Minggu, 29 Desember 2013

Lagi-Lagi Wanita

Kunjungan terakhir ke Padepokan Zafar Arif 286, Bogor. Bukan berarti aku tidak akan berkunjung lagi, bukan. Seperti biasa silaturahmi disana selalu begitu menyenangkan. Bungkus-bungkus rokok mulai berserakan, tanda pengajian segera dimulai.

Aku selalu menikmati setiap helaan nafas diiringi asap rokok. Oksigen bercampur dengan karbon secara bersamaan. Entahlah jadi apa nantinya di dalam tubuhku. Semoga Tuhan selalu memberikan kesehatan kepadaku.

Point yang masih aku ingat betul adalah, bahwa wanita yang baik akan dijodohkan dengan lelaki yang baik. Lalu aku bertanya-tanya dalam hati dimana batas wanita bisa dianggap baik? Yang setiap pagi menyediakan kopi? Yang mampu mengerti pendapatan suami? Yang bisa masak makanan kesukaan suami?

Setelah itu beranjak ke point yang lebih tinggi tentang madrasatul'ula. Wanita sebagai seorang ibu bertanggung jawab penuh atas pendidikan bayi yang ada dalam kandungannya. Kelak apa pun yang wanita lakukan akan menentukan bagaimana si anak nantinya.

Bagaimana Imam Al Ghazali sanggup menghafal Al-qur'an diusia tujuh tahun, dan mampu menghafal ribuan kitab pada usia dua belas tahun? Ketika sahabat bertanya kepada beliau tentang kemampuannya: "Engkau hebat?" "Ibuku yang hebat." Jawab beliau.

Untuk takaran otak manusia sepertiku, terlalu banyak sekali hal-hal yang sulit dipahami. Setiap hari orang-orang menghasilkan anak yang kurang mendapatkan pendidikan semenjak di dalam rahim. Sekarang aku mulai mengerti wanita seperti apa yang layak dikategorikan baik.

Aku tidak pernah bermasalah dengan perkembangan teknologi, aku menikmatinya. Bagaimana gadget sanggup membantu sebagian kebutuhan manusia dalam beraktivitas. Oke, drama dimulai dari sini. Berapa banyak wanita yang sanggup membaca Al-qur'an dengan lancar beserta makhroj dan tajwid-nya? Bandingkan dengan berapa banyak wanita yang hafal dengan fasih-nya letak papan tombol qwerty pada gadget-nya?

Pernah terbayangkan akan seperti apa anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang fasih dengan tombol qwerty? Atau secerdas apa anak yang dilahirkan dari rahim seorang ibu yang gila mengkonsumsi layanan internet?

Berbicara tentang menambah ilmu pengetahuan. Jelas-jelas Al-qur'an sudah menyediakan semuanya. Mulai dari geografi, antropologi, sosiologi dan banyak lagi. Hanya sayangnya jangankan untuk mempelajari, kadang menyentuhnya pun hanya saat di bulan Ramadhan. Itu pun jika sedang tak ada kegiatan. Astagfirullah.

Aku tak pernah menyalahkan fenomena menggilanya pemakaian gadget dan internet. Aku termasuk salah satu korban fenomena tersebut. Menggumam di twitter, upload foto di instagram, berbagi moment di path, atau chatting via bbm, whatsapp, line dll. Selain makan sehari tiga kali, pemakaian internet menjadi salah satu kebututuhan pokok saat ini.

Bukankah pada awalnya peluncuran personal digital assistant adalah sebagai alat pembantu pemenuhan kebutuhan konsumen? Tapi pada kenyataannya sekarang ini terlalu banyak orang-orang yang bahkan dibuat budak oleh si assistant.

Mari salahkan diri sendiri. Jangan berpikir Yahudi terlalu pintar untuk menghancurkan aqidah akhlaq anak adam dengan tekhnologi. Kita lah yang kurang cerdas untuk membagi porsi.

Sudah mendapatkan hasil berapa perbandingan wanita yang mampu membaca Al-qur'an beserta makhroj dan tajwid dengan wanita yang hafal dan fasih letak papan tombol qwerty? Nampaknya hal itu sulit sekali untuk dijadikan perbandingan.

Aku tak pernah bermaksud menghakimi wanita. Tapi kelak, insya Allah jika panjang umur dan dikarunia oleh Allah, anak-anakku dan anak-anak kalian akan dilahirkan dari rahim seorang wanita, bukan pria. Maka untuk hal ini wanita bertanggung jawab penuh atas si anak setelah pria mencari nafkah yang hallal untuknya.

Lihatlah dengan mata kepala sendiri. Lihatlah senyum orang tua melihat kita bangun dari atas sajadah, bandingkan dengan seramnya picingan mata mereka setelah kita berlama-lama di depan komputer.

Terimakasih ibu. Terimakasih untuk seluruh ibu yang telah mendidik anak-anaknya dengan penuh ketaqwaan. Terimakasih untuk ibu yang rela menghabiskan hampir seluruh suaranya demi membangunkan anaknya sholat subuh. Terimakasih untuk seluruh ibu atas jasa-jasanya membangun fondasi yang baik untuk keimanan anak-anaknya.

Jika berbicara tentang jodoh mungkin kita tak akan sanggup untuk mengutak-ngatik kekuasaan Allah. Bercerminlah, kurang lebih seperti itu lah kelak seseorang yang akan menjadi jodoh kita, dan seperti itu lah kelak anak yang akan dihasilkan olehnya.
























Thanks for reading....

Sabtu, 21 Desember 2013

Teori Jatuh Cinta

Aku sering bertanya-tanya pada diriku sendiri tentang putaran waktu, imajinasi, logika geometri, psikologi, puisi, Hukum Newton dan hal-hal yang banyak berjejalan di dalam kepalaku. Ingin sekali rasanya menuangkan semua itu ke dalam sebuah cawan agar isi kepalaku kosong dan dapat berdamai dengan diriku sendiri. Kata-kata yang berderet ini tak pernah cukup dan bebas untuk berucap. Ada sesuatu yang bernama etika untuk dijaga, sesuatu yang selalu menjadi batas dan membatasi untuk dapat mengeksploitasi isi kepala.

Kehidupan ini adalah sanggar terbesar yang Tuhan ciptakan. Aku masih tak habis pikir tentang skenario semesta yang Tuhan tuliskan. Untuk sebuah niatan yang belum dipersiapkan dan keteguhan yang belum menemui titik pangkal. Aku seperti terombang-ambing di atas keinginanku sendiri. Sewaktu-waktu bisa limbung karena angin yang hilir mudik menerpa layar yang sudah berkibar. Tapi seperti yang Alan Watts katakan, Orang yang tulus adalah orang yang tahu dia memainkan adegan besar dan memainkannya dengan sungguh-sungguh.

Dihadapan secangkir kopi yang rela menemani pagi. Aku memutar-memutar lagi imajinasiku dan membongkar lipatan-lipatan waktu. Ajaibnya waktu, sesuatu yang biasa saja bisa diubahnya menjadi istimewa. Seperti ketuk sepatu yang setiap pagi aku tunggu-tunggu, atau riuhnya hujan yang selalu meninggalkan puisi-puisi yang mulai terasa hambar.

Aku tertegun disini, disuatu pagi yang meninggalkan jejak embun semalam di atas daun talas. Setetes embun yang gugup dan malu-malu. Tak tahu harus kemana. Tak pernah menolak mengikuti gerak. Ikhlas, sampai burung gereja datang meneguknya tak tersisa.

Aku meratapi diriku sendiri. Ingin rasanya sangat mengerti apa yang sedang terjadi, sampai-sampai aku kembali mempelajari hukum newton tentang mekanika klasik. Bagaimana gaya aksi-reaksi mempunyai besaran yang sama pada arah terbalik dan segaris.

Dimana benda A yang memberikan gaya sebesar F kepada benda B yang juga akan memberikan gaya sebesar -F kepada benda A. Hukum Newton Tiga itu terdengar sangat romantis. Apa yang kita berikan kepada orang lain akan dikembalikan lagi kepada kita, karena F dan -F mempunyai nilai yang sama, hanya saja arahnya yang berbeda. Jika saja memang benar seperti itu kenyataannya.

Hidup bukan hanya tentang aksi-reaksi, tapi hidup adalah lingkaran karma dan kodrat. Bagaimana Tuhan menentukan dan menggabungkan titik-titik tak terhingga agar saling terhimpit sampai menjadi sebuah garis. Lalu menghubungkan titik-titik tersebut dengan sebuah garis hingga menjadi sebidang lingkaran kehidupan.

Kepalaku semakin sesak dengan teori logika geometri dan Hukum Newton Tiga yang mulai semakin gila menjajah otakku. Semua kerumitan tentang teori itu tak lebih hanya untuk merumuskan apa yang orang-orang sebut perasaan. Tapi tak pernah cukup, tak pernah merasa puas dengan segala hukum-hukum dan logika yang ada.

Cinta, cinta, cinta, berapa juta kata yang sudah orang-orang rumuskan untuk hal itu? Untuk seseorang yang baru aku kenal. Untuk seutas senyum di bawah tangga. Untuk langkah sepatu yang aku tunggu-tunggu. Aku memvonis diriku sudah jatuh cinta pada wanita yang selalu sudi menyisihkan waktunya untuk ayat-ayat Al-qur'an. Pada wanita yang menjaga dirinya dengan berhijab.

Semuanya selalu indah untuk sekedar melihat. Selalu lebih mudah untuk tersenyum daripada berkata-kata. Rasa malu-malu yang tiba-tiba saja selalu ada dan entah dari mana asalnya. Kupandangi dia dengan pandangan kagum yang tak pernah lindap dalam hatiku sejak pertama kali bertemu. Ternyata tinggi badanku sedikit lebih tinggi darinya.

Pada saat ini aku tersadar. Semua teori-terori yang aku pelajari. Semua kata-kata rumit yang membuat aku berpikir keras dari pagi sampai malam hari adalah untuk ini. Untuk memvonis diriku sendiri telah jatuh cinta.



















Thanks for reading...

Kamis, 19 Desember 2013

Memintal Kata

Selalu sangat sulit untuk hanya diam dan tidak berucap. Padahal suaraku sendiri tak lebih baik dari kucing tua yang hampir mati kelaparan ditepi jalan. Selalu menjadi rumit untuk sekedar mendengarkan. Padahal jelas-jelas agama tidak mengajarkan perdebatan. Dan selalu sulit untuk menjaga kata. Padahal telah nyata mulut dapat mencengkram tuannya.

Ingin sekali rasanya memintal kata dikerongkongan. Takut-takut salah mengucap dan melukai perasaan. Tapi bahayanya lidah adalah walaupun sudah dipagari oleh gigi dan bibir tetap saja liar dan selalu berontak. Mengeluarkan banyak asumsi tanpa batas padahal hanya memiliki ilmu yang terbatas. Lalu berkelit membela diri karena tak sanggup menelan liur yang bergumul dipangkal lidah.

Talk less do more, aku yakin semua orang tahu kalimat dari iklan rokok di televisi itu. Aku bangga jadi perokok atas hal ini, karena tak ada iklan rokok yang mengajarkan merokok. Coba tengok televisi, semua iklan rokok berisi pesan moral. Tapi kenapa banyak wanita lebih suka bau deodoran daripada bau asap rokok? Tak lihatkah di televisi kalau iklan deodoran hanya memberimu ketiak? Tak lebih! Itu sebabnya aku tak pernah mau pakai deodoran. Tak bermartabat memperlakukan ketiak seperti itu, karena ketiak punya hak untuk bersembunyi dan menyembunyikan.

Ingin rasanya menyumbat kepala yang penuh tanda tanya. Untuk sejenak berhenti dan sekejap diam. Menggagalkan semua lupa untuk tidak terlalu banyak bertanya. Membekukan kata untuk menghentakan jari-jari agar bekerja.

