Pagi itu, aku rasa pagi yang sangat menyebalkan untuk orang-orang yang beraktivitas di wilayah Jakarta. Hujan lebat tak henti-hentinya menyebabkan genangan air di sepanjang jalan, dan juga pastinya menandai dibukanya Jakarta Water Park.
Aku harus berangkat kuliah dengan menaiki transportasi umum. Aku sudah tak lagi memiliki kendaraan pribadi. Tak masalah, aku sudah mulai lebih nyaman naik tranportasi umum dibandingkan sebelumnya. Entah kenapa sebelumnya tiba-tiba aku diliputi rasa ketakutan untuk menaiki transportasi umum, tapi itu sebelum saat ini.
Aku tertegun di belakang Mall Pondok Gede, ketika hujan tak jua mau melunakan keegoisannya. Angkutan umum menuju terminal Kp. Melayu pun menutup pintu mereka rapat-rapat. Bukan karena ingin melindungi penumpangnya dari tampiasan air hujan, bukan. Tapi para supir angkutan umum yang menuju terminal Kp. Melayu tak mau menarik penumpang karena akses jalan ke arah sana sudah berubah menjadi Jakarta Water Park. Siapa pun kalian silahkan jika ingin berenang disana, FREE OF CHARGE ! Aku suka kalimat free of charge untuk menarik perhatian dari promo-promo tertentu, tapi tidak untuk Jakarta Water Park. Do you know Jakarta Water Park ? itu adalah nama untuk sebuah tempat di Jakarta yang tergenang air minimal selutut orang dewasa. Atau jika kalian masih tak mengerti, itu adalah nama lain dari bencana banjir yang setia melanda Jakarta setiap musim penghujan. Nama itu diberikan oleh atasan tempatku bekerja paruh waktu. Ya, Jakarta Water Park. Keren bukan ?
Kembali ke topik utama. Aku sudah berdiri hampir satu jam menunggu angkutan umum di sebuah saung kecil tempat tukang ojek mangkal di belakang Mall Pondok Gede. Sepertinya itu sangat menyebalkan untuk dibayangkan. Sampai datanglah sebuah mobil mikrolet 18 dengan tujuan Kp. Melayu. Mungkin mikrolet ini dikendarai oleh seorang supir dengan penyakit gangguan jiwa ringan untuk mendapatkan rupiah. Atau memang dia konsisten dengan pekerjaannya mengangkut penumpang ketika rekan-rekannya mangkir dari tugas mulia tersebut. Aku langsung naik dan bergabung dengan beberapa ibu-ibu dan lelaki dewasa yang sudah duduk manis di dalamnya. Untuk memecahkan keraguan tentang penyakit gangguan jiwa ringan karena rupiah, aku mencoba memberanikan diri bertanya kepada sang supir. "Bang, bukannya banjir ya di Penas Kalimalang ?" "Banjir juga bisa lewat kok, tenang aja mas." Itu adalah kalimat santai yang paling meyakinkanku bahwa aku semakin percaya sang supir terjangkit gangguan jiwa ringan karena rupiah. Mikrolet berjalan lamban dan pasti, pun dengan penantianku berakhir. Penantian menunggu angkutan umum selama satu jam itu lebih menyebalkan daripada menjadi jomblo yang sebentar lagi genap dua tahun seperti yang sedang kualami. Dua kasus yang berbeda memang, tapi sudahlah siapa peduli ? Kementerian yang menaungi pemuda pun tak pernah menjadikan masalah jomblo menjadi program kerja mereka. Tak pernah juga aku dengar dalam kampanye bahwa calon-calon penjabat itu berjanji akan mensejahterakan jomblo-jomblo yang bermasalah dalam mencari pasangan. Aku yakin pemilu presiden 2014 akan dimenangkan oleh calon yang mengkampanyekan hal tersebut. Trust me ! Karena menurutku jomblo seperti penyakit menular yang sulit disembuhkan untuk orang-orang sepertiku yang bertampang pas-pasan.
