para pemilik account anonymous di twitter itu hanyalah pembual yang merusak otak mereka dengan segala teori omong kosong yang menghancurkan pola pikir rasional followers-nya. Karena menurut hemat saya, sastra adalah alat untuk membangun segala bentuk yang positif dan mengajak setiap pembaca untuk berpikir. Kan Tuhan juga ciptakan manusia dengan fasilitas akal dan pikiran supaya manusia sendiri jadi mahluk yang berpikir.

Tapi semua hal itu terjadi hanya di dalam mimpi saya, sampai saya sudah menulis beberapa tulisan yang memang kebanyakan adalah luapan dari emosi saya sendiri, atau pun cerita tanpa mutu tentang diri saya yang bahkan kadang saya harus memaksa teman-teman saya membacanya di blog ini. Sebagian lagi malah enggan membacanya, sebagiannya malah menganggap seperti remeh. Pembaca-pembaca blog saya sendiri adalah teman-teman saya yang mungkin juga terpaksa membacanya, atau orang-orang yang tersesat karena keywords konyol yang mereka ketik di mesin pencarian.

Saya dan secangkir teh manis yang sudah tak hangat lagi berbagi waktu untuk menikmati pagi. Menanti surat pengantar dari kampus untuk saya ajukan ke perusahaan tempat orang tua dari teman saya bekerja, berharap semoga Tuhan meridhoi perjuangan saya sekarang dan saya bisa magang di perusahaan tersebut. Bagaimana pun saya harus menyelesaikan study saya semester depan. Walaupun kadang hidup tak seperti yang kita impi-impikan, kadang perjalanan tak seindah yang kita sangka, kadang kenyataan tak seperti yang kita harapkan, tapi inilah hidup dengan segala likunya. Tuhan tak pernah membiarkan perjuangan hambanya menjadi sia-sia walaupun kita terjebak dalam situasi yang dianggap gagal, bukankah manusia adalah sebaik-baiknya pengambil hikmah? Berusaha dan berusaha, walau terkadang banyak yang meragukan kita, meninggalkan kita, menggunjing, sampai pada satu titik kita merasa seperti sendiri, semua orang pergi tanpa permisi dari hati kita, semua ekspetasi seperti sia-sia. Jika itu semua terjadi pada diri saya, ketahuilah teh dan kopi tak akan pernah kehilangan tempat di dalam hati saya.







Keep your friends close, but your enemies closer - Al Pacino







Thanks for reading...

Rabu, 09 April 2014

Tiga Ribu Lima Ratus

Melupakan suatu perjalanan memang tidaklah mudah, meski di dalam perjalanan itu kita terlempar, terhempas, kadang terjatuh. Kadang kita sendiri juga tidak tahu apa yang membuat kita mengingat semua itu, padahal perjalanan yang kita ingat adalah perjalanan yang gagal. Sekarang kegagalan memiliki fungsi ganda: selain untuk belajar, bisa juga untuk dikenang. Karena kenangan selalu saja menghatui sudut pikiran, dan melupakan adalah pekerjaan sepele yang sulit dilakukan.

Jauh-jauh kepala mengembara mencari kata dan makna, siapa sangka kepala saya malah tersesat di dalam tiga ribu lima ratus. Tiga ribu lima ratus yang dulu hendak saya berikan dengan ikhlas, tetapi Anda memilih untuk berkata akan menggantinya esok nanti. Dulu naik angkutan umum yang pengap dan dikendarai oleh supir yang lebih mirip pembalap Formula 1 itu memang hanya cukup membayar tiga ribu lima ratus saja. Dengan tiga ribu lima ratus saya banyak mendapatkan fasilitas uji adrenaline dari pak supir. Dengan tiga ribu lima ratus saya jadi lebih dekat dengan Tuhan, karena takut tiba-tiba mobil yang saya naiki terbalik, atau terperosok ke sungai yang membentang sepanjang tepian jalan. Dengan tiga ribu lima ratus saya bisa menghabiskan waktu kurang-lebih satu jam bersama Anda di dalam angkutan umum itu. Sekarang saya mengingat tiga ribu lima ratus yang pernah saya berikan, dan juga apa yang pernah Anda katakan.

Saya selalu memiliki special moment bersama siapa pun tanpa terkecuali. Menurut saya, kejadian-kejadian tertentu akan membuat setiap orang berbahagia dan nyaman setiap mengulang aktivitas dengan orang yang sama. Tiga ribu lima ratus bukanlah special moment saya bersama Anda, tetapi menghabiskan waktu sepanjang perjalanan di dalam angkutan umum bersama Anda adalah hal yang (mungkin) tak bisa diulang lagi. Saya adalah jiwa yang sedang berjihad melawan trauma dan waktu, mengenang Anda adalah hal yang paling mengejutkan ketika kepala saya tiba-tiba saja mengoleksi banyak kata.