Aku sangat ingin tahu seberapa banyak syaraf yang menyokong seperangkat mulut. Sejuta? Seratus juta? Satu miliar? Sejuta triliun? Aku tak bisa bayangkan seberapa banyak syaraf yang mengendalikan mulut. Sampai-sampai sepuluh jari bisa terkalahkan oleh satu mulut yang bahkan tak bisa berdamai dengan krupuk. Kenapa berbicara selalu lebih menyenangkan daripada bekerja? Padahal tak ada hal yang lebih banyak berbicara yang Tuhan ciptakan selain Al-qur'an. Al-qur'an mengabarkan semua kebenaran. Mengabarkan kebaikan untuk pembacanya, dan mengingatkan keburukan yang tak boleh dilakukan. Itu lah Al-qur'an yang selalu berbicara kebenaran tentang umat terdahulu agar kita belajar dari mereka.

Aku menjenguk waktu yang telah berlalu. Semenjak aku lahir sampai bisa menulis kata-kata ini. Berapa banyak sudah aku khatam Al-qur'an? Sekali? Dua kali? Sepuluh kali? Lima belas kali? Mungkin belum sekali pun. Padahal sewaktu-waktu umur bisa tiba-tiba kahatam. Padahal kematian diam-diam sedang mengintai. Padahal ajal siap menjemput walau berlindung dibalik benteng yang paling tinggi dan kokoh sekali pun. Tapi bacalah, walaupun sedikit demi sedikit. Karena amalan yang dilakukan secara rutin walaupun tak banyak, insha Allah, akan diperhitungkan di yaumul nizam kelak sebagai timbangan kebaikan.

Dari sekulah wudhu yang membersihkan diri. Untuk sajadah kusam yang selalu ikhlas menapang diri, dan rentetan tasbih yang menggeliat-geliat manja di antara jemari. Aku temukan diriku sedang berusaha menjahit bibir dengan zikir. Untuk menjaga agar kata yang terucap dapat terjaga. Aku akan berusaha, menugaskan jari-jariku agar mau bekerja dan membantu sesama. Maka jika diantara kalian ada yang merasa dirugikan olehku katakanlah. Aku takut keuntunganku dapat merugikan diriku sendiri suatu saat nanti.













Tak pernah ada yang lebih dekat kecuali kematian, dan tak ada yang lebih diam-diam memeluk selain kematian.





















Thanks for reading... 

Minggu, 15 Desember 2013

Permata Malam

Di dalam ruangan 2x2 yang gelap dan mulai terasa pengap. Aku duduk disana seorang diri dan mulai terkantuk-kantuk. Mematung tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Membisu karena tak boleh ada kata yang diucapkan. Mataku mulai berair menahan dua daun jendela yang minta beristirahat. Tapi tak boleh tidur disana. Aku bertahan sampai harus menguap berkali-kali menahan kantuk yang sialnya makin menjajah mataku.

Aku harus bertahan pikirku. Ketika masuk aku tekadkan hati untuk keluar dengan kelulusan, bukan kegagalan. Aku sudah berusaha berminggu-minggu melawan ketakutanku. Aku tak sudi keluar dengan cap gagal. Di dalam ruangan sempit, lembab dan gelap itu aku mencoba meneguhkan diri, bahwa tak ada yang harus ditakuti kecuali ketakutan itu sendiri.

Ketakutan-ketakutan yang aku bayangkan berulang kali tertunduk malu menghampiriku. Aku sudah dipagari benteng keberanian dengan mengikhlaskan diri pada Tuhan. Ketakutan itu sudah bisa kuatasi dengan baik. Hanya satu yang masih sangat sulit untuk aku atasi, rasa kantuk yang semakin memasung diriku di dalam kegelapan. Ternyata benar teoriku tentang membatasi diri sendiri selalu lebih sulit daripada melawan orang lain. Aku sudah sangat tak bisa diam dengan melakukan gerakan-gerakan kecil untuk menahan kantukku. Mencubiti diri sendiri, memelek-melekan mata, bergeser tempat dan gaya duduk. Bahkan rasanya ingin sekali memukul-mukul bak mandi agar aku lupa caranya mengantuk. Aku masih belum bisa bayangkan bagaimana jika aku tertidur di dalam sana. Mungkin aku akan menjadi satu-satunya orang waras yang bertindak sinting dengan cara tidur di kamar mandi.

Beruntung lampu dinyalakan sebelum aku terkapar di dalam sana. Tingkat kantukku sudah diambang garis akhir, tapi herannya kenapa rasa kantuk itu malah hilang setelah aku keluar dari sana.

Tak usah membuang-buang waktu untuk coba mengerti apa yang baru aku ceritakan. Tak ada gunanya, sampai otak kalian mengerahkan semua kepintarannya aku yakin kalian masih tak sanggup mengerti. Itu rahasia antara aku dan kongsi-kongsiku. Jangan harap bisa mengerti jika tidak termasuk dalam kongsiku.

Ini semua sebenarnya bukan tentang aku. Bukan tentang ruangan 2x2 yang gelap. Bukan tentang mata yang terkantuk-kantuk. Ini tentang permata di malam hari. Permata yang baru aku temukan. Permata yang memancarkan cahaya kekaguman.

Derap langkah yang terburu-buru di dalam koridor selalu terdengar merdu ditelinga. Ini adalah kehebatan telinga mengkonversi suara, atau jangan-jangan bagian tak warasku yang mengindahkan setiap kelakuannya.

Taqwakan lah dirimu, agar Tuhan mentaqwakan jondohmu. Jangankan jodoh, masih dalam proses mentaqwakan diri saja aku sudah dipertemukan dengan seseorang yang sangat bertaqwa. Aku girang bukan kepalang, tapi tak sampai hati untuk salto dan bilang wow atas kegiranganku. Untuk bagian ini aku masih sangat waras. Aku tak bisa salto. Aku pernah mencobanya sekali dan tak mau mengulanginya lagi seumur hidupku. Salto di atas matras dan jatuh kepala terlebih dahulu sebagai tumpuan. Selama lima menit aku tak bisa berdiri karena tulang serasa terpisah semua. Tak bisa membuka mata selama satu menit. Aku dibayar berapa pun tak mau bermain-main lagi dengan hal yang mendekati kematian itu. Percayalah, nikmat berdiri dan melihat yang Tuhan berikan itu tiada bandingannya, tapi sayang kita sering lupa mensyukurinya.

Orang yang kukatakan bertaqwa tersebut adalah orang yang mengucapkan kalimat itu---Taqwakanlah dirimu agar Tuhan mentaqwakan jodohmu. Seseorang yang kini kusebut permata malam sesuai dengan namanya. Belum lah aku berpikir tentang jodoh. Aku tak mau mencampuri urusan Tuhan. Biarlah aku pasrahkan padaNya, aku yakin semuanya akan beres sesuai dengan kekuasaanNya mengatur takdir.

Aku percaya bahwa takdir Tuhan selalu penuh dengan kejutan. Kejutan adalah suatu hal yang jarang sekali aku dapatkan kecuali dari Tuhan. Kadang aku harus gugup selama berminggu-minggu untuk menunggu kejutan dari Tuhan. Aku keranjingan kejutan yang Tuhan berikan. Aku yakin Tuhan sangat menyayangiku, maka dari itu Tuhan selalu senang memberiku kejutan. Bahkan permata malam itu sendiri adalah kejutan yang sangat indah yang Tuhan berikan.

Kini aku sedang mencoba mengenali permata itu. Permata yang Tuhan ciptakan dengan segala keindahannya. Jika boleh dinamai, mungkin ini lah yang disebut proses ta'aruf.












Jangan mengaku jatuh cinta, jika belum merasa gila karena menertawai diri sendiri.












 Thanks for reading...

Jumat, 13 Desember 2013

Keajaiban Takdir Tuhan

Jika ada orang yang patut dikasihani itu adalah aku. orang yang pernah merasa hidupnya paling beres padahal untuk mandi dua hari sekali saja harus menungguku ibuku mengomel selama satu jam tanpa henti. Bisa dibayangkan, bagaimana aku bisa merasa hidupku paling beres dan benar sementara setiap selesai mandi aku harus berpikir keras  selama lebih dari satu menit untuk menentukan bagian depan celana dalamku.

Hal-hal macam itu memang masih kerap terjadi. Tapi aku pikir itu tak lebih buruk daripada aku harus berpura-pura sakit hanya untuk tidak melaksanakan sholat ashar. Aku pernah melakukannya sampai-sampai aku kapok untuk mengulanginya lagi. Perbuatan laknat itu terjadi ketika aku masih tinggal di Pondok Pesantren. Berpura-pura sakit untuk tidak melaksanakan sholat ashar dan merasa hidup sudah paling beres? Aku memang benar-benar sangat munafik. Keesokan harinya aku sakit betulan gara-gara penyakit hati kategori malas itu. Tak enak makan dan tak enak tidur sampai tiga hari berturut-turut. Aku tak mau lagi berpura-pura sakit untuk perkara sholat.

Tapi ada satu hal yang masih belum bisa aku bayangkan sampai saat ini. Bagaimana jika saat itu aku berpura-pura tidur untuk menghidari sholat? Mungkin aku akan terbangun di dalam liang lahad yang gelap gulita melebihi penjara tikus yang penjahat kelas kakap dan orang sinting akut pun tak sudi untuk tidur di dalamnya. Ditemani dua malaikat yang siap mengintrogasi segala yang aku pernah perbuat. Jika tertangkap basah berbohong aku yakin aku akan disiksa dengan siksaan yang paling kejam melebihi kursi listrik untuk membunuh tersangka terosis. Tapi kemungkinan berbohong di dalam liang lahad mungkin tidak ada. Beruntunglah karena yang akan menjawab setiap pertanyaan malaikat adalah tangan dan kaki kita. Tuhan sudah mengantisipasinya sejak awal. Mungkin malaikat pun bisa kita bohongi jika mulut yang menjawab pertanyaan-pertanyaanya. Tapi apakah yang kita perbuat di dunia ini mampu menyelamatkan kita dari siksa kubur?

Waktu yang terus bergerak tak dapat disangkal untuk dijadikan alat berontak. Aku harus berevolusi, memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik. Tapi tidak berevolusi seperti negeri ini! Semakin ditekankan kata evolusi semakin borok dan hampir bobrok gara-gara orang-orang goverment yang berjanji akan memperbaiki kesejahteraan negeri ini.

Aku sudah melupakan cara untuk merasa paling beres. Semenjak aku digilas habis-habisan oleh mahluk ciptaan Tuhan yang tak pernah aku tahu seperti apa rupanya. Kebusukan-kebusakanku dihidangkan di depan mataku sebagai perjamuan, dijadikan hidangan setiap terjadi perbincangan. Aku dipaksa menelan 'bangkai' yang aku kubur dalam-dalam. Tapi karena semua itu, karena 'bangkai' yang dihidangkan itu aku sadar, bahwa aku tak lebih baik dari sebuah bangkai!

Takdir-takdir Tuhan yang selalu penuh dengan kejutan mengantarkanku pada banyak perubahan. Penyakit-penyakit hati yang selalu menggerogoti diri kini mulai terobati. Perlahan tapi pasti, aku coba lagi mendaki bukit-bukit keagungan Tuhan. Di dalam pendakian ini aku temukan berbagai macam hal, dan dari pendakian ini aku temui petunjuk-petunjuk pembenaran hidup. Tapi bukan pembenaran yang membuatku merasa paling benar atau merasa paling beres. Pembenaran yang membenarkan bahwa aku hanyalah seorang manusia lemah yang masih sangatlah remeh untuk merasa paling benar. Aku masih harus terus belajar untuk mendalami pengetahuan-pengetahuan dan keimananku yang dangkal. Mencoba peka dengan mau menerima apa yang orang-orang sampaikan. Mengambil suatu kebaikan bahkan yang timbul dari perbuatan yang tak mengenakan.

Sedikit-sedikit aku mulai mengerti dengan cara memahami diagram-diagram kehidupan yang aku pelajari, bahwa suatu niatan akan menyandarkan kita pada pelabuhan yang kita impikan. Penyakit-penyakit hati yang timbul karena keegoisan diri sendiri sesungguhanya hanya akan merugikan diri sendiri dengan tenggelam di dalamnya.