Mikrolet sudah berjalan hampir satu jam, dan sekarang terjebak macet lebih dari satu jam. Hujan masih saja egois dan tak mau mereda. As long as i can remember, ini adalah kamis terburuk seumur hidupku. Aku memilih keluar dan berhujan-hujanan di jalan raya untuk mencari counter penjual pulsa. Belum sempat kuceritakan sebelumnya, bahwa selama di dalam mikrolet aku chatting dengan teman satu kampusku, atau mungkin satu kelas. Tidak, tapi selalu satu kelas karena jadwal kami selalu sama untuk semester ini. Jaringan internet sedikit bermasalah, itu sebabnya aku mencari penjual pulsa. Juga karena aku panik, temanku keluar dari mikrolet dan memutuskan untuk pulang karena banjir di Penas Kalimalang tak bisa dilewati oleh kendaraan, atau mungkin tepatnya tak ada yang mau lewat. Aku telpon dia yang bingung menyebrang jalan. Aku berikan beberapa petunjuk agar dia bisa menyebrang dan pulang. Macam navigator atau guide yang berbica lewat telpon keadaanku pagi itu. Hampir lupa, aku kenalkan temanku yang terjebak di penas kalimalang. Namanya Fathya Jasmine, tapi tak pernah aku memanggil dia dengan namanya. Aku orang sunda dan bermasalah dalam pelapalan huruf F, mungkin itu sebabnya tak banyak orang sunda yang berhasil dalam bidang sastra indonesia. Kami--orang sunda, mungkin akan gagal dalam test pertama penyebutan huruf alfabet. Maka dari itu, aku memanggil dia Cilu dan bukan Fathya seperti teman-temanku yang lain. Sebenarnya itu adalah nama kelincinya yang sudah mati. Aku rasa itu adalah kelinci kesayangannya, karena sering sekali dia menyebutkan "Cilu" ketika mentwit kegiatannya di akun jejaring sosial twitter miliknya, dan kejadian itu terjadi sebelum sang kelinci mati.
Satu jam kurang sepuluh menit, aku sudah menunggunya sambil duduk di halte bus bersama anak-anak sekolah yang gagal sampai kesekolah. Mungkin nasib mereka sepertiku, sama-sama mendapati hari kamis terburuk seumur hidupnya. Tak lama, datang kabar bahwa Cilu sudah menunggu di pom bensin. Aku datang menghampirinya yang sedang duduk melepas lelah karena berjalan kaki dari Penas Kalimalang lewat Cipinang Indah. Pantas Mulan Jameela mengaku bukan wonder woman dalam lagunya, karena wonder woman yang sebenarnya ada di hadapan mataku siang ini. Kami melakukan diskusi kecil dan sim salabim...... Kami mengurungkan diri dari niatan pulang, dan tetap berangkat kuliah dengan mengambil jalan berbeda. Tapi dengan kesepakatan jika terjebak macet lagi maka kami batal berangkat kuliah dan tetap pulang. Aku dan Cilu putar haluan dengan naik angkutan umum yang menuju Rawamangun, dan tak ada macet sepanjang jalan ke arah sana. Aku adalah orang awam untuk perkara naik angkutan umum, tapi aku hafal jalanan Jakarta. Itu adalah masalah tersediri karena aku dan Cilu akhirnya harus turun di depan Mall Arion yang tergenang air setinggi lutut. Kami berdua sudah berputar-putar mencari jalan yang tak ada genangan airnya, tapi hasilnya nihil. Menawar bajaj pun sudah, suapaya bisa melewati genangan air dan bisa cepat sampai ke kampus. Tapi terlalu mahal untuk ukuran kantong mahasiswa sepertiku, kami berdua maksudnya. Aku sendiri tak pernah naik bajaj, tak tahu berapa tarif normalnya, harga dua puluh ribu rupiah menjadi sangat mahal untuk angkutan mungil yang hanya bisa menampung dua orang, tanpa jendela, tanpa safety belt, tanpa air conditioner dan hanya akan memuat kami tak lebih dari dua kilometer untuk menuju kampus. Aku tak mau tertipu oleh supir