Hal-hal yang amatlah begitu sederhana baru terasa bermakna setelah kita hampir kehilangan semuanya, dan bukankah memang selalu begitu? Rasa utuh itu tumbuh seperti sel, semakin lama semakin dewasa dan pecah menjadi seribu. Kita pegang pecahan-pecahan tersebut, tapi yang pecah sulit menjadi satu lagi. Andai pun saya mempertanyakan lagi tiga ribu lima ratus yang lupa Anda kembalikan, semua rentetan yang saya anggap special moment tak bisa terulang lagi. As you know, karena tarif angkutan umumnya sekarang sudah menjadi empat ribu lima ratus.









Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirnya - Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca






Thanks for reading... 

Senin, 31 Maret 2014

Hal-Hal yang Berubah

Saya pernah membeli buku yang terpajang di rak best seller di sebuah toko buku terkemuka. Saya sangat antusias membaca buku tersebut. Setelah selesai membaca saya tak mendapatkan apa-apa dari buku itu, kecuali satu kesimpulan bahwa nampaknya semua orang sudah kecanduan sebuah kesedihan dan sastra sudah diubah menjadi celengan untuk orang-orang yang pandai mendramatisir sebuah karangan. Betapa menyedihkannya keadaan jiwa manusia sekarang ini. Bahkan buku yang saya anggap sangat bermutu untuk dibaca letaknya terpencil di sudut rak yang sangat sulit ditemukan. Mungkin itulah sebabnya manusia sekarang sulit untuk berbahagaia, karena kita semua sudah kecanduan kesedihan. Setiap hari hampir semua orang beradu kesedihan di media sosial. Apakah media sosial menjadikan semua orang menjadi pecandu kesedihan?

Oke, lupakan apa yang baru saja saya katakan. Saya tahu kalian akan menganggap saya manusia sok benar yang dengan angkuhnya hendak melawan peradaban. Pada waktu yang sedang berjalan ini, manusia yang bersikap apa adanya dan mengikuti zaman adalah malaikat bersayap dan berwajah rupawan, sedangkan manusia seperti saya yang keras kepala, angkuh, melawan arus, dan suka berbicara mengungkap fakta akan selalu dibenci dan dianggap manusia yang tak tahu diri. Karena segala sesuatu yang tak baru di bumi ini selalu dianggap kolot dan norak! Kita semua sudah kerasukan Amerika yang terlalu materialistis. Kita sudah lupa pada adab ketimuran kita yang sewaktu kecil dibungkus dengan kain batik agar kelak mampu berjalan lurus, tapi setelah tahu nikmat dunia kebanyakan dari kita lebih senang berjalan mengangkang. Kita lupa waktu kecil diajarkan tata krama agar mampu menghargai orang lain, tapi setelah dewasa kita menghargai orang dengan uang, bukan perasaan. You're a long way from America, this is Indonesia!

Sama seperti yang Dee pernah tuliskan, sejujurnya saya juga ingin sekali menemukan orang yang selalu berkoar untuk mengikuti arus. Suatu hari saya ingin mengajak orang-orang seperti itu berenang ke tempat yang dipenuhi ikan hiu, dan saya ingin melihat bagaimana mereka mengikuti arus. Sunggu saya sangat ingin tahu apa yang akan orang-orang itu lakukan? Bisa berenang saja tak cukup untuk tetap bisa mengalir bersama arus. Kita harus mampu menyelam, bertarung, dan kedinginan selama berada disana. Itulah sebabnya saya lebih suka memperhatikan arus dan segala kemungkinannya sebelum terjun ke dalam arus.

Baiklah Tuan, saya tahu ini semua memuakan dan saya mungkin hanya seorang pelamun tengik dari negeri di bagian Timur yang sudah mulai pudar. Jika saya berbicara tontonan maka orang-orang akan berbicara tentang tuntunan, dan jika saya berbicara tuntunan maka orang-orang akan menganggap saya sok suci. Tuan boleh membuang segala ketimuran yang Tuan miliki, biar saya yang memunguti itu semua, segala yang Tuan anggap pepatah tua. Nanti jika sudah banyak biar saya pakai sendiri saja, sebagiannya biar saya simpan takut nanti di lain waktu Tuan hendak menggunakannya lagi.












Dan Timur dan Barat, pastilah konsep yang amat ganjil, sebab kita berbicara kesopanan sambil telanjang - Ayu Utami, Saman








Thanks for reading...

Selasa, 25 Maret 2014

Alasan

Saya lupa menjamah kopi beberapa hari ini. Sibuk, alasan yang sangat mudah diucapkan untuk meninggalkan suatu hal, termasuk meluangkan waktu untuk secangkir kopi. Alasan adalah sebuah input yang sulit diterima tetapi begitu sangat mudahnya dilupakan. Nampaknya semua hal di jagat raya ini membutuhkan alasan, dan semua orang lebih senang beralasan dan diberi alasan daripada membuktikan.