Tentang keajaiban takdir Tuhan. Aku belum berhenti mengaguminya, bagaimana cara Tuhan mengatur segala kerunyaman-kerunyaman hambanya? Membalikan, mempertemukan, menggagalkan, menunda, aih semua itu selalu membuat aku terlena di dalam keindahan suratanNya. Dihadapkan dengan mahluk ciptaan Tuhan yang tak pernah aku tahu seperti apa rupanya, tak tahu asal muasalnya dan kadang selalu menjadi tanda tanya, itu adalah keajaiban pertama yang aku dapat. Dari kalimat-kalimat yang bertubi-tubi menjatuhkanku dari tempat aku berdiri, lalu berubah menjadi amalan-amalan yang mendudukanku pada kursi penghambaan yang tingkat-meningkat menuju puncak kehidupan dibawah takdir Tuhan.

Keajaiban itu belum berakhir dan tak pernah berakhir. Masih saja Tuhan memberikan kejutan yang indah untukku. Padahal aku tak lebih dari seorang hamba yang berlumur dosa dan berjubah khilaf. Ya Allah, berilah ampunan untukku yang terlalu sering melupakanmu.

Terimakasih Tuhan, terimakasih. Ucapku pada suatu malam di atas kain sulam yang mulai lusuh menapang diriku. Aku harus selalu bersyukur karena masih ada yang mau mengingatkan ketika aku buta akan penglihatan. Terimakasih Tuhan, terimakasih. Kataku dalam hati ketika aku bertatapan dengan seseorang yang membangkitkan kekaguman. Seseorang yang berdiri tegak lurus ketika yang lainnya mulai menyimpang. Seseorang yang masih mau mengajarkan mengaji ketika yang lain sibuk bersolek diri. Seseorang yang mengingatkan yasinan ketika yang lain terbiasa mengucapkan jangan lupa makan. Padahal aku pasti makan jika perutku lapar, aku tak bodoh untuk menyiksa diriku sendiri untuk kelaparan. Terimakasih Tuhan, terimakasih. Untuk mempertemukanku dengan sepasang mata yang penuh cahaya itu. TakdirMu selalu memberikan keajaiban.


























Sajadah-sajadah yang lusuh tertimpa tetes air dari situ yang menggantung di muka. Ya Allah aku berserah diri untuk menjadi hambamu. Berikanlah ampunan untukku yang terlalu sering meninggalkanmu. Amin Allahuma Amin...






















Thanks for reading....


 


Selasa, 03 Desember 2013

Senyum Kecil yang Belum Usai

Apa ada yang lebih dinantikan selain Desember? Apa ada yang lebih dinantikan selain libur Chrismast dan New years? Manusia-manusia seperti kita selalu menantikan waktu untuk berleha-leha, padahal kita tak pernah tahu kapan waktu kita akan habis. "Cuma waktu yang kita miliki." Begitulah kalimat yang pernah kubaca dari kisah seseorang yang berjuang melawan kanker dihadapan kalender dan jam dinding yang berwujud seperti Malaikat Pencabut Nyawa untuknya. Waktu seperti kepingan-kepingan mozaik untukku. Kepingan-kepingan yang terangkai seperti muatan atom dan menjadikan siapa aku saat ini.

Aku masih sangat ingat Desember setahun yang lalu. Senyum yang tersungging tatkala kata terjegat ditenggorokan. Gelak-gelak tawa pengisi lelucon hampa untuk memenuhi waktu yang berjalan begitu cepat dan tak dapat ditangkap logika. Suara gembok yang beradu dengan pagar dipelataran rumah. Eratan lapar dari dalam kerangkeng kecil di depan jendela. Lukisan bisu di atas kepala yang menjadi mata-mata. Jejeran foto di sudut meja yang merekam setiap canda. Pelukan yang mencoba memberikan kenyamanan saat gigil menyergap. Tatapan mata yang menyatu dan hampir-hampir tak sadarkan diri diruang tamu sampai tamparan mengenyahkan semuanya. "Sudah waktunya sholat jum'at!" Gerutumu waktu itu. Ahh, secepat itukah semua berlalu? Secepat diam yang melampui kecepatan cahaya. Tapi aku masih belum lupa. Blaaaah!

Aku bersungut-sungut mengumpat diriku. Menggugat waktu yang telah berlalu. Menatap angkuhnya penyesalan yang berdiri mengangkang dan bertolak pinggang. Bagaimana bisa melupakan, sementara belum pernah mengungkapkan? Batu yang bisu pun tahu bagaimana cara merayu empu untuk menjadikannya Pengikat kalbu. Aku bukan batu, tapi lebih bisu dan dungu sampai hampir kehabisan waktu.

Desember sudah dimulai lagi dengan cara yang berbeda. Aku lebih suka tertawa-tawa dengan diriku sendiri untuk hanya diam, padahal senyum kecilku diperjalanan menuju mesjid waktu itu belum usai. Tak ada lagi mata yang saling bertatapan. Kini yang aku temui hanyalah sepasang mata yang diam-diam mencuri pandang. Gembok yang menggantung indah di balik pagar pasti merindukan tanganku yang memperlakukannya dengan kasar ketika hendak bertamu. Lukisan dan jejeran foto, apa kabar? Masih disanakah kalian? Tiga betina yang selalu lapar di dalam kerangkeng besi, sudah makankah kalian? 

Memutar album lama tak akan pernah ada habisnya. Melodi-melodi sendu yang sudah kukitabkan dalam partitur terlalu mengerikan untuk kembali dimainkan. Biarkan semuanya lenyap, seperti senyap deru langkah yang lupa berdiri tegap. Waktu yang ada kini adalah sisa harta yang paling berharga. Sekeping waktu yang pernah berlalu biar melengkapi potongan mozaik lainnya.

Desember, Desember, mari kita ciptakan lagi lagu dengan nada yang berbeda.














Thanks for reading


Jumat, 29 November 2013

Asumsi-Asumsi Kosong

Baru saja sejenak berhenti untuk tidak berpikir, berhenti untuk tidak merasakan apa pun kecuali tenang. Baru saja sedetik yang lalu aku merasa seperti di dalam sebuah gua yang sunyi tanpa seorang pun yang menemani. Baru saja mataku terpejam dan menikmati suara gemiricik air yang menggaung merdu diantara stalagtit dan stalagmit. Semuanya baru saja dan sekarang berubah.

Aku nyalakan lagi rokokku yang sebelumnya bersembunyi dibalik saku. Kerumitan dimulai lagi disini. Mari bersulang kataku pada cermin angkuh yang menjiplak semua gerakanku. Aku minum lagi secangkir kopi yang sudah mulai bosan menemaniku. Sebentar lagi aku yakin kopi ini akan protes karena hanya sering kubawa dalam tulisanku. Nyatanya aku memang jarang meminum kopi saat menulis. Aku memang pembohong ulung untuk urusan kopi.

Aku sudah muak dengan segala asumsi-asumsi tentang arti kedewasaan. Perutku mulai mual untuk mendengar segala hipotesa yang tak bisa diwujudkan secara nyata. Otak-otak dangkal dengan misi pembenaran diri sendiri tanpa mengakui kekurangan masing-masing. Kenapa tak bisa kita terima segala keburukan orang lain yang dilakukan kepada kita? Segala masalah yang ada dalam kehidupan adalah proses peningkatan kualitas hidup. Meratapinya hanya akan membuat otak kita bebal dan hati menjadi brutal.

Kita terlalu pintar untuk berkelit dalam kemunafikan. Menangguhkan kesalahan atas nama kebenaran agar diri sendiri merasa puas dan diakui. Sesekali memang mengalah dan mengaku salah, tapi bukan karena menyadari segala kesalahan kita. Melainkan karena tak ada lagi kata yang bisa kita jadikan senjata, atau jangan-jangan karena kita sudah terkulai lemah akibat tertusuk oleh tajamnya lidah yang mengungkapkan kebenaran.

Sebentar, aku harus menghisap lagi rokokku. Akalku mulai bebal karena menulis sesuatu yang terlalu berat untuk aku jabarkan, tapi hal frontal seperti ini memang harus dilakukan. Agar beberapa dari kita tercambuk dan sadar, bahwa kita hanya ditugaskan untuk menghamba pada Tuhan bukan berkompetisi merasa paling benar. Orang-orang lemah seperti kita kadang terlalu sombong dan lupa pada Tuhan dan menganggap dirinya paling benar. Jika sombong diperbolehkan, akan kusombongkan agama bapakku!

Aku sudah lelah dengan segala bentuk bualan dan omong kosong untuk membela diri sendiri dari bentuk kesalahan. Kenapa kita tak belajar dari Kan'aan yang mati tenggelam karena dengan sombongnya merasa paling benar atas asumsi-asumsinya yang salah terhadap Nuh A.S?




















Thanks for reading.....


Minggu, 24 November 2013

Mengelupas Masa Lalu dan Berbincang Denganku

"Apa kabar?" Kataku pada diriku sendiri pada suatu hari. Aku dihampiri diriku sendiri dari masa laluku. Dibawakannya aku penggalan-penggalan waktu kala itu. Dua sosok yang sangat berbeda. Dia lebih muda, berambut rapih, berpakaian rapih, berkulit lebih putih, wajah lebih tampan, badan lebih gemuk tapi agak pendek. Secara fisik aku sekarang adalah kebalikan aku dimasa lalu. Aku lebih tua, rambutku sedikit berantakan, pakaian yang aku pakai sudah jarang sekali yang terlihat rapih, kulitku lebih hitam, wajah lebih kusam, berbadan kuntet tapi lebih tinggi. Aku dan masa laluku saling berhadapan.

"Kau sudah berubah yak, berbeda sekali dengan aku yang dulu. Kau juga sudah lama tak punya pacar, dan banyak menyendiri." Celotehnya dengan mata sombong dan agak sedikit dipicingkan. Harus diakui, sekarang wanita pasti berpikir dua kali untuk mengaku cinta padaku. Entahlah, mungkin kadar ketampananku sudah diambang garis akhir, dan hampir tak bisa terselamatkan lagi. "Untuk apa kau datang kesini? Menertawakan keadaanku? Ingin mengolok-ngolok dirimu sendiri yang sudah berbeda dengan masa lalu?" Timpalku dengan nada sedikit tinggi. "Belum berubah gaya bicaramu, masih sama sepertiku. Watakmu kah itu? Selalu berbicara dengan nada tinggi?" "Mungkin, kita adalah orang yang sama. Bedanya hanya aku adalah aku saat ini, dan kamu dari masa lalu. Kau belum jawab pertanyaanku?"

Secangkir kopi menjadi saksi perbincanganku dan aku dari masa laluku. Aku nyalakan sebatang rokok, dia mengikuti. Aku minum sedikit kopiku, dia ikut menyicipi. "Tak tahu diri, kenapa dia tak menyediakan kopi untuknya sendiri." Mungkin sebentar lagi kewarasanku akan khatam. Bebicara dengan diri sendiri bukanlah perkara yang bisa dimafhumi oleh semua orang. Perkara seperti ini mestinya tak boleh diketahui oleh orang lain, tapi aku kasihan pada kalian yang tingkat penasarannya sudah memasuki stadium empat. Jangan mati dulu sebelum penasaran kalian tuntas. Aku tak sudi dihantui kalian hanya untuk perkara seperti ini.