bajaj itu, tak mau sama sekali. Akhirnya kami memutuskan berjalan, dan masalah melewati genangan air sudah dapat kuatasi dengan cara yang tak terlalu sulit. Aku lipat celanaku setinggi lutut dan dalam waktu kurang dari tiga puluh detik sudah kulewati genangan itu dengan kaki yang kedinginan karena sepatuku rembes seluruhnya. Sedangkan Cilu ? Dia aku tumpangkan di motor seorang lelaki yang usianya sudah mulai lanjut, kebetulan lelaki berusia lanjut itu baik dan mau membonceng Cilu sampai melewati genangan air. Petualangan konyol ini belum usai, karena ternyata tak ada angkutan umum dari Mall Arion menuju kampus kami. Mau tak mau, dan dengan keadaan sangat terpaksa kami harus berjalan kaki sampai Jl. Pramuka untuk mendapat angkutan umum, dan setahuku hanya ada bus yang melewati jalan itu. Aku tahu karena dulu ketika aku masih berangkat kuliah mengendarai sepeda motor aku sering batuk-batuk karena menghirup asap dari knalpot bus yang sudah sangat rombeng. Perjalanan menuju Jl. Pramuka tak kurang dari empat ratus meter, dan itu membuat kaki kami lecet-lecet. Kami berdiri dipinggir jalan untuk men-stop bus yang lewat. Sial, aku sudah bilang bahwa hari ini adalah hari kamis terburuk dalam hidupku. Bisa kalian bayangkan, aku kebelet buang air kecil dan sedang ingin menumpang pipis di toilet sebuah bengkel. Ketika aku berjalan menuju toilet, aku melihat sebuah bus lewat dan tak pernah ada lagi yang lewat setelah itu. Ini adalah pertanda bahwa kami harus kembali berjalan kaki. Pilihan terburuk dan terbaik dalam keadaan seperti ini.
Hujan masih saja turun rintik-rintik meledek perjalanan kami dengan kaki terpincang-pincang. Baju dan celana jangan lagi ditanya seperti apa. Tak terlalu basah memang, tapi cukup untuk membuat tampang kami semakin menderita siang ini. Kami berhenti disebuah halte untuk berteduh dan beristirahat, lalu aku tanyakan dimana ada angkutan yang bisa membawa kami ke Salemba atau Pasar Genjing kepada seorang bapak-bapak yang sedang berdiri dipinggir jalan dan tak jelas menunggu apa. Ia bilang tak ada, kalau mau aku harus berjalan dulu sejauh seratus meter untuk bisa menaiki angkutan umum yang bisa mengantar kami ke arah sana. Aku bukan tak sanggup lagi untuk berjalan, bukan. Tapi aku pikir aku tak mungkin lagi menambah penderitaan seorang wanita yang sudah berjalan sejak tadi bersamaku, dan kami berdua sudah cukup menderita. Sekali lagi bajaj berhenti di depan muka. Kali ini tak banyak cingcong, aku melunak dan rela tertipu oleh supir bajaj ini. Harga sepuluh ribu rupiah pun menjadi kesepakatan bersama antara aku dan sang supir. Itu pun belum sampai kampus, karena aku dan Cilu masih harus naik angkutan umum untuk sampai di kampus. Ini adalah petualangan terkonyol untuk mendapatkan nilai dari tugas mata kuliah matematika diskrit.
Kawan, tahukah kau ? semua yang terjadi hari ini adalah perjuangan terberat untuk mendapatkan nilai delapan puluh yang nyatanya tertulis sangat jelek di buku tugasku. Dan satu rahasia dari lagu Mulan Jameela adalah, bahwa sang wonder woman adalah Cilu. Wanita yang berjalan dari Penas Kalimalang lewat Cipinang Indah menuju pom bensin satu-satunya di sepanjang jalan antara Gudang Seng dan Pangkalan Jati. Lalu berjalan lagi dari Mall Arion di Rawamangun sampai halte bus pertama di Jl. Pramuka tanpa mengeluh sama sekali. Dia adalah wanita pertama yang aku dapati sekuat dan sesemangat itu.
Untuk Cilu dan semangatnya..........
Thanks for reading....