Sekali waktu saya pernah berpikir: pergi ya pergi saja, tak usah banyak alasan, tinggal angkat kaki dan jalan saja. Terserah mau jalan kemana, perjalanan Anda adalah urusan Anda. Lain waktu saya pernah ditertawai secangkir kopi gara-gara merenung sendirian memikirkan sebuah kepergian yang tak beralasan. Baiklah, setidaknya yang saya pikirkan adalah alasannya bukan pelakunya. Saya memang egois, dan mungkin akan selalu seperti itu sampai ada suatu hal yang mengharuskan saya melupakan keegoisan saya sendiri.

Di waktu yang lainnya kepala saya disesaki pertanyaan tentang apakah ada sebuah perkara yang bisa dilakukan tanpa sebuah alasan? Bagaimana pun alasan adalah sebuah perhitungan, dan matematis adalah suatu pekerjaan yang dilakukan tanpa rasa tulus. Misalkan saya atau Anda memberi sedekah kepada seseorang, apakah masih harus menggunakan alasan, maaf, seperti kasihan misalnya? Bukankah sedekah itu sendiri adalah pekerjaan yang semestinya harus ditunaikan seseorang yang mempunyai, misal, harta lebih kepada orang lain yang, maaf, lebih membutuhkan. Maka lazimnya sedekah itu sendiri adalah sebuah keharusan tanpa harus beralasan. Saya bukan orang yang antipati terhadap alasan, tapi jangan jadikan alasan menjadi sebuah omong kosong untuk melindungi diri sendiri atau menutupi kebohongan, bukankah yang seperti itu sama saja dengan munafik?

Jika alasan menjadi sebuah keharusan untuk menjelaskan perkara, maka kejujuran adalah wadah yang paling tepat untuk menyajikannya. Pada kenyataannya sebuah alasan yang disusun dengan fondasi kebohongan yang walaupun hanya secuil, tetap akan membuat ganjalan pada hati seseorang yang diberikan alasan. Mungkin itu sebabnya dipikiran saya pernah terlintas: pergi ya pergi saja, tak usah banyak alasan, tinggal angkat kaki dan jalan saja. Dan Jangan tanyakan kenapa kepala saya mengeluarkan banyak asumsi so benar seperti ini, karena kepala saya adalah tempat segala peliknya permasalah manusia yang lebih so benar daripada isi kepala saya.












Jika pulang adalah langkah kosong tanpa jinjingan, pada akhirnya kita hanya butuh lupa untuk benar-benar pergi







Thanks for reading... 

Sabtu, 08 Maret 2014

Teman








Sebab, apalah yang paling menyenangkan di dunia ini? Buat Saya: memiliki teman-teman yang tidak punya kepentingan selain berteman itu sendiri. Memiliki teman-teman yang lucu, tulus, dan menyenangkan. Itulah kekayaan yang paling asyik di dunia. (Ayu Utami - Si Parasit Lajang)









Kamis, 06 Maret 2014

Berani Bertaruh?

Pada akhirnya, menang atau kalah adalah untuk seseorang yang berani bertaruh atas hidupnya sendiri. Saya sadar sekarang, mungkin saya tertinggal satu langkah dibelakang kalian. Ohh tidak, nampaknya dua langkah. Lebih! tiga langkah, empat langkah, nampaknya lima langkah. Saya sadar dengan jarak yang ada saat ini, sangatlah jauh perbedaannya. Saya mungkin tak sanggup mengambil langkah besar untuk membuat kemenangan mendadak, atau menyuap sang pengadil lapangan. Lapangan yang sedang saya jalani adalah lapangan kehidupan, dengan Tuhan sebagai pengadil yang seadil-adilnya. Tak bisa disuap, disogok atau diberikan apa pun, karena untuk mengubah nasib saya sekarang adalah tugas saya sendiri. Jika saya tak sanggup membuat langkah besar sebagai terobosan untuk jadi pemenang, setidaknya saya masih sanggup melaju dengan langkah-langkah kecil untuk terus memperpendek jarak yang nampaknya begitu sangat jauh saat ini. Tak pernah ada salahnya bukan untuk belajar, bahkan di dalam agama saya dianjurkan agar menuntut ilmu sampai ke negeri Cina dan juga liang lahad. Jadi tak pernah ada kata terlambat untuk belajar, tak pernah, dalam agama saya dan juga dalam hidup saya.