"Aku datang untuk melihat keadaanku saat ini. Ternyata banyak yang sudah berubah dariku, kecuali gaya bicara dengan nada tinggi itu. Sejujurnya aku sendiri tak suka mendengarnya." "Gerangan apakah yang sudah berubah? Maksudmu aku bertambah tua?" "Usia adalah hal yang patut disyukuri, semakin bertambah tua seharusnya kamu semakin bersyukur. Tuhan masih memeberikanmu kesempatan untuk terus berubah. Aku bangga melihatku saat ini." "Apa yang kau banggakan?" "Kau lihat dirimu sekarang? Kita berbeda walaupun kita dari orang yang sama. Aku kotor. kau lupakah masa lalumu? Terlalu banyak bersenang-senang, sampai lupa bahwa dunia hanyalah tempat yang fana. Kau lupakan kematian seakan hidupmu  abadi, seakan dunia ini adalah tempatmu mengekspresikan semua kehendak liarmu." Aku tertunduk. Sesaat aku ingat kembali moment itu. "Kau lupa pada tugas yang Tuhan berikan. Padahal jelas-jelas Tuhan bersabda bahwa tidaklah Ia ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadanya. Kau munafik sekali melupakan semua itu. Walaupun dulu aku dililit oleh baju rapih tapi kau hancurkan hatimu pada Tuhanmu. Itu jauh lebih buruk daripada bajumu sekarang yang sudah mulai kusut" Aku mulai kedinginan. Menggigil seakan-seakan Malaikat Ijroil berada di atas ubun-ubunku. Aku ketakutan. "Beruntunglah dirimu saat ini, kau temukan lagi sahabat lama yang mengingatkanmu pada tugas-tugasmu di dunia. Beruntunglah kau sudah tak sepertiku yang hanya mengabdikan diri pada kefanaan dunia. Teruslah perbaiki dirimu agar selalu menjadi lebih baik dan baik lagi. Karena yang terdekat dengan manusia adalah kematian. Maka matilah dalam keadaan islam. Matilah dengan segala ampunan Tuhan." Aku tak berdaya mendengar semua itu. Mataku mulai menggenang, menahan air yang ingin menerjunkan diri dari situ yang menggantung dimuka. Dadaku sesak seperti terhimpit stalagtit dan stalagmit dosa-dosa masa silam. Gigilku resah, menimbang gelisah teringat kelakuan jalangku dimasa lalu.

Sesaat bukanlah abadi. Sebelum semakin lupa, dan semakin menjadi pendusta. Tuhan, izinkan aku kembali ke jalanMu. Tuntunlah aku ke tempat penghambaan terbaik. Ajarkan aku hal-hal yang akan menyelamatkanku dari murkaMu. Terimalah penghambaanku kepadamu ya Allah.












Ya Allah, jika ada bukit yang lebih tinggi dari sujud sebagai bentuk penghambaanku padaMu, biar kudaki untuk mendapatkan segala ridhoMu.














Thanks for reading....

Rabu, 20 November 2013

Sebilah Besi Karya Seorang Empu

Untuk kata-kata yang menyembul ingin dimuntahkan. Bergejolak seperti lahar di dalam perut bumi yang tak sabar ingin berontak. Melawan ketika bibir berusaha menahan. Berontak ketika batin tak mau berteriak. Aku sudah berusaha sebisa mungkin untuk menahan, takut lisan salah mengucap ketika menjelaskan pikiran. Aku sudah berusaha untuk diam, tapi jarum-jarum mengajakku untuk mulai menyulam. Merangkai kata diatas kain yang semakin kusam karena menahan sujud seorang hamba yang sedang berdansa dengan asmara.

Ketika hujan datang, ketika kubangan menyisakan tetes akhir dari penantian. Rinduku adalah sebilah pedang yang mampu menghunus nadiku sendiri. Pedang yang mampu mengharakiri si empu tanpa ampun. Mencabik isi perut dan mengeluarkan jantungku yang kembang kempis mulai kehabisan darah. Rinduku juga sebilah pedang yang setia menghitung waktu. Berdetak menghitung detik yang terasa semakin lamban. Berdetik menghitung detak jantung yang semakin cepat karena tak sabar menunggu. Waktu yang kunantikan jangan-jangan siap membunuhku juga. Sekejam itukah rindu untukku?

Sabarku hanyalah sebilah besi yang tak tahu apa-apa. Tak pernah melawan terhadap apa yang dilakuan si empu. Rela ditempa berminggu-minggu di atas tungku panas sesuka hatimu. Sabarku hanyalah sebilah besi dan aku hanyalah empu yang kadang pula jemu. Jika jemu melilit hatiku, aku tak mau menempa lagi sabarku. Kubiarkan saja kedinginan karena tak kutempa di atas tungku. Kurelakan berkarat karena aku empu yang sedang merasa jemu. Sesuka hatiku memperlakukannya, karena aku si aktris dari apa yang aku buat. Seniman dari apa yang aku tampilkan.

Jika kamu percaya pada si empu, maka karya seni terindah akan tercipta dari tangannya. Walau hanya dari sebilah besi. Mata yang suci tak melihat seberapa berharga hasil karyanya, tapi sepanjang perjalanan si empu membuatnya. Tapi menurutku, ini semua bukan tentang sebilah pedang, bukan sebilah besi atau pula tentang seorang empu. Ini semua tentang kamu. Jika kamu lebih mengharapkan karya dari aktris lain, pergilah. Aku masih mempunyai besi lain yang bisa kutempa untuk orang lain. 










Aku tak ada dibalik pintumu, tapi diam-diam mencoba mengetuk pintu hatimu...













Thanks for reading....



Rabu, 13 November 2013

Deret-Deret Kata dari Kotaku

Selamat Malam Bogor, 13 November 2013.

Mungkin kamu bosan denganku yang ini-ini saja. Terlalu sederhana, banyak bicara, juga tak terlalu spesial untuk kau idamkan. Lelaki dengan tinggi badan biasa saja, dan berat badan tak sewajarnya. Kuntet dengan rambut ikal jika sedikit gondrong. Tak mampu memberikanmu apa-apa seperti lelaki-lelaki lain yang mungkin bertubuh lebih tinggi, tegap, kekar dan berkantung tebal. Baris-baris kata yang tertulis adalah hal terindah yang bisa kuberikan sebagai pengisi senggang waktumu. Tetes doa yang berbekas di atas sejadah adalah harta yang paling berharga yang pernah kuberikan. Tak lebih. Tak kurang.

Saat ini, melalui surat yang kutuliskan, dan kata-kata yang berderet entah dari mana datangnya. Akan kuceritakan padamu. Kudapati diriku sedang menceritakan kenyataan yang ada. Dihadapan kertas digital yang mencetak setiap huruf yang kutekan dengan lembut. Aku adalah aku saat ini. Yang memiliki jutaan keyakinan pada Tuhan tentang keajaiban. Tentang hari esok yang tak pernah tersentuh.

Kini aku temukan diriku sedang bertatapan dengan secangkir kopi yang tenang hidang di atas meja perjamuan. Mengantarkanku pada lamunan ketika hujan dengan genit mengetuk jendela. Ketika dingin menyergap dan memeluk dalam gelisah. Puisi-puisi yang pernah tercipta dan kata-kata yang terpintal ditenggorokan. Tak pernah cukup, tak pernah puas hanya mencumbumu dalam kerangka kata. Adakah kata yang bijak untuk menyampaikan maksud hati. Tanpa takut berurai airmata dari mata air di telaga. Adakah sepasang mata yang mampu membaca kebenaran dari banyaknya kesalahan. Membelakangkan yang fana tanpa takut merasa kekurangan. Menetapkan keyakinan karena keraguan tak pernah diajarkan agama.

Kopiku sudah hampir dingin. Warnanya mulai manja minta dijamah. Kini aku akhiri deret dan himpunan kata yang sudah mulai kehabisan akal untuk menceritakan apa lagi.

Bogor, 13 November 2013.














Con amore...
Thanks for reading...





Kamis, 07 November 2013

Si Pendaki

Aku adalah pendaki yang mencoba mencapai puncak kehidupan. Dengan sepasang mata liar aku mencoba menemukan hal-hal yang sulit ditangkap logika. Mengartikan setiap kemungkinan yang akan terjadi. Menjabarkan segala untaian tali kehidupan yang sulit dimengerti.

Aku adalah lelaki yang selalu berdebat dengan diriku sendiri. Memperjuangkan yang kuanggap benar, padahal keraguanku selalu datang dan siap mencekik. Aku dijadikan medan pertempuran antara keyakinan dan keraguanku. Tapi lelaki konyol sepertiku tak pernah berpikir dua kali untuk ambil resiko. Berhasil atau tidak bukanlah hasil akhir, selama aku masih terus berjuang sebaik yang aku bisa. Karena sukses adalah proses, bukanlah tujuan terakhir dari kehidupanku.

Sekarang, dimana aku berada? Aku sudah mendaki cukup jauh. Aku hampir tumbang karena beban yang tertumpuk dipunggungku. Aku hampir limbung karena badai yang berkali-kali menimpaku. Tapi semua hanya sebatas hampir, karena aku masih berdiri. Masih berdiri dengan segala beban ini. Kubungkus segala keputus asaan dengan selembar keyakinan. Kubuang ketakutan ke dalam jurang curam yang penuh kekejian. Hidupku bukan untuk meratapi semua hal yang hanya diciptakan untuk segala kegagalan. Aku tercipta untuk mencoba segala kemungkinan. Melawan bahaya dan berdansa dengan kesakitan. Menikmati segala intisari kehidupan yang hanya Tuhan berikan sekali dari setiap helaan nafasku. Tepatnya seperti itu jeritan nuraniku ketika petir berkali-berkali memburu keberanianku.

Pendakian ini adalah jalanku, dimana aku menemukan segala keindahan dan kesakitan untuk sampai ke puncak. Sebelum habis waktuku, sebelum ajal menjemputku. Aku tak pernah berpikir untuk mati dalam keadaan seperti apa. Kematian itu mudah, tak sesulit hidup yang kadang memberikan jutaan pilihan. Menurutku mati didekat orang-orang yang menemaniku mendaki adalah hal terbaik yang aku pikirkan saat ini. Aku akan memperjuangkannya: orang yang menemaniku mendaki, bukan yang menungguku di puncak.

Malam sudah hampir tuntas. Nafas yang tersengal-sengal berpacu dengan maut yang pelan-pelan merambat menuju titik akhir hidupku. Aku adalah si pendaki yang memberikan semua hal yang aku punya untuk sampai ke puncak. Menukarkan semua jiwaku untuk sebuah cerita saat dibawah nanti. Aku belum mau mati saat ini, puncak sudah di depan mata dan aku akan menggapainya.

Fajar tesentak dari timur yang memberikan kehidupan baru. Aku menundukan kepala. Si pendaki menatap segala keagungan yang Tuhan hamparkan di depan matanya. Akan kuceritakan padamu kawan apa yang kulihat saat turun nanti. Aku ingin menjadi bermanfaat untuk orang-orang yang ingin mendaki puncak hidupnya. Akan kuceritakan padanya keindahan dan juga ketakutan agar mereka paham bahwa hidup selalu untuk memilih. Mati itu mudah, tapi hidup selalu memberikan tantangan yang menyenangkan.

Puncak ini bukanlah akhir segalanya. Aku masih harus mendaki gunung yang lebih tinggi. Melewati semua tantangan dan ketakutan. Aku, kamu dan mereka. Kita semua pendaki. Tundukanlah hal yang menjulang tinggi dihadapanmu. Bahwa semua yang tercipta di dunia ini bisa kita raih. Keluarlah dari belakang pintu. Kita semua pemberani!


















Thanks for reading...

Sabtu, 02 November 2013

Lelaki Kepala Batu

Terimakasih atas sedikit waktu yang membantuku melupakan bahwa menunggu ternyata menyebalkan. Terimakasih untuk dua malam yang kita lalui dengan penuh tawa. Gurau yang melenceng kesana-sini yang tak tahu kemana arahnya, tapi mata diam-diam tak lepas saling menatap. Kamu ingin membacaku? Ingin tahu siapa aku? Bukankah kamu sudah tahu. Aku adalah lelaki yang berkali-kali jatuh di dalam lingkar puisi saat hujan, dan berkali-kali bangkit saat petir sahut-menyahut menguji keberanianku. Kamu tertawa: Hahahaha. Padahal aku hampir mati ketika rindu mencekik ke hulu hati. Tergagap gugup menghitung waktu yang tak pernah memberiku lebih. Menunggu itu menyebalkan!

Aku memang terlalu jujur saat ketika kamu bertanya tentang sahabatmu yang pernah menjadi kekasihku. Tiba-tiba saja lidahku seperti dilumuri oleh liurmu. Tak mampu menolak, aku menuruti semua perintahmu. Tak kusangka ternyata manis mengandung tuba. Berani ternyata membawa mati. Aku dihukum atas kejujuranku. Aku dilaknat atas apa yang pernah aku perbuat. Membuatmu berang karena ternyata berpacaran dengannya hanya untuk menikmati cinta butaku padamu. Aih Tuhan, lelucon apa lagi ini.

Seribu kunang-kunang terbang mengitari inai-inai, dan kamu adalah salah satu dari mereka yang bergerak pulang dengan cahaya temaram yang hampir buyar tertimpa embun. Aku mengikutimu, walau sering tertinggal karena menguntit dari belakang.

Aku ingin pulang ke satu tempat yang kusebut rumah. Aku ingin masuk kedalamnya: duduk di sofa sambil menonton tv dengan secangkir kopi. Rumah dengan segala isi yang penuh kesederhanaan dan kenyamanan: kamu. Walau kamu coba menutup pintu untukku karena kisah kelam dengan sahabatmu. Tapi rumah hanya satu. Hanya kamu yang bebas datang dan pergi tapi aku masih ingin menunggu. Hanya kamu meski diabaikan berkali-kali aku tetap tak tahu diri selalu berpuisi.

Dasar lelaki kepala batu, mungkin begitu pikirmu.









Con amore....
Thanks for reading...

Minggu, 27 Oktober 2013

Aku dan Tuhan Versus Dosen

Aku masih ingat kejadian mengantarkan tugas demi nilai delapan puluh yang tertulis jelek di buku tugasku. Aku masih ingat betul perjuangan melewati banjir dan berjalan kaki sampai-sampai kakiku lecet. Aku masih sangat ingat bagaimana semua pakaianku lepek seperti pakaian yang baru diangkat dari mesin cuci. Lalu keadaanku lebih buruk dari kucing jompo yang baru selamat dari maut karena kecebur got dipinggir jalan. Itu semua demi memenuhi perintah dosen yang jika tertawa membuat kuping sakit, karena amplitudo suaranya lebih buruk dari monyet kurap yang ekornya terjepit pintu super market. Jika melihat wajahnya membuat hati dongkol, seperti melihat maling jemuran yang tertangkap karena waktu lari tak sengaja kakinya tersangkut tali bra janda tua kampung sebelah. Tak sabar ingin membubuhkan pukulan matahari tepat di hidungnya yang memang tak mancung. Itu semua demi nilai mata kuliah matematika diskrit yang bahkan jika aku mati pun malaikat tak sudi menanyakannya. Gerangan siapa pula yang menemukan mata kuliah itu? Pasti otaknya dipenuhi niat jahat untuk menghancurkan keharmonisan kerja otak mahasiswa sepertiku.

Dewasa ini dosen sudah mulai gila dengan wewenangnya. Seenak udelnya memberikan pertintah dan tugas tanpa peduli mahasiswanya bisa atau tidak melaksanakannya. Mengganti jadwal kuliah sesuka hatinya, tanpa mengerti bahwa jam yang dia minta adalah waktu yang semestinya aku berada di atas kasurku. Waktu terbaik untuk berbincang dengan dinding kamar dan bercumbu dengan guling. Tapi mereka tak peduli, mereka egois dan menyita waktu terbaik yang aku miliki. Padahal jika aku menuruti pun, aku tak pernah dapat jaminan bahwa aku akan lulus mata kuliahnya. Kekejaman seperti itu melebihi kekejaman Adolf Hitler.

Bodoh. Terlanjur sudah aku ini dibuat seperti kerbau yang dicocok hidungnya oleh sebuah institut yang katanya didirikan untuk mencetak orang-orang pandai bertitel. Padahal aku hanya dibuat budak untuk mentaati aturan-aturannya, tanpa jaminan aku akan menjadi orang sukses dengan titelku. Uangku diperas setiap semester untuk menggaji dosen-dosen yang kadang tak tahu adat. Jika diantara kalian ada yang bernasib sepertiku, ingatlah, kita adalah orang yang diperbudak oleh sekelompok golongan orang-orang yang menjanjikan kebahagiaan palsu di atas sebuah flyer yang berisi visi dan misi.

Sesekali aku membandingkan diriku terhadap apa yang diperintahkan Tuhan sebagai kewajiban dan apa yang dijadikan dosen sebagai suatu perintah. Bukankah Tuhan menjanjikan surga jika beribadah dan menghamba kepadaNya. Dan sebaik-baik Tukang Perintah adalah Tuhan. Telah sangat jelas Allah mengeluarkan ultimatum untuk mendirikan sholat lima waktu dalam sehari. Hanya lima waktu dan Allah menjanjikan surga. Allah tak pernah meminta seorang hamba pakai sepatu atau baju bagus untuk melakukan sholat, cukup bersih dari najis dan menutup aurat tapi aku malah sering alfa. Padahal adzan terdengar dari sana-sini, hampir dari setiap arah terdengar adzan, dan jangan munafik, bahwa suara terbaik dimiliki oleh seorang Billal bukan Adele. Allah memberikan apa pun yang diminta melalui doa, tak ada penghalang bagi hambanya yang taat, tak seperti dosen yang tak meluluskanmu walau sudah setengah mati berjuang mengikuti kuliah dan jadwal pengganti yang dibuat sesuka hatinya. Aku tak mau jadi orang bodoh yang lebih senang menuruti perintah dosen daripada perintah Tuhan.









Thanks for reading..

Jumat, 25 Oktober 2013

Pagi Selalu Baru

Ini tentang aku; yang tak pernah mengatakan selamat pagi untukmu. Pagi itu selalu rumit untukku. Berpacu dengan waktu di kamar mandi sebelum matahari tiba-tiba datang dan melihat isi dunia. Seperti komandan upacara yang memperhatikan semua pasukannya. Aku harus sudah rapi sebelum matahari menampakan dirinya. Belum lagi kopi pagi yang merayu-rayu mengajak bercumbu. Hangatnya, bisa kau bayangkan hangatnya? Dari genggaman tangan pindah ke bibir. Pelan-pelan mengisi semua mulutku, lalu berangsur ke leher melalui kerongkongan. Hangat, dan masih terasa hangat sampai turun ke dada sebelum seluruh tubuh merasakan nikmat hangatnya. Tuhan, terimakasih atas kenikmatan yang Engkau tanamkan dalam secangkir kopi pagi. Kini aku sudah siap bertemu matahari. Tapi aku lupa ucapkan selamat pagi untukmu. Karena pagi milik semua orang, bukan hanya milik kita. Aku lupa, tapi jatuh cinta membuat pagiku selalu baru.





Rabu, 16 Oktober 2013

Sudah Sampaikah?

Sudahkah aku sampai? Dengan sebuah sampan reyot dan seonggok harapan kecil, aku mendayung-dayung menuju pelupuk matamu. Berpacu dengan waktu. Bergumul dengan kamus dan kata-kata baru untuk sekedar mampir mencuri perhatianmu.
Yang berbisik ditelingamu bukan suaraku. Tapi keragu-raguan untuk sebuah keyakinan. Ahh, lelaki kuntet sepertiku terlalu buruk untuk dipertimbangkan. Kau lihatlah aku, bahkan bajuku terlalu banyak yang kebesaran. Dipertimbangakan oleh wanita tak pernah terbayangkan sebelumnya olehku. Lelaki macam aku ini tak cuma badannya yg kuntet, dompet pun hampir setiap minggu hanya berisi selembar Kartu Tanda Penduduk. Bisakah kau bayangkan kawan? Ada wanita yang mempertimbangkanku? Tuhan memang penuh kejutan.
Ingin aku hilangkan keraguanmu. Seperti aku yang yakin mengayuh sampan reyot menuju pelupuk matamu. Lalu kita menari-menari dibawah purnama. Tarian yang cuma kita yang tahu.
Ahh aku lupa, aku cuma lelaki kuntet. Barangkali tak masuk dalam hitunganmu. Barangkali hanya ada dalam pertimbanganmu. Dipertimbangkan saja aku sudah cukup senang.
Tapi sampan sudah hampir tenggelam. Pelupuk matamu gusar ke kanan-kiri karena keraguan. Aku diambang kematian. Sudikah kau coba berikan aku keyakinan untuk sampai disana: pelupuk matamu.







Yang disatukan oleh keyakinan, takkan dipisahkan oleh sebilah pedang -- bahkan yang lebih tajam dari itu: keraguan










Con Amore
Thanks for reading.... 

Senin, 30 September 2013

Tentang yang Tertulis

Aku sudah muak untuk tetap terus seperti ini. Aku hampir dibuat menyerah tanpa satu hal pun yang berani aku jadikan mimpi. Aku adalah petualang dengan kompas rusak ditangan. Tak pernah tahu kemana tujuan sampai senja datang menjemput. Sampai malam datang menjadi selimut. Saat itu aku tahu, aku harus tertidur. Membangun lagi sebuah mimpi yang kadang terdengar geli untuk diceritakan.
Sampai pagi datang lagi. Aku terbangun karena suara kokok ayam jalang yang tak henti-henti. Aku tak tuli. Aku bahkan bisa terbangun karena suara kecoa yang keselak sabun mandi diselokan. Aku hanya sedang mencari lagi mimpiku. Sesuatu yang hilang dan entah jatuh dimana. Sesuatu yang luput dan entah terlewat dimana.
Sesuatu itu, adalah segala hal yang aku tulis. Segala hal yang tak pernah kau baca. Segala hal yang kau acuhkan berkali-kali. Segala hal yang tak pernah dihinggapi rasa peduli. Aku.
Ayam jalang itu mungkin sudah mati terserang epilepsi. Kokoknya hilang begitu saja. Atau mungkin digorok tetangga sebelah yang belum makan daging selama tujuh jum'at kliwon.
Di pagi ini bersama secangkir kopi. Tentangku adalah tentangku yang akan selalu tertulis. Secangkir kopi di pagi hari memecah suasana kalutnya hati.









Thanks for reading.....



Rabu, 04 September 2013

Now, As You Awaken

By Mahmoud Darwish




Now, as you awaken, remember the swan's last dance. Did you dance with young angels while you were dreaming ? Did the butterfly light you up when it burned with the eternal light of the rose ? Did the phoenix appear clearly before you and call you by your name ? Did you see the morning dawn from the fingers of the one you love? Did you touch the dream with your hand or did you leave it to dream alone, aware suddenly of your own absence ? Dreamers don't abandon their dreams, they flare and continue the life they have in the dream…
Tell me how you lived your dream in a certain place and I'll tell you who you are. And now, as you awaken, remember if you have wronged your dream. And if you have, then remember the last dance of the swan.












Thanks for reading......





Selasa, 27 Agustus 2013

Sepotong Cokelat Waktu Itu

Kalau bukan karena sepotong cokelat dari hotel itu semua mungkin tak akan pernah terjadi. Matahari, tertawa, hujan, macet, banjir, mikrolet, kelinci dan keanehan lainnya. Jauh dari timur pulau jawa sana semuanya bermula. Ahh, sepotong cokelat di atas selimut itu memang manis. Seperti senyum yang pernah kamu sunggingkan di pelataran rumah.
Kerja otakku berbanding terbalik dengan waktu yang terus beputar ke kanan. Sepi ini menggugat lelucon kala itu. Si pecundang kini memungut mozaik-mozaik yang berserakan disela-sela takdir Tuhan. Kopi pagi yang bercampur cokelat seperti mesin waktu yang menawarkan rasa manis bercampur pahit.
Jika cinta adalah perut yang terkocok karena canda, aku sudah khatam jutaan kali. Mikrolet biru itu adalah sanggar dari semua tawa yang terbahak-bahak malu karena picingan mata penumpang lainnya.
Jika cinta adalah intensitas waktu dalam berkomunikasi, aku sudah finish berkali-kali dalam marathon ini. Koridor kampus selalu bergemang karena jarak kata yang aku ucapkan  kadang kurang dari setengan spasi. Betapa bawelnya aku.
Tapi ternyata ketika waktu kembali pada saat ini dan detik jam kembali berputar ke arah kanan, itu semua bukan cinta. Jika semua yang terjadi adalah scene dari naskah semesta yang Tuhan tuliskan, aku hanya ber-acting.
Bukankah cinta akan memilih jalannya sendiri ? Dan waktu akan terus berputar mengitari orbit bumi. Jika sepi menggigit sekeping cokelat, itu bukan salah siapa-siapa. Aku hanyalah manusia yang diberi sejumput waktu. Yang akan mati karena kehabisan waktu.
Waktu yang sudah berlalu hanyalah kepingan-kepingan mozaik yang aku punguti untuk disimpan. Bukan untuk siapa-siapa. Bukan untuk aku, bukan untuk kamu, juga bukan untuk sepotong cokelat itu. Tapi untuk seseorang yang ingin menggugat waktu.