Menurut pikiran dangkal saya, hidup ini adalah sebuah pertaruhan. Tidak semua orang mungkin akan setuju dengan sebuah pertaruhan, atau perhitungan secara matematis. Di mana di dalam sebuah pertaruhan akan dihasilkan pemenang dan pecundang, kemenangan dan kekalahan, itulah sebabnya manusia tak ingin dinilai dari segi hitungan. Bahkan kita bisa belajar dari kisah pewayangan, ketika Pandawa kalah bertaruh dadu atas Kurawa, di mana Drupadi, putri dari Kerajaan Pancala yang terhormat harus ikut dan rela menjadi budak atas perbuatan Yudistira yang lurus hatinya, ternyata masih kalah pintar oleh Sengkuni. Tapi dalam pertaruhan kehidupan saya, diri saya sendiri yang dipertaruhkan, bagaimana pun, saya tak ingin menyerahkan hidup saya pada kehinaan karena menjadi orang bodoh. Mungkin Yudistira lupa bahwa bukan hanya dia yang dipertaruhkan, tapi dia juga telah mengorbankan orang lain dalam perbuatannya. Baiklah, saya bukan Yudistira, kakak tertua dari keluarga Pandawa. Saya adalah diri saya sendiri, yang bertaruh untuk diri saya sendiri jika saya kalah, karena saya telah belajar dari apa yang telah terjadi pada kisah perwayangan tersebut.

Saya lahir dari keluarga yang sangat membeci rezim kebodohan. Di negeri yang penuh pekik dan basa-basi ini orang bodoh hanya akan menjadi budak, tak lebih, tak kurang. Mungkin hanya yang bernasib baik dan berurat kaya sejak lahir saja yang bisa menikmati kebodohannya. Untuk kaum yang bernasib seperti saya, yang bahkan jika pergi ke pusat perbelanjaan pun tak pernah ditanya hendak beli apa orang sales promotion girl, bodoh adalah sebuah kutukan yang harus dihilangkan sampai ke akar-akarnya. Barangkali jika kebodohan saya hilang, saya bisa lebih terampil dalam berpakaian, dan para wanita yang bekerja menawarkan barang itu bisa ikhlas menawarkan barang dagangannya. Sekurang-kurangnya, saya tidak selalu golput ketika pemilu berlangsung karena tidak takut dibodohi foto-foto yang menjual senyum pada lembar pemilihan umum. Bagaimana saya tidak menjadi seorang golput, jika melihat beberapa kasus belakangan ini para orang-orang government kerjanya bolak-balik masuk kantor KPK untuk diperiksa kasus korupsi. Belum lagi jika melihat sidang paripurna secara live di televisi, bapak-bapak yang duduk di majelis agung itu banyak sekali yang asik tidur dan acuh pada tugasnya. Saya tidak mau menanggung dosa karena memilih orang-orang seperti itu, yang pada kenyataannya hanya mengharap gaji dan tunjangan dengan nominal yang luar biasa dan tak masuk akal dari pajak yang kami bayarkan. Sidang paripurna saja dia acuhkan, bagaimana hanya suara orang rendahan dan bodoh seperti kebanyakan kaum saya sekarang ini. Sampai pita suara putus, tak akan di dengar.

Selain menjadi pintar saya juga ingin menjadi cerdas. Saya tak ingin membodohi orang lain dengan kepintaran saya seperti Sengkuni, atau mengambil keuntungan dari kekurang orang lain seperti calon-calon orang terhormat yang membeli suara sebelum pemilu berlangsung. Jika saya cerdas, saya yakin saya bisa memilah dan memilih mana yang baik untuk kepentingan saya dan orang lain. Saya ingin terus belajar, menaklukan segala kemungkinan yang masih ada di dunia ini. Jika saya tak mampu mengubah peradaban dan dunia seperti Al-Khawarizmi, Abbas Ibn Firnas, Al-Zahrawi atau Ibn Nafis, setidaknya saya bisa mengubah diri saya sendiri dan saya tidak menjadi hina karena menjadi orang bodoh. Saya mulai curiga sekarang, mungkin sebentar lagi saya akan diculik oleh orang-orang government yang merasa tersinggung, lalu dikelikitik sampai ngompol berkali-kali dan akhirnya mati .

Baiklah, saya akui kekalahan saya sekarang, dan ini adalah hal yang paling sulit untuk saya terima, karena saya ada diposisi yang kalah. Tapi pemenang sejati adalah ia yang mau bangkit dan berjuang kembali setelah mengakui dirinya kalah. Suatu saat nanti, saya akan berada pada posisi sejajar dengan kalian, atau mungkin satu langkah di depan kalian, karena menyerah adalah kata yang paling kotor yang harus diucapkan dalam sebuah perjuangan.











Mereka tahu hasil 2 + 2 = 4 tapi tak tahu mengapa 2 x 2 juga sama dengan 4 (Goenawan Muhamad - Catatan Pinggir 3)










Thanks for reading...