Con amore
Thanks for reading......




Sabtu, 24 Agustus 2013

Tetaplah Seperti Kita

Ini bukan tentang berapa lama kita selalu bersama, tapi seberapa penting waktu yang bisa kita berikan padanya. Bukan hanya dalam senang dan bahagia, tapi disaat dia memang membutuhkan kita. Dimana kita mau mendengarkan tentang hal yang kita tak tahu asal muasalnya.
Ini bukan tentang dua hati yang saling berbagi. Lebih dari itu, ini semua tentang pengertian. Mengerti karakter dia yang kadang keras kepala. Mengerti ucapannya yang kadang kita tak suka. Mengerti keputusannya yang sulit kita terima. Mengerti kelakuannya yang sering tak masuk akal.
Ini tentang kebebasan. Dimana kita bisa bebas berbicara tanpa takut melukai. Dimana kita bebas beraksi tanpa takut dihakimi. Dimana kita seperti tak berjarak untuk bergerak. Dimana kita bisa terbahak-bahak tanpa takut dibentak.
Ini bukan cinta. Yang kadang harus menderita. Ini tempat kita bisa menumpahkan segala luka. Berbagi suka untuk ditukar tawa. Berbagi airmata tanpa takut tak ada yang menyeka.
Ini tentang kita yang kadang tak sempat berjumpa. Yang kadang datang dengan tiba-tiba. Yang kadang bercerita sampai lupa jam berapa. Yang seperti ini adanya. Tak pernah membedakan seperti apa kita. Yang tak pernah curiga akan mendua. Yang tak pernah takut dimakan usia. Yang berebut makanan seadanya. Yang sering lupa jika sudah beranjak dewasa.
Tak ada yang lebih aku harapkan dari tulisan ini, selain kita tetap menjadi kita sampai beranjak tua nanti.






Happy Graduation Monyetku :)








Thanks for reading...



Rabu, 14 Agustus 2013

Ibu

Jika bukan karena ibuku yang berjuang mati-matian, mungkin aku tak pernah menjadi seperti ini. Ibu adalah wanita paling sederhana di dunia ini. Dia tak bisa membaca huruf latin dan huruf arab. Dia tak bisa membaca sama sekali. Yang dia bisa lakukan hanyalah mengeja huruf latin itu, no more no less. Jadi ketika aku menulis ini, aku tahu ibuku tak mungkin bisa membacanya. Aku tahu itu, terlebih tulisan ini ada di dalam blog-ku. Ibu benar-benar seperti orang tua lain di desaku. Tak mengerti internet dan pesatnya kemajuan teknologi. Tapi ibu tetaplah ibu. Aku tak peduli seberapa tertinggalnya dia dengan kemajuan zaman. Aku tak peduli jika dia tak bisa membaca ini. Aku hanya peduli jika dia adalah ibuku. Wanita yang membawaku di dalam perutnya selama sepuluh bulan. Maaf mungkin aku berbeda dengan kalian. Aku membebani ibuku satu bulan lebih lama dari anak-anak lain di dalam perut ibunya. Ibu, yang aku tahu dia adalah satu-satunya wanita yang hampir menuntaskan umurnya demi aku ketika melahirkan. Wanita yang merawatku ketika aku sakit. Wanita yang membersihkanku yang penuh ompol ketika terbangun di malam hari. Ibu adalah wanita yang tiada taranya.
Aku lelaki yang usianya hampir penuh dua puluh satu tahun. Dimana pun aku berada. Apa pun yang aku kerjakan. Aku selalu ingat ibuku. Hal yang selalu aku rindukan dari rumah adalah ibu. Yang membangunkanku dengan cerewet setiap pagi. Yang selalu mengingatkanku sholat setiap waktu, melebihi adzan yang hanya lima kali sehari. Yang selalu memisahkan ikan goreng setengah matang untukku. Ibu mengerti semua tentangku, bahkan untuk hal yang paling kecil sekali pun.
Ada satu hal yang paling aku ingat ketika aku masih duduk di sekolah dasar. Ketika dua tahun nilai raport sekolahku hanya terisi dengan angka enam. "Sekolah yang pintar, jangan jadi orang bodoh sepertiku". Semenjak hari itu aku berjanji untuk belajar dengan lebih giat. Tak percuma, semester satu kelas lima sekolah dasar aku langsung menyabet peringkat tiga. Semester berikutnya sampai lulus sekolah dasar aku selalu bercokol di peringkat dua. Tak tergoyahkan, bahkan tak bisa beranjak keperingkat satu. Aih, dua pun ibuku sudah sangat gembira. Tapi tak terbayangkan betapa gembiranya dia jika aku merebut peringkat satu yang dipegang selama enam tahun berturut-turut oleh gadis itu.
Aku melanjutkan sekolahku di sekolah menengah negeri pertama dan satu-satunya yang paling dekat dengan rumahku saat itu. Formulir pendaftaran akademisi selalu menyebalkan untuku. Pendidikan terakhir orang tua selalu menjadi masalah utama. Bagaimana mungkin aku mengisinya. Sementara ibu dan ayahku tak pernah sekali pun lulus sekolah dasar. Ibu hanya punya pengalaman sampai kelas satu sekolah dasar. Ayah lebih baik. Dia pernah merasakan sampai kelas tiga sebelum akhirnya dipekerjakan oleh kakekku disawahnya. Masalah berikutnya adalah pekerjaan orang tua. Ayahku mengundurkan diri dari pabrik pensil hijau yang aku pakai ketika mengikuti ujian negara di sekolah sejak aku belum masuk sekolah dasar. Ibu apa lagi. Ruang kerjanya hanya dapur dan warung. Ini masalah, tak ada status pengangguran dalam status pekerjaan di Indonesia. Padahal pengangguran sendiri sudah beranak binak di Indonesia. Tapi pemerintah tak pernah mengeluarkan status resmi untuk merka, juga lapangan kerja. Negara ini kejam!
Masalah formulir pendaftaran tak hanya sampai disitu. Masalah berikutnya adalah penghasilan orang tua. Di rumahku tak ada satu pun orang yang mempunyai slip gaji saat itu. Kecuali beberapa bulan lalu ketika aku masih bekerja. Sampai saat ini, aku adalah manusia pertama di rumahku yang pernah mempunyai slip gaji.
Pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan seperti dekriminasi ras untukku. Mengaharapkan sejumput kebahagiaan di negara ini memang sedikit riskan. Tapi jika bukan karena semua hal itu. Jika bukan karena pesan yang dititipkan oleh ibuku waktu aku masih duduk di sekolah dasar. Jika bukan karena semangat ibu yang selalu disuntikannya setiap hari. Jika bukan karena formulir yang selalu mendeskriminasikan keluargaku. Jika bukan karena negara yang tak menjamin kesejahteraan rakyat sepertiku. Aku tak akan bisa berdiri sampai saat ini: sampai hampir menuntaskan strata satuku.
Kelak suatu saat nanti jika study strata satuku selesai. Tak seorang pun yang pertama kali akan kupeluk selain ibu. Karena semua perjuangan ini untuk ibu, tak lebih untuk ibu. Walau kelak hasilnya aku yang menuai. Dan anak-anakku akan mengisi formulir pendaftaran akademiknya dengan bangga.








Untuk Ibu diseluruh dunia...







 Con amore
Thanks for reading....



Minggu, 21 Juli 2013

Sudah Tertinggal Waktu

Ketika dalam diam pun waktu berlaku sama. Lalu kenapa banyak orang yang tak berusaha mengejar apa yang mereka inginkan ? Mereka itu termasuk aku. Orang yang membuang-buang waktunya di depan handphone dan televisi. Orang yang mengisi kegiatannya dengan mendengarkan siaran radio. Bahkan jam dinding pun membenciku karena jarang kuperhatikan gerak-geriknya, kecuali mendekati maghrib. Aku masih beruntung karena jam dinding itu tak pernah berusaha mempermainkanku. Dia berputar sesuai dengan rotasi bumi. Tak pernah melambat-lambatkan dirinya sendiri. Tak terbayangkan jika seluruh jam di dunia ini melambatkan dirinya sendiri. Di bulan Ramadhan ini bukankah hanya adzan maghrib yang paling mengerti keadaan kita ? Dan bisa dibayangkan oleh kita, kapan adzan maghrib akan hadir jika seluruh jam melambatkan dirinya ? Cacing-cacing diperutku pasti akan berusaha kabur karena tak dapat asupan makanan terlalu lama. Bisa kalian bayangkan pula, jika cacing dalam perut kalian mencoba kabur ? Itu menjijikan bodoh, tak perlu dibayangkan !

Sekarang, dalam diam ini aku tersadar; jika waktu yang berlalu tak dapat kuputar kembali. Detik demi detik yang terbuang tak mampu kudapatkan lagi. Mereka-detik pergi, berlalu dengan waktu yang terus datang tanpa henti. Aku hanya mampu menemukan jejak-jejaknya diantara kenangan, tapi tak bisa meraihnya lagi. Aku kehilangan sejumput waktu yang sudah Tuhan berikan. Seribu sesal di depan mata tak mengubah apa yang sudah kulewatkan. Peluang-peluang yang banyak terbuang membuatku menuntut ketidak adilan Tuhan. Padahal aku yang tak adil terhadap waktu. Aku yang mengacuhkannya sehingga merasa tak diberikan keadilan. Aku kerdil; banyak menuntut Tuhan tanpa merangkai waktu yang telah diberikan-Nya.



Tuhan.... Bisakah kita negosiasi ulang tentang takdirku ?

Rabu, 15 Mei 2013

Saat Ini (Biarlah Berlalu)

Aku baru menyentuh lagi keyboard yang sedikit mulai mengeras untuk dipencet. Menyebalkan mendapatkan keadaan komputer seperti ini. Tapi apa hendak dikata, salahku yang tak pernah menjamah lagi komputer yang terlalu setia menanti untuk diajak bercumbu. Oke, ini hanya komputer. Tak lebih dari apa pun, siapa pula yang rela mencumbui komputer ?. Mungkin hanya aku. Ya hanya aku, bodoh.

Kau tahu kawan ? Bahkan komputer ini belum di shut down semenjak terakhir kali aku menggunakannya. Lagu  Simple Plan - Your Love Is A Lie hanya ter-pause semenjak terakhir aku menggunakan komputer ini. Menjijikan, aku teringat lagi malam terakhir komputer ini menyala. Aku mengingat semuanya : Kejadian itu, semua yang pernah terjadi sebelum komputer ini hanya tertidur sementara di atas meja kerja dan belajarku.

Sekarang komputer ini seperti mengejekku, dia memutar lagu P!nk feat Nate Reuss - Just Give Me A Reason. Sementara aku sedang bernostalgia dengan semua hal yang pernah terjadi sebelum komputer, kalimat ini terulang lagi, sebelum komputer ini tertidur di atas meja kerja dan belajarku. Semua keindahan di dunia ini berkelebat dengan cepat, dan hukum-hukum Tuhan ada sebelum telepon dibuat, begitulah yang pernah diucapkan oleh Albert Einstein. Yap, kita tak bisa menghentikan waktu. Dunia ini terus berputar dan tak pernah menunggu kita untuk bergerak. Aku tak percaya, bahkan ketika dunia ini sudah berlalu begitu cepat aku masih saja bernostalgia dengan kejadian-kejadian sebelum komputer ini tertidur di atas meja kerja dan belajarku. Idiot, kalimat itu terulang lagi. Selalu ada sesuatu yang hilang, ketika hal yang sudah terbiasa terjadi dalam hidup ini tiba-tiba tak terjadi lagi. Bahkan untuk sesuatu yang paling sederhan sekali pun. Bahkan hanya untuk ucapan hati-hati dari seseorang di beranda rumahnya atau pun di halaman kampus. Tapi dunia ini terus berputar bukan ?

Lagu yang berputar di komputerku sudah berganti dengan lagu Oasis - Whatever. Aku tahu sekarang aku sudah bergerak. Sebermula dari paragraf dan lagu ini, aku sudah tak lagi stuck di moment keparat yang membuatku lupa bahwa aku adalah seseorang yang mempunyai kehidupan lain dibalik senja yang selalu merona, walau mendung kadang datang menggoda keindahannya. Aku terus-menerus menunda waktu, bahkan untuk, jika ada, masa depanku. Berusaha dan bekerja dengan sebaik mungkin ditempat kita berdiri saat ini, bukankah itu yang dinamakan realistis ?. Disinilah sekarang keparat ! Semua hal bermula dari mana kita memulainya. Kau tahu kawan ? Bahkan aku tak pernah punya rencana untuk esok hari kecuali berangkat kuliah dan berdesak-desakan di dalam angkutan umum dengan berbagai macam bau keringat di dalamnya.

Ada beberapa hal yang selalu aku pelajari dalam hidup ini adalah, jangan pernah terlalu cinta dan terlalu benci terhadap sesuatu. Dua sisi mata uang yang kadang luput dari pemikiran kita. Ketika aku terlalu jatuh cinta kepada sesuatu termasuk manusia. Banyak hal yang luput dari penglihatan, banyak peluang yang kadang terbuang percuma, dan beberapa bagian terabaikan. Padahal cinta dan kerjai itu beda tipis, sangat tipis. Ketika kita mati-matian berjuang untuk mendapatkan Hal yang kita cintai, bahkan Hal yang kita cintai itu tak peduli dengan apa yang kita lakukan. Itulah moment kita sedang dikerjai, bukan mencitai. Kadang kita terlalu naif untuk mengakuinya, atau mungkin masih rela untuk dikerjai. Tolol, hanya hal itu yang akan kita ucapkan pada diri kita sendiri saat sadar tentang semua ini. Seketika, tanpa alasan yang jelas kita mulai membenci Hal yang tadinya kita cintai itu. Tidak adil memang, sejujurnya sangat tidak adil. Untuk sesuatu yang kita sudah mati-matian berjuang untuk mendapatkannya. Tapi itu sudah menjadi sistem semi permanen bagi manusia-manusia yang kadar tololnya tak bisa ditoleri lagi. Padahal untuk membenci sesuatu kita harus bersikap lebih adil terhadapnya. Yak, kita harus bisa membagi porsi yang lebih adil terhadap Hal yang kita benci. Untuk itulah kenapa aku terus-menerus menghindari sifat benci. Bahkan kadang aku harus membenci diriku sendiri untuk sekedar tidak membenci. Tapi tak suka bukan berarti benci ! Semoga kalian mengerti esensinya.

Di depan layar yang menampilkan setiap huruf dari keyboard yang aku tekan ini, aku mulai memahami cara untuk tidak terlalu mencintai. Tetapi untuk Hal yang paling akan kita ingat dan tersimpan di memori jangka panjang adalah sesuatu yang selalu akan membuat kita cengengesan ketika mengingatnya. Mungkin seperti hal-hal bodoh yang pernah kita lakukan. Hal bodoh yang aku lakukan belakangan ini adalah pergi menonton film dengan mantan pacar dan mantan gebetan secara bersamaan. Orang yang paling idiot pun mungkin tak akan melakukan hal seperti itu. Mungkin hanya orang yang kadar kegilaannya tak mampu lagi di tolerir oleh rumah sakit jiwa saja yang tega melakukan hal itu. Tapi kau tahu kawan ? Hal seperti itu memberikan sensasi kebahagiaan tersendiri untukku. Entah dari sudut mana menilainya. Aristoteles atau Plato pun pasti sangat rumit menemukan cara bagaimana menjelaskannya.





I'm crazy, and don't pretend to be anything else - Calvin Klein













Thanks for reading...... 







Rabu, 06 Maret 2013

Hey, Gadis Hiragana

Kopi pertama pagi ini, cukup nikmat dengan sebatang rokok yang perlahan siap membunuhku dari dalam. Aku mungkin perokok aktif, bahkan terlalu aktif untuk ukuran orang normal. Tepatnya aku tak normal dengan pola merokok seperti yang aku jalani. Itu sangat tidak baik untuk kesehatanku dan orang di sekitarku. Tapi untuk berhenti merokok aku pikir perlu alasan yang sangat tepat dan gila daripada memutuskan untuk tidak memegang telepon seluler selama satu minggu. Baiklah, ini teori gila untuk kalian yang tidak gila terhadap rokok. Ini tak masuk akal untuk kalian yang tak tahu bagaimana rokok lebih penting daripada makanan pokok. Aku sebagai perokok aktif ingin mengkampanyekan bahaya merokok. Mungkin tak perlu, bukankah setiap kemasan rokok telah mengkampanyekan bahayanya masing-masing. Bukankah setiap Sekolah Menengah Pertama selalu mempersentasikan bahaya rokok kepada siswanya setiap tahun. Tapi kenapa masih banyak siswa sekolah yang merokok ? Banyak orang-orang yang, maaf, mengenyam pendidikan dan tahu bahaya rokok sepertiku tetap merokok. Sebenarnya aku tidak terlalu bodoh untuk mengerti rokok berbahaya, tapi, ini yang sulit dijelaskan, rokok membuatku tampak seperti orang bodoh.

Bagaimana pun aku tak ingin merusak devisa negara karena aku menulis ini untuk mengkampanyekan bahaya merokok. Walaupun tepatnya ini seperti lelucon dan cerita pribadi, tak seperti tema kampanye yang aku sebutkan. Tak apa, mungkin ini kebodohan yang disebabkan oleh rokok yang kuhisap didepan layar komputer sambil menulis tulisan ini. Aku juga tak ingin mendapatkan telepon dari lembaga anti perokok dan mengucapkan "Selamat anda sebagai perokok aktif, telah menjadi juru kampanye anti rokok dan menyelamatkan anak muda kita yang rentan terhadap bahaya merokok". Sedangkan saat itu aku berada di dalam ruangan etalase kaca, yang bertuliskan "Smoking Area", dan orang-orang yang tak merokok menatapku seakan aku adalah ikan idiot di dalam aquarium besar di sebuah kebun binatang yang berisi hewan-hewan pintar. Itu sangat menjijikan untuk dibayangkan, terimakasih.

Cukup, itu hanya lelucon yang membuatku semakin terlihat bodoh untuk mengkampanyekan bahaya merokok. Bahkan orang yang merokok setiap hari tak peduli dengan tulisan "Peringatan, rokok dapat menyebabkan anda............ Kehamilan". Menjijikan bukan.

Beberapa hal tak mampu aku mengerti, seperti rokok dan bahayanya. Lebih dari itu, suatu perasaan atau mungkin tindakan yang bisa berubah terhadap sesuatu yang sama. Aih, aku tak mampu menjelaskannya secara sains, pula tak bisa menjelaskannya seperti seorang Psikiater handal yang berdiri menatap taman kantornya sambil membelakangi si klien. Walaupun pada kenyataannya aku hanya berada didepan layar ajaib yang memunculkan setiap huruf yang aku ketik diatas keyboard ini. Tak, tuk, tak, tuk, tak, tuk. Seandainya alur kehidupan seperti mesin ajaib ini. Apa pun yang kita inginkan bisa muncul dengan mudah di hadapan mata. Beberapa kesalahan bisa kita hapus dengan cepat. Mungkin aku juga tak akan seperti ini, menulis setiap apa yang aku rasa. Seperti yang seorang Psikolog bilang, mengungkapkan kesedihan berarti mengurangi kesedihan anda. Sebenarnya aku tidak terlalu sedih untuk menuliskan kesedihan, tapi ada semacam perasaan aneh yang entah ini sedih atau mungkin bukan sedih,  tapi masih berkaitan dengan kesedihan. Mungkin ini sepupuh jauh dari kesedihan. Setelah aku renungkan beberapa saat, aku putuskan ini bukan kesedihan atau pun kerabatnya.

Ada beberapa hal yang aku rindukan dari menulis. Mungkin aku terlalu lama tak membuat tulisan apa pun. Aku terlalu sibuk untuk mengerti keadaanku saat ini. Membaca situasi yang aku rasa berbanding terbalik dengan apa yang sudah terjadi. Ini tentang Gadis Hiragana, yang beberapa orang mungkin bosan membacanya. Beberapa orang mungkin tak tertarik membaca picisan ini. Gadis yang, jujur saja, membuatku lebih gila daripada merokok. Apa yang orang lihat dari diriku adalah, selalu mudah untuk melakukan apa pun. Dan yang paling konyol yang aku sadari adalah aku telah menyia-nyiakan waktu untuk mengungkapkan perasaanku kepadanya. Yap, tapi kadang kesalahan datang dari keegoisan sendiri. Entahlah, Selama aku tak menulis untuk blog-ku terlalu banyak kejadian yang tak mampu aku mengerti.

Saat ini, entah apa yang harus aku lakukan. Memulai dari nol terhadap orang yang sama ? Atau mencari jalan pintas dari rumitnya graph yang tak berujung seperti circles. Tidak, tidak, tidak, ini hanya karena, mungkin, karena tak ada aktivitas yang dilakukan bersama seperti biasanya. Aku tak ingin cinta yang terburu-buru. Aku ingin cinta yang dewasa, yang bukan hanya kata-kata atau kejadian aneh seperti di film televisi yang lebih nampak seperti dongeng pada zaman Kerajaan Majapahit. Tapi beberapa hal seperti penyesalan mulai mengekang. Memaksa untuk berbicara. Memohon untuk meminta. Berlarian dan menggangu jam tidur yang nyatanya tidaklah terlalu banyak. Hal inilah yang menyebabkan aku lebih sering terjaga setiap malam, tanpa melakukan apa pun bersama, lagi-lagi, sebatang rokok yang setia mengepul di dalam mulutku.

Hey, Gadis Hiragana. Apa yang berubah ? Adakah yang harus diubah ? Lihat lukisan pepohonan di dinding itu. Tanyakan padanya apa yang sudah terjadi ? Tanyakan.









Thanks for reading...






Jumat, 01 Maret 2013

Desember

Pohon besar yang rindang di penghujan bulan Januari.
Aku sudah lewati Desember bersama rintik hujan dan seribu gelak tawa. Bersama renungan malam dikala purnama menggantung sempurna. Aku menikmati Desember saat kita bisa duduk berdua. Berdua saja tak ada siapa-siapa. Lalu kita bercanda-canda dibawah sebuah lukisan yang menyimpan beberapa rahasia. Rahasia dari kita yang sering berbicara tentang apa saja.

Kita sudah lewati Desember. Kita pernah melewati Desember berdua. Saat kupikir jalan akan lurus saja, tapi ternyata aral ada dalam diri kita sendiri. Beberapa gangguan paikologis kadang mampu mengganggu keharmonisan, tapi kita bisa bertahan walau dengan keadaan tetap seperti ini saja. Aku tak bisa berkata apa-apa. Dan kamu tak bisa kutanya. Kau mungkin tahu aku, tapi tidak denganku untuk tahu kamu. Kadang kita berlawan. Sering juga banyak kesamaan yang menimbulkan perdebatan. Kamu selalu menjadi sosok misterius dikala senyum tak mampu kuartikan.

Ahh.... Ini bukan sesuatu yang harus digalaukan bukan ? Desember sudah terlewat terlau lama. Tulisan ini pun sudah terlalu lama mengendap dalam draf-ku. Baru sekarang aku ingin menyentuhnya. Melanjutkannya lagi. Tapi setelah kupikir-pikir, mungkin lebih baik aku akhiri saja tulisan ini. Heuheuheu










Thanks for reading....






Minggu, 20 Januari 2013

Petualangan Konyol (Kamis Terburuk)

Pagi itu, aku rasa pagi yang sangat menyebalkan untuk orang-orang yang beraktivitas di wilayah Jakarta. Hujan lebat tak henti-hentinya menyebabkan genangan air di sepanjang jalan, dan juga pastinya menandai dibukanya Jakarta Water Park.

Aku harus berangkat kuliah dengan menaiki transportasi umum. Aku sudah tak lagi memiliki kendaraan pribadi. Tak masalah, aku sudah mulai lebih nyaman naik tranportasi umum dibandingkan sebelumnya. Entah kenapa sebelumnya tiba-tiba aku diliputi rasa ketakutan untuk menaiki transportasi umum, tapi itu sebelum saat ini.

Aku tertegun di belakang Mall Pondok Gede, ketika hujan tak jua mau melunakan keegoisannya. Angkutan umum menuju terminal Kp. Melayu pun menutup pintu mereka rapat-rapat. Bukan karena ingin melindungi penumpangnya dari tampiasan air hujan, bukan. Tapi para supir angkutan umum yang menuju terminal Kp. Melayu tak mau menarik penumpang karena akses jalan ke arah sana sudah berubah menjadi Jakarta Water Park. Siapa pun kalian silahkan jika ingin berenang disana, FREE OF CHARGE ! Aku suka kalimat free of  charge untuk menarik perhatian dari promo-promo tertentu, tapi tidak untuk Jakarta Water Park. Do you know Jakarta Water Park ? itu adalah nama untuk sebuah tempat di Jakarta yang tergenang air minimal selutut orang dewasa. Atau jika kalian masih tak mengerti, itu adalah nama lain dari bencana banjir yang setia melanda Jakarta setiap musim penghujan. Nama itu diberikan oleh atasan tempatku bekerja paruh waktu. Ya, Jakarta Water Park. Keren bukan ?

Kembali ke topik utama. Aku sudah berdiri hampir satu jam menunggu angkutan umum di sebuah saung kecil tempat tukang ojek mangkal di belakang Mall Pondok Gede. Sepertinya itu sangat menyebalkan untuk dibayangkan. Sampai datanglah sebuah mobil mikrolet 18 dengan tujuan Kp. Melayu. Mungkin mikrolet ini dikendarai oleh seorang supir dengan penyakit gangguan jiwa ringan untuk mendapatkan rupiah. Atau memang dia konsisten dengan pekerjaannya mengangkut penumpang ketika rekan-rekannya mangkir dari tugas mulia tersebut. Aku langsung naik dan bergabung dengan beberapa ibu-ibu dan lelaki dewasa yang sudah duduk manis di dalamnya. Untuk memecahkan keraguan tentang penyakit gangguan jiwa ringan karena rupiah, aku mencoba memberanikan diri bertanya kepada sang supir. "Bang, bukannya banjir ya di Penas Kalimalang ?" "Banjir juga bisa lewat kok, tenang aja mas." Itu adalah kalimat santai yang paling meyakinkanku bahwa aku semakin percaya sang supir terjangkit gangguan jiwa ringan karena rupiah. Mikrolet berjalan lamban dan pasti, pun dengan penantianku berakhir. Penantian menunggu angkutan umum selama satu jam itu lebih menyebalkan daripada menjadi jomblo yang sebentar lagi genap dua tahun seperti yang sedang kualami. Dua kasus yang berbeda memang, tapi sudahlah siapa peduli ? Kementerian yang menaungi pemuda pun tak pernah menjadikan masalah jomblo menjadi program kerja mereka. Tak pernah juga aku dengar dalam kampanye bahwa calon-calon penjabat itu berjanji akan mensejahterakan jomblo-jomblo yang bermasalah dalam mencari pasangan. Aku yakin pemilu presiden 2014 akan dimenangkan oleh calon yang mengkampanyekan hal tersebut. Trust me ! Karena menurutku jomblo seperti penyakit menular yang sulit disembuhkan untuk orang-orang sepertiku yang bertampang pas-pasan.

Mikrolet sudah berjalan hampir satu jam, dan sekarang terjebak macet lebih dari satu jam. Hujan masih saja egois dan tak mau mereda. As long as i can remember, ini adalah kamis terburuk seumur hidupku. Aku memilih keluar dan berhujan-hujanan di jalan raya untuk mencari counter penjual pulsa. Belum sempat kuceritakan sebelumnya, bahwa selama di dalam mikrolet aku chatting dengan teman satu kampusku, atau mungkin satu kelas. Tidak, tapi selalu satu kelas karena jadwal kami selalu sama untuk semester ini. Jaringan internet sedikit bermasalah, itu sebabnya aku mencari penjual pulsa. Juga karena aku panik, temanku keluar dari mikrolet dan memutuskan untuk pulang karena banjir di Penas Kalimalang tak bisa dilewati oleh kendaraan, atau mungkin tepatnya tak ada yang mau lewat. Aku telpon dia yang bingung menyebrang jalan. Aku berikan beberapa petunjuk agar dia bisa menyebrang dan pulang. Macam navigator atau guide yang berbica lewat telpon keadaanku pagi itu. Hampir lupa, aku kenalkan temanku yang terjebak di penas kalimalang. Namanya Fathya Jasmine, tapi tak pernah aku memanggil dia dengan namanya. Aku orang sunda dan bermasalah dalam pelapalan huruf F, mungkin itu sebabnya tak banyak orang sunda yang berhasil dalam bidang sastra indonesia. Kami--orang sunda, mungkin akan gagal dalam test pertama penyebutan huruf alfabet. Maka dari itu, aku memanggil dia Cilu dan bukan Fathya seperti teman-temanku yang lain. Sebenarnya itu adalah nama kelincinya yang sudah mati. Aku rasa itu adalah kelinci kesayangannya, karena sering sekali dia menyebutkan "Cilu" ketika mentwit kegiatannya di akun jejaring sosial twitter miliknya, dan kejadian itu terjadi sebelum sang kelinci mati.

Satu jam kurang sepuluh menit, aku sudah menunggunya sambil duduk di halte bus bersama anak-anak sekolah yang gagal sampai kesekolah. Mungkin nasib mereka sepertiku, sama-sama mendapati hari kamis terburuk seumur hidupnya. Tak lama, datang kabar bahwa Cilu sudah menunggu di pom bensin. Aku datang menghampirinya yang sedang duduk melepas lelah karena berjalan kaki dari Penas Kalimalang lewat Cipinang Indah. Pantas Mulan Jameela mengaku bukan wonder woman dalam lagunya, karena wonder woman yang sebenarnya ada di hadapan mataku siang ini. Kami melakukan diskusi kecil dan sim salabim...... Kami mengurungkan diri dari niatan pulang, dan tetap berangkat kuliah dengan mengambil jalan berbeda. Tapi dengan kesepakatan jika terjebak macet lagi maka kami batal berangkat kuliah dan tetap pulang. Aku dan Cilu putar haluan dengan naik angkutan umum yang menuju Rawamangun, dan tak ada macet sepanjang jalan ke arah sana. Aku adalah orang awam untuk perkara naik angkutan umum, tapi aku hafal jalanan Jakarta. Itu adalah masalah tersediri karena aku dan Cilu akhirnya harus turun di depan Mall Arion yang tergenang air setinggi lutut. Kami berdua sudah berputar-putar mencari jalan yang tak ada genangan airnya, tapi hasilnya nihil. Menawar bajaj pun sudah, suapaya bisa melewati genangan air dan bisa cepat sampai ke kampus. Tapi terlalu mahal untuk ukuran kantong mahasiswa sepertiku, kami berdua maksudnya. Aku sendiri tak pernah naik bajaj, tak tahu berapa tarif normalnya, harga dua puluh ribu rupiah menjadi sangat mahal untuk angkutan mungil yang hanya bisa menampung dua orang, tanpa jendela, tanpa safety belt, tanpa air conditioner dan hanya akan memuat kami tak lebih dari dua kilometer untuk menuju kampus. Aku tak mau tertipu oleh supir bajaj itu, tak mau sama sekali. Akhirnya kami memutuskan berjalan, dan masalah melewati genangan air sudah dapat kuatasi dengan cara yang tak terlalu sulit. Aku lipat celanaku setinggi lutut dan dalam waktu kurang dari tiga puluh detik sudah kulewati genangan itu dengan kaki yang kedinginan karena sepatuku rembes seluruhnya. Sedangkan Cilu ? Dia aku tumpangkan di motor seorang lelaki yang usianya sudah mulai lanjut, kebetulan lelaki berusia lanjut itu baik dan mau membonceng Cilu sampai melewati genangan air. Petualangan konyol ini belum usai, karena ternyata tak ada angkutan umum dari Mall Arion menuju kampus kami. Mau tak mau, dan dengan keadaan sangat terpaksa kami harus berjalan kaki sampai Jl. Pramuka untuk mendapat angkutan umum, dan setahuku hanya ada bus yang melewati jalan itu. Aku tahu karena dulu ketika aku masih berangkat kuliah mengendarai sepeda motor aku sering batuk-batuk karena menghirup asap dari knalpot bus yang sudah sangat rombeng. Perjalanan menuju Jl. Pramuka tak kurang dari empat ratus meter, dan itu membuat kaki kami lecet-lecet. Kami berdiri dipinggir jalan untuk men-stop bus yang lewat. Sial, aku sudah bilang bahwa hari ini adalah hari kamis terburuk dalam hidupku. Bisa kalian bayangkan, aku kebelet buang air kecil dan sedang ingin menumpang pipis di toilet sebuah bengkel. Ketika aku berjalan menuju toilet, aku melihat sebuah bus lewat dan tak pernah ada lagi yang lewat setelah itu. Ini adalah pertanda bahwa kami harus kembali berjalan kaki. Pilihan terburuk dan terbaik dalam keadaan seperti ini.

Hujan masih saja turun rintik-rintik meledek perjalanan kami dengan kaki terpincang-pincang. Baju dan celana jangan lagi ditanya seperti apa. Tak terlalu basah memang, tapi cukup untuk membuat tampang kami semakin menderita siang ini. Kami berhenti disebuah halte untuk berteduh dan beristirahat, lalu aku tanyakan dimana ada angkutan yang bisa membawa kami ke Salemba atau Pasar Genjing kepada seorang bapak-bapak yang sedang berdiri dipinggir jalan dan tak jelas menunggu apa. Ia bilang tak ada, kalau mau aku harus berjalan dulu sejauh seratus meter untuk bisa menaiki angkutan umum yang bisa mengantar kami ke arah sana. Aku bukan tak sanggup lagi untuk berjalan, bukan. Tapi aku pikir aku tak mungkin lagi menambah penderitaan seorang wanita yang sudah berjalan sejak tadi bersamaku, dan kami berdua sudah cukup menderita. Sekali lagi bajaj berhenti di depan muka. Kali ini tak banyak cingcong, aku melunak dan rela tertipu oleh supir bajaj ini. Harga sepuluh ribu rupiah pun menjadi kesepakatan bersama antara aku dan sang supir. Itu pun belum sampai kampus, karena aku dan Cilu masih harus naik angkutan umum untuk sampai di kampus. Ini adalah petualangan terkonyol untuk mendapatkan nilai dari tugas mata kuliah matematika diskrit.

Kawan, tahukah kau ? semua yang terjadi hari ini adalah perjuangan terberat untuk mendapatkan nilai delapan puluh yang nyatanya tertulis sangat jelek di buku tugasku. Dan satu rahasia dari lagu Mulan Jameela adalah, bahwa sang wonder woman adalah Cilu. Wanita yang berjalan dari Penas Kalimalang lewat Cipinang Indah menuju pom bensin satu-satunya di sepanjang jalan antara Gudang Seng dan Pangkalan Jati. Lalu berjalan lagi dari Mall Arion di Rawamangun sampai halte bus pertama di Jl. Pramuka tanpa mengeluh sama sekali. Dia adalah wanita pertama yang aku dapati sekuat dan sesemangat itu.



Untuk Cilu dan semangatnya..........



Thanks for reading....